prolog;

15 2 0
                                    

Don't judge the book by it's cover.


"aku putus sama Dewa." kataku pada Jingga akhirnya. Aku berbicara tanpa menatap bola mata Jingga yang sudah mengawasiku sejak tadi. Mungkin dia hanya ingin aku berbicara tanpa dipaksa olehnya.

Kufikir Jingga akan bicara seperti banyaknya orang diluar sana. Seperti mereka yang menjadikanku pelaku utama atas kandasnya hubunganku dengan Dewa. Namun, tidak, Jingga hanya mengulas senyuman terbaiknya sebelum mengangguk senang.

"kamu tau kan ini hal yang paling aku tunggu," ujar Jingga, "Dewa bukan orang yang baik untuk kamu, Nja."

Aku sedikit menyesal tidak mempercayai Jingga sejak dulu. Jingga adalah satu-satunya orang yang tidak merestui hubunganku dengan Dewa. Jingga bilang Dewa lelaki berengsek. Aku bahkan sempat marah pada Jingga saat ia terus-terusan menjelekan Dewa dihadapanku. Mungkin pepatah lama itu benar, jangan menilai sesuatu hanya dari luarnya saja. Siapa sangka Dewa yang sejak awal aku agung-agungkan dan kubanggakan malah mengecewakanku.

"yah, harusnya aku dengerin omongan kamu ya, Ngga. Cuma namanya juga manusia, pasti belum percaya kalo nggak mengalami sendiri." kataku seraya menghela nafas lelah.

Perlahan aku membaringkan tubuhku diatas ranjang lalu memejamkan mataku, berusaha menekan rasa pilu yang bersarang dihatiku. Aku bisa merasakan Jingga mengikuti gerakanku.

"Kamu bisa nangis kok kalo kamu mau nangis, tapi inget, sekali aja nangis dan sedihnya. Besok kamu udah harus bangkit dan anggap semua yang kejadian hari ini berakhir." Jingga mengusap bahuku pelan, "perjalananmu masih panjang Nja, dan orang seperti Dewa nggak pantas buat menghancurkan kamu dengan mudah."

Aku menghela nafas panjang. Entah bagaimana aku harus bersikap. Memiliki Jingga mungkin suatu keuntungan untukku.

"Senja? Kamu ngomong sama siapa?" Aku tersentak saat mendengar suara mama yang disertai pintu yang terbuka. Mama menatap seluruh kamarku dengan wajah bingung.

Kemudian aku merubah gerakan menjadi duduk, menatap mama dengan cengiran.

"nggak ngomong sama siapa-siapa Ma, cuma lagi latihan presentasi buat besok. Hehe." kataku dengan wajah bersalah. Entah sudah berapa banyak aku membohongi Mama.

Mama berdecak pelan, "baru pulang itu harusnya langsung mandi, ini malah ngomong sendiri. Mandi terus siap-siap makan malam ya. Mama tunggu."

"Iya, Ma." setelah Mama menutup pintu, aku beranjak mendekatinya. Mengunci pintu kamar dan mengambil handuk yang tersampir sembarang.

Jingga duduk ditepi meja riasku sambil tertawa kecil. Aku mendelik kearahnya.

"Aku suka lupa kalo kamu itu hantu. Astaga, sudah berapa banyak aku bohong sama Mama karena kamu, Ngga." dengusku sambil berjalan kearah kamar mandi. Meninggalkan Jingga yang tertawa karena kejadian barusan.

Senja & Fajar [ on hold ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang