chapter sebelas;

1 0 0
                                    

Aku bukan seorang yang ingin dijadikan teman saat kesepian, ataupun seseorang yang hanya kau cari saat kau butuhkan.

Aku menghempaskan tubuhku keatas kasur, memijat batang hidungku perlahan. Berusaha mengusir rasa pening yang mendadak datang.

Kulihat sekeliling kamarku, kosong. Bahkan Jingga tidak ada untuk sekadar menghiburku.

Rasa sakit itu datang lagi ketika mengingat ucapan Dewa untukku. Mengapa ia bersikeras membela Tasya? Kenapa Tasya harus ikut campur sebegitu dalamnya.

Tiba-tiba saja jendelaku terbuka. Kulihat Jingga memasuki kamarku dengan wajah marahnya. Wajah yang selama ini tidak pernah kusukai.

Wajah yang membuatku tidak nyaman, bahkan aku merasa takut.

"Ngga, kamu kenapa?" Aku bertanya dengan nada pelan. Tetap menjaga jarak darinya.

Jingga menoleh kearahku, wajah marahnya benar-benar menakutkan. Rasanya aku tidak sanggup menatapnya terlalu lama.

Jingga mendekat. Aku tetap diam tapi sudah merubah posisi menjadi duduk ditepi kasur.

Tangan Jingga perlahan menyentuh tanganku. Tangannya betul-betul dingin. Dan pandanganku berubah seketika.

Aku berdiri diam, ini bukan kamarku. Ini adalah... Ini ruangan tempat aku dan Tasya beradu argumen.

Aku melihat Dewa dan Tasya duduk bersebelahan, namun wajah mereka saling bertatapan.

"kamu nggak seharusnya ngomong gitu ke Senja, Sya." Suara Dewa terdengar menahan emosi. Tasya yang kulihat hanya menggelengkan kepalanya.

Wajahnya mengeras, "kamu itu nggak boleh putus mas sama Senja. Dia itu gadis yang baik, dia sayang sama kamu, dia perhatian sama kamu. Dan kamu keliatannya juga cinta sama dia."

"Ngomong apa sih kamu Sya, udah jelas aku cintanya sama kamu! Kenapa sih kamu nggak mau ngerti?"

Aku tersentak saat mendengar ucapan Dewa. Bahkan tubuhku tidak sengaja menabrak pinggir meja, tapi kedua manusia dihadapanku seakan tidak tahu jika aku sedang berada disana.

"Dua tahun yang lalu aku percaya mas kalo kamu bilang gitu. Tapi sekarang udah beda. Dari cara kamu natap Senja pun aku tau kalo dia udah perlahan bikin kamu berhenti cinta sama aku."

Kudengar Dewa berdecak, wajahnya penuh dengan emosi, "mau kamu apalagi sih Sya? Kamu minta aku kenalan sama Senja pas acara kantor, udah aku lakuin. Kamu minta aku dekatin diapun udah aku lakuin. Sampai akhirnya kamu nyuruh aku buat jalin hubungan sama dia juga udah kujalanin. Mau kamu gimana sih Sya?"

"aku cuma mau kamu bahagia, mas. Aku sama Fardan akan nikah tahun depan, dan sampai kapanpun aku nggak akan bisa cinta sama kamu."

Aku menutup mulutku, ucapan Dewa terdengar nyata.

Lalu aku seperti tertarik mundur, saat air mataku menetes kulihat Jingga menatapku dengan tatapan sedih.

"Dewa benar-benar bukan seseorang yang  baik untuk kamu, Nja." ujarnya, "Dan ini terakhir kalinya kamu nangis karena dia. Just let him go. Kamu berhak bahagia, Araina Senja."

* * * // * * *

Mataku sungguh terasa perih, untung saja hari ini aku tidak harus menghabiskan waktuku di Kantor. Aku tidak bisa membayangkan jika Amhyra ataupun Mbak Tyra melihatku datang dengan mata sembab bahkan nyaris bengkak seperti ikan mas koki.

Semalam kuhabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menangisi fakta yang baru kuketahui tentang Dewa dan juga Tasya.

Aku menyentuh dadaku yang kembali merasa sesak. Ini sangat mengesalkan. Aku harus mengetahui sebuah fakta dari Jingga. Seakan aku baru saja mengalaminya secara tidak langsung.

Mama pamit untuk kerumah saudara pagi tadi aku mendengar saat beliau berpamitan tapi sengaja tidak ingin menatap matanya, aku takut beliau khawatir jika melihat keadaan putrinya yang menyedihkan ini.

Aku menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Jika memang niat awal sudah tidak baik, pantas saja hubungan kami juga tak kunjung membaik.

"Nja, maafin aku ya." suara Jingga menggema perlahan saat tubuhnya tiba-tiba duduk disebelahku.

Aku hanya mengangguk dan mengulas senyum terbaik yang bisa kuperlihatkan padanya.

"Harusnya aku terimakasih ke kamu, Ngga. Yah, meskipun aku sakit hati tapi kenyataan kayak gitu sudah seharusnya kan aku tau."

Jingga kembali menggenggam tanganku, kali ini tidak dengan wajah yang menyeramkan seperti semalam.

"Terimakasih banyak Ngga. Aku akhirnya tau harus bersikap gimana ke Dewa."

Jingga mengulas senyumnya, "Nja, ajakin aku nonton bioskop dong."

Aku yang mendengar hal itu langsung tergelak. Hantu model apasih dia sampai minta diajak nonton bioskop?

"Mau nonton apa sih? Lagi nggak ada film bagus, Ngga."

"Ada Nja, itu lho film yang soal hantu hantu juga." Jingga berkata dengan bersemangat.

Aku mendengus pelan, "hantu kok nonton hantu sih."

"Kita nonton ya? Pleaseeee." Rengekan Jingga adalah hal paling menyebalkan untuk didengar. Sungguh.

"Iya. Aku siap-siap dulu."

Aku beranjak, mengambil handuk yang tersampir dibelakang pintu kamar. Kemudian memasuki kamar mandi. Membiarkan Jingga bersenandung sesuka hatinya, selama aku tidak merasa terganggu dengan lagu yang ia pilih.

Aku tidak perlu menghabiskan waktu lama untuk mandi, setelah berganti baju dan make up sedikit untuk menutupi wajahku yang sembab aku mulai membuka ponsel.

Aku memilih film yang Jingga inginkan, membeli tiket secara online sehingga aku tidak perlu mengantri lagi.

Aku melihat Jingga berpenampilan lebih baik kali ini, meski ia masih saja memakai terusan berwarna putih dan juga rambut yang tergerai menutupi sebagian wajahnya.

Aku juga tidak pergi dengan kendaraan pribadiku. Aku lebih memilih untuk menaiki taksi online. Sesungguhnya semalam adalah hari yang melelahkan untukku.

Dan jujur saja ribuan pertanyaan tentang dewa maupun tasya masih berputar dalam otakku. Jika saja aku masih berhubungan dengan Dewa, mungkin semalam aku akan menghampiri Mereka lagi untuk minta penjelasan.

Jingga sejak tadi hanya menatapku khawatir, jelas saja ada aturan tidak tertulis disini. Jingga tidak boleh mengajak aku bicara ditempat umum.

Begitu turun dari taksi aku langsung menuju bioskop, aku sudah tahu weekend akan membuat tempat semacam ini ramai sekali.

Aku memberi isyarat Jingga untuk diam sementara aku membeli popcorn dan juga minuman.

Aku tidak tahu apakah Jingga bisa menikmati makanan yang kubeli, tapi aku cukup membeli banyak snack. Kufikir aku membutuhkan ini sebagai asupan energi.

Aku lelah semalaman menangis.

Tiket dan snack sudah ditangan, lalu aku hanya perlu menunggu.

Ya, setidaknya seperti itu. Sampai akhirnya aku melihat sosok yang melambaikan tangannya dan tersenyum cerah diujung koridor.

Sosok itu adalah Mas Fajar.

Senja & Fajar [ on hold ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang