chapter sepuluh;

5 0 0
                                    

Terkadang hubungan terbaik datang dari dua hati yang pernah Terluka dan berniat untuk saling menyembuhkan.

Aku mendengus ketika menemukan Dewa duduk dengan setelan kemejanya yang sudah berantakan di Cafe salah satu Mall tempat aku menginjakkan kaki.

Aku lupa jika Dewa bisa dengan mudahnya melacak keberadaanku hanya dengan nomor ponselku.

Mungkin aku harus menggantinya nanti, tidak sekarang.

Aku sudah mengatakan pada Tasya jika aku tidak perlu dijemput seperti anak kecil yang baru pulang sekolah. Apalagi jika Tasya sampai harus memaksa Dewa.

Tapi jawaban Tasya membuatku tercenung, Tasya tidak pernah menyuruh Dewa untuk menjemputku. Tasya hanya meminta tolong agar Dewa bisa membujukku untuk datang keacaranya. Itu saja.

Aku menggeram pelan, "kamu nggak perlu repot Wa, apalagi sampe jemput aku begini." paparku sambil duduk dihadapannya, "lagian, jarak mall ini sama lucky sky terrace nggak terlalu jauh. Aku bisa naik taksi online."

"Tasya yang minta aku buat jemput kamu,"

Aku berdecak sambil menatapnya sinis, "kenapa sih kamu nggak mau jujur aja? Tasya nggak pernah suruh kamu untuk jemput aku kan? Jangan ngelak, Tasya yang bilang sendiri."

Dewa menghembuskan nafasnya, "aku cuma mau nebus kesalahanku, Nja. Aku masih mau memperbaiki hubungan kita."

"Aku emang maafin kamu Wa, tapi ucapanku soal aku nggak bisa jalanin lagi sama kamu juga nggak bisa diganggu gugat." kataku dengan suara pelan.

"gimana kalau ternyata kamu memang jodohku?" Tanya Dewa, matanya tak henti menatapku.

Kini ganti aku yang menghembuskan nafas perlahan, "kalau memang kita berjodoh, sejauh apapun aku menghindar aku akan tetap kembali ke kamu. Takdir Tuhan itu pasti, nggak ada yang bisa merubahnya Wa."

* ** *

"Lo beneran nggak bisa maafin Dewa ya Nja?" Tasya menyodorkan segelas iced coffe latte untukku lalu kemudian duduk disebelahku.

Aku menyesap minumanku sejenak, "gue maafin Dewa, Tas, tapi gue nggak bisa bangun ulang lagi hubungan kami. Udah banyak hal yang bikin gue nggak bisa sama dia lagi."

"bukan keinginan Dewa bersikap kayak gitu, Nja. Lo tau kan kondisi dia lagi nggak baik waktu itu."

Aku meletakkan gelas berisi minumanku dengan hentakkan pelan, "gue kira undangan malam ini memang pure lo mau ngerayain film baru lo, Tas. Ternyata lo sibuk membahas hal yang bukan urusan lo ya."

"bukan gitu, Nja."

Aku mengulas senyum tipis padanya, "gue balik duluan ya, dan please apapun yang terjadi sama gue dan Dewa, percaya aja kalo itu yang terbaik untuk kita Berdua."

Aku berjalan meninggalkan Tasya yang kudengar masih memanggilku pelan, berusaha untuk tidak mengambil perhatian banyak orang yang ada.

Helaan nafasku terdengar memburu, menyebalkan sekali berada dalam perbincangan yang sedang kuhindari.

"kamu mau kemana Nja?" suara Dewa menghentikan langkahku, aku menatap lelaki dihadapanku itu datar.

"Pulang. Aku nggak nyaman."

Dewa berdecak pelan sebelum akhirnya menarikku pelan, keluar dari ruangan tersebut.

"Kamu beneran nggak bisa buat nggak egois ya, Nja?" Sentak Dewa, aku mengerutkan keningku bingung. "Hargai Tasya dong, dia udah undang kamu, seenggaknya kamu bisa tinggal sampai acaranya selesai."

Aku menghembuskan nafas, sesak didadaku semakin menjalar. Aku ingin sekali menangis, "Aku udah usaha untuk menghargai Tasya, Wa. Tapi kayaknya dia yang nggak bisa ngehargai aku. Dia terlalu ikut campur sama urusan aku dan kamu."

"Dia udah kuanggap sebagai adikku, wajar kalau dia ikut campur."

Aku menatap Dewa tidak percaya, "Langit yang adik kamu aja nggak sebegininya ikut campur wa, Amhyra dan mbak Tyra juga nggak pernah ikut campur urusan aku, bahkan ketika mbak tyra lihat kamu makan bareng perempuan."

Aku melihat wajah Dewa memerah, matanya menatapku terkejut.

"Sahabat itu harusnya tau kapan mereka berhak ikut campur. Sahabat itu seharusnya menengahi bukan memihak." aku berbisik pelan, "kamu selalu bilang aku egois, aku nggak pernah ngertiin kamu, tapi kamu sadar nggak sih wa, kamu terlalu menutup diri kamu, kamu yang melarang aku untuk mendekat dan memahami kamu. Lalu sekarang Tasya mati-matian belain kamu, sebenarnya ada apa sih Wa? Apa yang nggak kamu ceritain ke aku tapi Tasya tau?"

"Senja."

"Aku beneran udah nyerah sama kamu Wa, terserah kalo kamu mau bilang aku egois, aku banyak nuntut, aku nggak pengertian. Kamu bebas bilang apa aja ke orang lain." paparku sambil menatap wajahnya, "ternyata aku salah menilai, kamu dengan semua mantanmu, bukan mereka yang salah. Kamu yang perlahan mendorong mereka menjauh, sama halnya yang kamu lakukan ke aku."

"Senja, listen to me."

Aku menggeleng pelan, "nggak Wa, kamu yang sekarang harus dengerin aku. Jangan perlakukan perempuan seperti ini, jangan bersikap seakan kamu butuh, tapi pada akhirnya kamu membuangnya begitu saja. Kami-aku dan para mantanmu itu memiliki perasaan. Kukira kamu udah paham soal itu." tukasku lalu melepas genggaman tangannya dan berlalu.

Kufikir selama ini perempuan lain telah sangat bodoh menyia-nyiakan Dewa, tapi nyatanya aku salah. Dewa lah yang mendorong mereka semua untuk menjauh. Dan kali ini dia pun melakukan hal yang sama padaku. Mendorongku menjauh dan ketika kuingin pergi, dia merongrong memaksaku untuk tinggal. Hanya rongrongan tanpa ada usaha. Dan aku tidak akan mempercayai apapun ucapannya sekarang ataupun nanti.

Senja & Fajar [ on hold ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang