chapter sembilan;

5 0 0
                                    

Aku mungkin memaafkanmu, tapi tidak melupakan apa yang sudah kamu lakukan. Kembali padamu hanya akan mengulang rasa sakit yang sama, maka pergilah saja kamu.

*** ** ***

I'm not the hero in the story. I'm not the girl that gets the glory.
Cause you're looking for true love and I'm not the one. But I wish, I wish I was.

Sejak tadi yang kulakukan adalah memutar lagu milik maren morris, didampingi deretan surat penagihan yang harus kukirim lusa. Sungguh, mataku pedih sekali. Entah karena lelah melihat layar komputer atau memang aku sedang ingin menangis.

Tasya tidak berhenti bertanya kenapa hubunganku dengan Dewa tidak bisa diselamatkan. Dan aku tidak berhenti untuk tak menjelaskan apapun padanya. Karena, biar saja aku yang tau kenapa hubungan kami berakhir.

Sejujurnya, Tasya bercerita sedikit tentang hal yang membuatku merasa bersalah. Dan ini berhubungan soal Dewa. Tapi menjelaskan dan merasa bersalah bukan hal yang diinginkan oleh Dewa. Aku mengenalnya dengan cukup baik.

"bengong aja, mikirin siapa sih Nja?" Tiba-tiba Langit duduk dikubikel sebelahku sambil menyodorkan espresso panas yang asapnya masih mengepul.

Aku menghirup sedikit aromanya, yah, paling tidak aroma kopi adalah aroma favoritku setelah aroma hujan dan kertas.

"mau nyogok gue ya supaya nggak lembur?" selorohku. Langit berdecak sebal sebelum kemudian tatapannya beralih ke layar komputer miliknya.

"gue mah orangnya fair, ngapain segala nyogok." katanya sebal. "Nja, nyokap agak drop sih pas tau kalian putus."

Aku terdiam untuk sejenak, "itu alasan gue kenapa nggak mau ketemu nyokap lo, La. Gue nggak mau nyakitin perasaan beliau."

"Dewa segitu brengseknya ya ke lo, Nja? Pasti ada sesuatu yang bikin lo kecewa banget kan?"

Banyak, La! Abang lo banyak bikin gue kecewa. Batinku berteriak. Tapi jelas aku tidak akan mengucapkan hal itu pada Langit.

Sebagai gantinya aku hanya tersenyum, menyeruput sedikit espresso pemberian Langit. "Thanks espressonya, seenggaknya hari gue nggak terlalu buruk lah ya."

Langit memberikanku senyum sinisnya, "Bang Dewa emang raja brengsek. Bisa-bisanya cewek manis model lo disakitin dan ditinggalin gitu aja."

** ** **

Ponselku bergetar, sebuah pop up notifikasi muncul. Jantungku berdegup untuk sesaat. Nama Dewa muncul sebagai tanda ia mengirim sebuah pesan untukku.

Dewa : Lusa Tasya ngundang kamu buat datang ke Acara syukuran filmnya dia. Bisa datang?

Aku melihat kearah kalender, malam minggu. Tasya memang sudah mengatakannya waktu itu, tapi aku tidak menyangka jika ia akan menyuruh Dewa untuk mengundangku juga.

Sabtu aku tidak ada jadwal selain bekerja setengah hari. Jika kosong aku berniat untuk movie marathon. Tapi tidak ada salahnya jika aku bergabung dengan Tasya kan?

Me : Acaranya dimana?

Aku harus tau dulu dimana acara itu akan dilakukan. Jika disebuah cafe remang-remang yang menjurus ke klub aku dengan senang hati akan menolaknya.

Dewa : Lucky Sky Terrace, jam 8. Kalo bisa sekalian aku jemput.

Aku berdecak. Dijemput oleh Dewa hanya akan membuatku dekat lagi dengannya. Dan aku tidak menginginkan hal itu terjadi.

Me : aku ada kerjaan, jadi paling langsung kesana. Nggak perlu repot jemput.

Lagipula, untuk apa Dewa membuang waktunya untuk menjemputku. Aku bukan anak berusia 5 tahun yang belum bisa naik kendaraan umum seorang diri kok.

Dewa : Tasya minta aku buat jemput kamu, Nja. Kalo nggak dikabulin kamu tau kan dia bakal kayak gimana.

Aku menggeram, perlahan membuang nafas. Jadi Dewa tidak berinisiatif untuk menjemputku? Ya Tuhan Senja, kenapa aku jadi bodoh gitu sih.

Me : nanti aku yang bilang Tasya kalo aku bisa naik taksi sendiri. Bilang juga sama dia nggak usah khawatir.

Aku menghela nafas. Ya Tuhan, kenapa dadaku masih saja terasa sesak? Apakah pengaruh Dewa masih sebesar itu untukku?

Dewa : besok kabarin aja lokasi kamu dimana, aku akan tetap jemput kamu, Nja.

Dewa dan segala sikap keras kepalanya. Mungkin setelah ini aku harus bicara pada Tasya tentang hal ini.

Me : Terserah!

Dan aku memilih untuk mematikan ponsel. Berusaha untuk tidak perduli jika Dewa membalas pesanku atau tidak.

** ** **

"kamu nggak bosan apa dengerin lagu itu terus?" Jingga ikut merebahkan tubuhnya disebelahku. Sejak tadi perempuan itu memang sudah komplain karena aku terus menerus mendengarkan lagu yang sama.

Aku menggeleng tegas, "nggak tuh. Kalo kamu bosan, ya kamu aja yang nggak usah dengar."

Jingga mendengus, "kata orang obat patah hati paling mujarab itu ya jatuh cinta lagi, Nja. Kamu nggak mau cari pacar lagi?"

"Jahat tau kalo kamu cari pacar cuma biar lupa sama mantan, menurutku punya pacar atau jatuh cinta itu ya saat kamu siap. Percuma kalo kamu punya pacar baru tapi hati kamu belum siap untuk ninggalin yang lama. Nggak akan ada gunanya, Ngga. Yang ada kita cuma bikin orang sakit hati."

Jingga menatapku dalam diam, "kira-kira orang yang aku tinggalin gitu aja sekarang udah bahagia belum ya, Nja?"

"ha?" aku menatap Jingga bingung, ini kali pertama Jingga bertanya tentang hal itu padaku.

"Iya. Apa orang yang aku tinggalin gitu aja sekarang udah bahagia? Gimana kalau ada yang hancur karena kepergianku?"

Aku menatap Jingga yang mendadak murung, "yang namanya jodoh, takdir dan maut kan udah diatur sama Tuhan, Ngga. Bukan mau kamu kan ninggalin mereka begitu aja?"

Wajah Jingga semakin murung. Aku menghela nafas perlahan. "Semoga siapapun yang kamu tinggalkan akan bahagia. Aamiin."

"Nja, malam minggu ajak aku jalan-jalan dong." Pinta Jingga tiba-tiba.

"nggak bisa Ngga, malam minggu Tasya ngundang aku ke acara syukuran filmnya dia."

Kening Jingga berkerut, "Ada Dewa?"

"Hm. Tasya nyuruh dia jemput aku."

"dan kamu mau? Astaga Senja!"

Aku menghela nafas, "aku juga nggak mau Ngga, tapi Dewa maksa. Lagian kita cuma pergi bareng aja kan."

"hati kamu itu masih rapuh senja, sedikit aja Dewa kasih perhatiannya lagi juga kamu luluh."

Aku tidak mengelak, pesona Dewa masih cukup berpengaruh untuk diriku.

"aku cuma mau kamu dapat yang terbaik, dan Dewa bukan orang yang tepat untuk kamu Nja." Jingga bergumam lirih.

Aku memejamkan mata. Rasa sakit itu datang lagi. Kini sesak didadaku makin bertambah dan tidak ada yang bisa kulakukan selain menikmatinya.

Senja & Fajar [ on hold ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang