chapter lima;

6 0 0
                                    

Aku percaya kalau semua takdir Tuhan selalu pas dalam porsinya. Jika belum bahagia, berarti cari kembali kebahagiaanmu.


Mbak Tyra menepuk pundakku dengan lembaran dokumen ditangannya, matanya menatapku penuh tanya ketika ia duduk disampingku, "lo kenapa sih? Muka lo kayak abis ditagih debt collector."

Aku hanya mengulas senyum tipis, menggeleng pelan.

"gue udah kenal sama lo lama ya Rey, jangan boong sama orang tua." Ujar mbak Tyra lagi. Aku mendengus ketika ia memanggilku sama seperti Amhyra.

"Mbak, menurut lo salah nggak gue punya prinsip nggak mau berhubungan seks sebelum nikah?"

Kening Mbak Tyra berkerut, "yang namanya prinsip sih seharusnya nggak salah. Apalagi soal seks," ungkapnya. "Gue juga dulu punya prinsip begitu. Pernah sekali gue mau lepasin prinsip itu, tapi kenyataannya gue nggak nyaman."

"kenapa lo tanya soal beginian? Ada hubungannya sama Dewa ya?"

Aku hanya diam, tidak menjawabnya.

"Asli ya Rey, gue kira dia itu udah sesuai sama usianya. Dia udah usia siap nikah gitu, terlebih pas awal gue juga liatnya dia ngemong lo banget. Gue nggak sangka dia sebejat itu."

Aku menggeleng, "mungkin gue aja mbak yang salah, gue terlalu gampang percaya sama dia. Gue juga terlalu maksa, padahal tau kalo dunia gue sama dia beda." aku menghela nafas panjang. "dia dengan dunianya yang gemerlap, gue dengan dunia yang biasa aja."

"percaya aja Rey, orang baik akan dapat jodoh yang sama baiknya. Jodoh itu cerminan diri, jadi semakin lo memperbaiki diri, jodoh lo semakin baik juga."

Aku juga percaya soal itu, "Iya mbak, Terimakasih banyak udah mau dengerin cerita gue ya."

Mbak Tyra mengangguk sambil mengusap pundakku, "anytime Rey. Kalo butuh apa apa cerita aja ke gue ya."

*** // ***

Aku mendengus saat membawa nampan berisi nomor antrian makan siang di salah satu Restaurant favoriteku. Mbak Tyra dan Amhyra sedang tidak bisa diajak makan siang bersama. Mereka memiliki janji kencan makan siang bersama pasangannya masing-masing. Yah, apalah arti aku yang baru saja jomblo ini?

Sekali lagi aku menghela nafas, datang ke tempat ini tanpa reservasi adalah kesalahan. Seluruh meja sudah terisi full, dan aku menyesal kenapa tidak memesan secara delivery saja.

Mataku mengelilingi ruangan, sampai akhirnya aku berhenti saat melihat sosok Jingga yang muncul disana.

Tanpa sadar aku berjalan kearah sana, mendekati sosok Jingga. Tapi, sialnya, Jingga seakan melihatku dan memilih untuk pergi.

"Ngga!" aku mengumpat, sial, aku keceplosan memanggil Jingga. Bahkan, lelaki yang duduk seorang diri dihadapanku sampai menoleh.

"Iya? Ada yang bisa dibantu?" double shit. Lelaki didepanku ini adalah Mas Fajar, teman dari Mbak Tyra dan Mas Andra.

"eh, enggak kok. Tadi aku kayak liat orang yang mirip temanku," ucapku sambil tersenyum kikuk. "ternyata salah orang."

Mas Fajar mengangguk, tapi aku tahu dia agak janggal dengan ucapanku. "kamu Senja ya? Temannya Tyra yang kemarin itu?"

Syukurlah dia masih mengenalku.

"Iya, mas. Mas Fajar kan?"

Mas Fajar terkekeh pelan, "kok masih bawa nampan sama nomor. Nggak duduk?"

"lagi cari tempat, tapi kayaknya full. Ini lagi niat buat dibungkus aja."

"gabung sama saya aja, Senja." Mas Fajar menawari aku tempat. Aku sudah lapar, dan balik ke kantor dengan perut yang belum terisi akan membuatku malas untuk kembali bekerja. Tapi, duduk bersama orang yang belum pernah kukenal sebelumnya juga bukan ide yang baik.

"Mas Fajar sendirian emangnya? Nanti aku malah ganggu lagi?" kataku dengan nada tidak enak.

"nggak apa, kadang saya juga sharing sama orang. Restaurant ini selalu ramai, wajar kalau full."

Pada akhirnya aku mengangguk dan mengambil tempat berhadapan dengan Mas Fajar. Jika kuperhatikan, wajah Mas Fajar sedikit familiar. Tapi entah aku pernah melihatnya dimana.

Aku hampir mati gaya ketika melihat Mas Fajar menikmati makanannya tanpa memperdulikan siapapun.

Bahkan keberadaanku sekalipun.

"selamat siang, silahkan pesanannya." Aku menghela nafas lega, akhirnya aku bisa menikmati makananku dan tidak terpaku pada sosok dihadapanku.

Aku mengucapkan terimakasih pada pelayan, mulai menarik piring berisi makanan kesukaanku.

Memangnya hanya dia yang bisa fokus pada makanannya?

Aku mendengar suara deham keras, bukan hanya deham, tapi kudengar sedikit gelak tawa. Aku mendongakkan kepalaku, melihat Mas Fajar yang sedang tertawa. Shit. Kenapa wajah Mas Fajar harus selucu itu ketika dia tertawa?

"Ada apa Mas? Ada yang salah dengan caraku makan ya?" Aku mengusap mulutku dengan sapu tangan yang disediakan. Wajahku memanas saat melihat Mas Fajar mentertawakanku.

Mas Fajar menggeleng, tapi masih dengan tawa yang terpasang diwajahnya, "kamu lapar banget ya?"

Astaga. Apakah aku terlihat seperti orang yang belum makan selama berminggu-minggu ya?

"cara makanku ganggu ya Mas? Duh, maaf ya, ehm.. Aku pindah meja aja deh, kayaknya disana ada yang kosong."

Mas Fajar makin tergelak, "bukan, bukan gitu. Biasanya, tiap kali saya sharing tempat sama strangers mereka akan jaga image sekali. Atau bahkan sibuk mencari perhatian."

"karena mas Fajar ganteng ya?" celetukku asal.

Mas Fajar menatapku dengan tatapan datar. Dan aku baru sadar aku sudah salah bicara.

"eh, maksudku nggak begitu mas. Yaampun, maaf sudah nggak sopan."

Dan kemudian Mas Fajar kembali tergelak, "kamu selalu serius begini ya? Saya cuma bercanda, Senja."

Aku menghela nafas lega, tapi juga sedikit kesal. Dengan sebal aku kembali menikmati makananku.

"kamu marah?" tanya Mas Fajar.

Dengan cepat aku menggeleng, "nggak. Cuma beneran takut salah ngomong sama Mas."

"ada satu hal yang sebenarnya saya ingin tanya, kamu nggak secara kebetulan kan mau gabung dengan saya disini?"

Aku mengerutkan alisku, "kok mas percaya diri banget sih? Aku nggak sengaja kesini karena tadi kayak liat temanku diri dekat mas Fajar."

"teman?" tanyanya bingung, "disini sejak tadi nggak ada orang lain, Senja."

Double shit. Aku keceplosan! Jelas saja Mas Fajar nggak bisa lihat Jingga. Dia kan hantu!

"atau kamu temenan sama hantu ya? Makanya saya nggak lihat teman kamu."

Mataku mendelik, tapi aku tidak menjawabnya. Aku hanya membiarkan Mas Fajar terus memandangku. Lagipula, aku tidak tahu harus menjawab apa.

Dan piring berisi makanan yang baru kusentuh separuhnya, tak lagi menarik minatku untuk dimakan. Lain kali, aku tidak akan memilih untuk menghabiskan waktu makan siang bersama Mas Fajar. Sungguh.

Senja & Fajar [ on hold ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang