chapter dua;

5 1 0
                                    

Hati hanya perlu waktu untuk menyembuhkan luka.


Sebisa mungkin aku tidak memikirkan kandasnya hubunganku dengan Dewa, aku berusaha mengalihkan fikiranku dengan mengerjakan apapun yang bisa kukerjakan. Termasuk beberapa revisi yang diberikan oleh Bos-ku.

Tapi pada akhirnya hati tetaplah hati. Ia bisa rapuh dan kosong begitu saja. Sejak tadi aku berusaha untuk mengabaikan rasa nyeri dan hampa dibagian sudut hatiku, tapi tetap saja tidak bisa.

Aku mengusap mataku. Memejamkannya untuk sesaat, setelah sekian lama aku tidak merasakannya, akhirnya patah hati datang lagi menghampiri.

Kufikir, Dewa akan jadi pelabuhan terakhirku. Namun, sepertinya Tuhan tidak sebaik itu membiarkanku mendapatkan jodoh secepat yang kuinginkan.

"Rain, lo nggak keluar buat makan siang?" Amhyra, salah satu teman sedivisiku bertanya.

Aku menatap jam tangan hitam yang melingkari pergelangan tanganku, jam istirahat sudah lewat lima belas menit yang lalu.

"ini baru mau keluar, lo mau makan dimana ra? Ikutan dong." biasanya, jika pekerjaanku sedang banyak aku lebih memilih untuk makan siang diruangan, yah menitip untuk dibelikan makanan oleh OB atau pesan via ojek online. Tapi hari ini pengecualian, aku ingin keluar dan melupakan apa yang sedang mengganggu fikiranku.

"Mbak Tyra mau nyobain cafe yang baru dibuka itu sih, Rain. Mau ikut coba?"

Pada akhirnya aku mengangguk, tidak perduli dimana kami akan makan. Aku hanya perlu keluar dan menghirup udara lain. Karena, entah kenapa aku merasa kubikelku ini membuatku sedikit sesak.

"gue ketemu Dewa tadi, mukanya kusut banget. Berantem lo sama dia?" Amhyra bertanya padaku, aku hanya bisa mengulas senyum masam padanya sembari mengangguk kecil.

"berantemnya parah?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk, "kita berdua putus."

Amhyra menghentikan langkah kakinya, "hah? Serius lo, Rey? Demi apa?"

Aku mendengus, Amhyra suka sekali memanggilku dengan sebutan Rey jika menurutnya namaku sulit dipanggil secara singkat.

"ya beneran lah. Males banget gue putus cuma pura-pura, difikir gue artis yang butuh sensasi biar naik pamornya?"

Amhyra mengerucutkan bibirnya, "Dewa kan mantan artis pada zamannya, Rain. Kali aja dia butuh dongkrak popularitas lagi."

"ha ha, lucu banget lho Ra." kataku dengan nada sebal.

Amhyra ikut terkekeh pelan. "serius deh, selama lo jalan bareng Dewa, kok hebat banget ya sampe nggak ada gosip? Maksud gue, ya Dewa kan bekas artis. Masa sih akun semacam lambe turah dan kawan kawannya nggak ada yang kepo?"

"Lo pengennya muka gue dipajang diakun gosip gitu, Ra? Kejam banget lo!"

Dipenghujung koridor kulihat Mbak Tyra sudah bersama beberapa orang lainnya yang tidak begitu kukenal. Mungkin anak dari divisi lain.

Aku, Amhyra dan Mbak Tyra tergabung dalam divisi keuangan. Dan diantara kami bertiga, hanya aku yang jarang sekali ikut gabung makan bersama mereka. Biasanya, aku lebih memilih makan diruangan atau malah janjian bersama Dewa.

"Nah gitu dong Rain, sekali kali ikutan makan siang bareng kita." Mbak Tyra bergumam dengan senyuman tulus. Aku sedikit tidak enak hati padanya, karena aku jarang menghabiskan waktu istirahat bersama Mereka.

"Rey," Amhyra menahanku untuk jalan dibelakang mbak tyra dan juga tiga orang lainnya, "sebenarnya beberapa hari lalu kami liat Dewa makan siang bareng perempuan."

"Oh ya? Dimana?" tanyaku. Sungguh, aku hanya ingin tahu, agar aku semakin yakin untuk benar-benar menyudahinya.

"Restoran daerah Bintaro, dia kayak gelagapan pas Mbak Tyra nyamperin." ujar Amhyra, "gue bersyukur kalo sekarang lo beneran putus sama Dewa."

Aku hanya mengulas senyum tipis dan menganggukan kepala. Mungkin aku dan Dewa sudah harus berakhir.

*** ** ***

Aku menyipitkan mata saat melihat bayangan Jingga diujung sana, cafe tempatku berada sekarang terbilang sangat ramai. Tapi tidak mungkin aku salah lihat.

Jingga berdiri didekat seseorang lelaki, entah siapa, aku tidak mengenalnya. Wajah Jingga yang bisa kulihat, terlihat murung.

"gue tau lo jomblo sekarang Rain, tapi nggak ngeliatin laki sampe segitunya dong?" Mbak Tyra menggodaku, aku tersenyum salah tingkah. Sial. Mereka sudah pasti tidak bisa melihat Jingga kan?

"bukannya itu Fajar ya?" Mas Andra, teman Mbak Tyra dari Divisi marketing menyahut.

Mbak Tyra menyipitkan matanya, "masa sih An? Tumben banget dia ke daerah sini."

Mas Andra dan Mbak Tyra akhirnya memutuskan untuk mendekati lelaki yang mereka sebut Fajar. Aku melihat Jingga menoleh kearahku, aku menyipitkan mata lagi berusaha melempar pandangan bertanya. Tapi yang Jingga lakukan malah pergi begitu saja.

Hei, tumben sekali Jingga bersikap seperti itu? Ada apa dengannya? Dan siapa lelaki bernama Fajar sebenarnya?

Senja & Fajar [ on hold ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang