chapter enam;

4 0 0
                                    

Tidak setiap cinta akan berakhir baik, sama halnya seperti setiap orang yang hadir dalam hidupmu, lalu kau cintai begitu saja.

Aku mengerutkan kening ketika Divisi keuangan mendadak ramai, sepertinya aku ketinggalan sesuatu. Ck, aku mendengus sebal. Pak Damian-manajer keuanganku baru saja memanggil terkait terlambatnya berkas penagihan yang harus dikirim bulan lalu.

Aku memasuki ruanganku, menatap sekeliling dan melihat Mbak Tyra dan juga Mas Chandra sedang memperkenalkan seseorang.

"anak baru tuh, cakep lagi." celetuk Dina, anak magang yang baru bekerja disini.

Aku mengerutkan kening, anak baru? Tanyaku dalam hati.

"ah itu dia orangnya," Mbak Tyra memberikan kode agar aku mendekat, aku pun berjalan kearahnya.

"ada apaan sih mbak?" tanyaku pada Mbak Tyra, tangan mbak Tyra menyentuh pundak anak baru yang kini membelakangiku.

"Langit," mbak Tyra memanggil lelaki itu, "kenalin nih, Araina Senja, senior yang akan kerja satu tim sama lo dibagian penagihan."

Saat lelaki itu menoleh kearahku, wajah kami sama sama kaget serta bingung. Ini bercanda kan?

"Senja? Apa kabar?"

*** // ***

"Gue beneran kaget waktu liat lo, Nja." Langit menyodorkan segelas iced coffe untukku, tak lupa dengan sepiring croisant untuk mengganjal perut. Siang ini kami melewatkan jam makan siang karena perintah dari Pak Damian.

Sungguh, perutku sudah berteriak minta diisi sejak tiga jam yang lalu!

"Gue juga. Nggak nyangka seorang Langit akhirnya mau kerja kantoran." ledekku dengan nada lumayan sengit.

Wajah Langit tersenyum masam memandangku, "udah lama banget nggak kerumah, lagi berantem sama bang Dewa?"

"berantem?" kataku, "kami udah putus, La."

"putus? Bercanda lo ya?"

Aku mendengus malas, "bercanda sama lo bukan hal yang gue pengen malah. Udah sekitar sebulan lost contact, terus seminggu yang lalu putus."

"Pantesan aja. Gue nanyain lo ke bang Dewa tapi dia diem aja, gue mau kasih undangan padahal." Langit merogoh tasnya, sebelum kemudian mengambil kertas undangan berwarna hitam dengan motif abstrak.

Dibagian depan terdapat nama Langit dan Diandra.

"Akhirnya, nikah juga lo sama Diandra. Gue udah khawatir kalo itu cewek bakalan lo buang lagi kayak yang sebelumnya."

"sialan lo, gue nggak pernah buang cewek gitu aja ya. Gue curiga Dewa ngejelekin gue tiap hari ke lo."

Aku hanya mengangkat bahu tak acuh.

"Dewa pasti ngilang tanpa sebab ya?" tanya Langit.

Aku hanya mengangguk singkat.

"si berengsek itu," keluh Langit, "kebiasaan buruknya nggak ilang ilang."

Aku hanya diam, tidak tau harus menanggapi ucapan Langit seperti apa.

"nyokap masuk RS lagi, Nja. Ini yang ketiga kalinya dalam sebulan," Langit meneruskan kalimatnya, "Bang Dewa kayaknya stress banget, ini kali pertama nyokap keluar masuk RS dalam jangka waktu yang dekat."

Aku juga kaget dengan ucapan Langit barusan, aku memang tau jika Ibunda Dewa memiliki riwayat penyakit jantung dan terbilang cukup parah. Dan selama berpacaran, aku juga tau jika Ibunda Dewa sering kalo keluar masuk Rumah Sakit.

"gimana keadaan tante?" tanyaku, Langit tertawa miris.

"biasanya lo sebut nyokap gue Mama, terus denger lo manggil Tante agak aneh ya." paparnya, "nyokap masih di RS sih, cuma ya, keadaannya sudah membaik."

"Alhamdulillah."

Langit tersenyum, "beberapa kali nyokap nanyain tentang lo ke Bang Dewa, tapi nggak pernah dijawab. Kayaknya nyokap kangen lo deh, Nja. Jenguk ya?"

"gue nggak bisa janji sih, La. Cuma kalo sempet gue pasti jenguk." kataku menutup pembicaraan dan kini fokus menikmati makanan yang tersedia dihadapanku. Membiarkan Langit ikut diam, sepertinya ia cukup pintar untuk tau jika aku sudah tak mau bicara banyak.

// **/ **

"seriusan lo si Langit itu adeknya Dewa? Beda banget!" komentar Amhyra ketika aku menceritakan tentang Langit pada Amhyra dan juga mbak Tyra.

Mbak Tyra mengangguk setuju, "iya beda banget. Fisik aja udah beda jauh."

"jelas aja beda, Dewa kan mantan artis, adeknya bukan." kataku menimpali.

Amhyra mengangguk, "lucu ya, Dewa kan artis tapi apapun yang sama dia atau tentang dia jarang yang kecium media. Dia pinter apa gimana ya?"

Aku hanya mengangguk tidak menimpali ucapan Amhyra.

"mantan artis, mhyr. Udah nggak laku sekarang doi."

"mbak!" aku menegur mbak Tyra yang tampaknya selalu geram setiap kali membahas soal Dewa.

Mbak Tyra hanya menggidikkan bahunya tak acuh, "gue cuma bilang kenyataan Rey, nggak usah tersinggung."

"bukan gitu Mbak, tapi cuma nggak enak aja kalo ada yang denger. Ntar dikira gue nggak terima lagi putus sama dia." aku mengambil potongan kentang milik Mbak Tyra.

Amhyra mendengus sebal, "gue masih kesel sama Dewa. Si kampret itu caranya menjijikan banget deh, kalo mau putus ya harusnya bilang aja. Nggak usah lari."

"yaudahlah, mhyr, gue juga nggak rugi kok putus sama dia."

Mbak Tyra berdecak sebal, "mulut lo busuk lama-lama kalo bohong. Tinggal bilang aja kalo lo sakit hati, nggak usah ditutupin."

Aku hanya tersenyum masam sambil menatap Mbak Tyra. Ya, ibu beranak satu itu benar. Aku memang sakit hati dengan cara Dewa meninggalkanku. Tapi, aku tidak akan mengemis padanya. Tidak akan pernah.

Senja & Fajar [ on hold ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang