chapter empat;

4 1 0
                                    

Coba katakan alasan yang bisa membuatku kembali mempercayaimu.


Jingga betul betul tidak kembali, sudah dua hari perempuan itu menghilang. Aku mendengus, kemana sebenarnya Jingga? Dia tidak pernah menghilang sebelumnya.

Jikapun ia pergi, alasan yang perempuan itu buat selalu masuk akal. Tapi kemarin Jingga hanya bilang ia ingin pergi dan aku tidak usah mencarinya.

Sejujurnya, aku juga tidak tau harus mencari Jingga kemana.

"Nja, kok udah lama Dewa nggak kesini. Kalian baik-baik aja kan?" Mama bertanya saat aku baru ingin mengambil roti bakar untuk dibaluri selai.

Aku menghela nafas sebelum menjawab pertanyaan Mama, "kami putus Ma."

Mama menatapku dengan tatapan tak percaya, "putus? Kok bisa? Kenapa Nja?"

"Kami nggak cocok Ma, makin kesini Dewa sama Senja makin nggak bisa buat nyatu."

Mama berdecak, "yang namanya pacaran ya wajar kalau sekali dua kali beda pendapat atau nggak cocok. Itu namanya pembelajaran, sayang."

"Senja nggak bisa Ma, ada satu dan lain hal yang menurut Senja nggak akan bisa nerima Dewa." aku menghela nafas, "Mama nggak akan maksa aku untuk tetap sama Dewa kan?"

Mama tersenyum, "Mama tau kok kamu sudah dewasa, jadi untuk pasangan Mama serahkan semuanya ke kamu. Cari pasangan yang menurutmu baik, bertanggung jawab, dan juga menghargai kamu sebagai pasangannya, nak." mendengar ucapan Mama membuatku mengulas senyum tipis. Dan kami lebih memulai untuk melanjutkan sarapan tanpa membahas Dewa, lagi.

*** // ***

"Rey, ada tamu buat lo." Amhyra dengan wajah tidak menyenangkannya muncul dibalik kubikelku.

Aku menatap Amhyra dengan wajah penuh tanda tanya, "siapa?"

"mantan brengsek lo itu." sahutnya lagi. Aku tahu kenapa Amhyra bertingkah seperti itu. Terlebih ketika aku sudah mengatakan permasalahanku dengan Dewa.

Aku berdiri dari kubikelku, berpapasan dengan Mbak Tyra. "itu ngapain mantan lo kesini, Rey."

"nggak tau mbak, ini makanya mau gue temuin." aku mengabaikan ocehan kesal dari Mbak Tyra, memilih untuk menemui Dewa didepan.

Aku melihat dia duduk diruang tunggu, memainkan jemarinya. Aku mengenal Dewa cukup baik untuk tau jika ia sedang dalam kondisi gugup.

"mau apalagi Wa?" kataku tidak basa-basi.

Dewa berusaha meraih tanganku, aku menghindarinya.

"we need to talk." Ujar Dewa, aku hanya mengulas senyum tipis saat mendengar ucapannya.

"aku udah kasih waktu kamu buat bicara deh beberapa saat lalu," paparku sejenak, "pas kamu lebih memilih untuk hilang dan menghindariku."

"aku butuh waktu buat sendiri saat itu, Senja! Kenapa kamu nggak bisa ngerti sih?"

Aku tersenyum sinis kearahnya, "butuh waktu sendiri di kelab malam barengan sama banyak perempuan?" wajah Dewa seakan tertohok, "coba aku mau dengar apa alasan yang logis untuk semua sikap kamu, Wa."

Aku masih menunggu, tapi Dewa tak kunjung membuka suara atas sikapnya. Dewa memilih untuk tetap diam, menatapku dengan tatapannya.

"kamu aja masih nggak tau kan ngomong apa, yaudahlah Wa nggak baik memaksakan sesuatu yang bukan jalannya."

"aku masih mau nikah sama kamu, Nja." Papar Dewa.

Aku kini menggeleng, "tapi aku nggak, Wa. Aku butuh seseorang yang menghargai keberadaanku, aku butuh seseorang yang memang mau berbagi bahkan tanpa diminta. Aku butuh seseorang yang bertanggung jawab atas hidupku dan hidupnya sendiri." aku menghela nafas, "tapi maaf, aku nggak ngeliat semua itu pada diri kamu. Dan itu membuatku nggak yakin untuk membangun hal lebih serius sama kamu."

"Nja,"

Aku menggelengkan kepalaku, "udah ya Wa, cukup. Aku udah nggak bisa, maaf."

Dan meskipun aku sudah berusaha menyiapkan untuk hal terburuk, hatiku tetap hancur ketika mengucapkan hal itu secara langsung pada Dewa.

Mungkin benar adanya, Semua hati yang baru terluka butuh waktu untuk pulih. Berikan ruang, jangan memaksanya untuk bekerja lebih banyak.

*** // ***

Aku menemukan Jingga yang duduk terdiam ditepi tempat tidurku, wajahnya tampak kuyu, tidak seperti Jingga yang biasanya.

"Ngga, kamu udah pulang?" aku akhirnya bertanya setelah meletakan seluruh pekerjaan yang kubawa pulang. Sejak pembicaraanku dengan Dewa tadi aku sudah tidak fokus bekerja.

Jingga menoleh, wajahnya terlihat datar. Tidak seperti biasanya. "kamu beneran Jingga? Apa hantu iseng lain?"

Lalu Jingga tergelak pelan, "muka panik kamu itu hiburan banget Nja buat aku."

"kamu darimana aja Ngga?"

Jingga berpindah, kini ia duduk ditepi jendela kamar yang sengaja kubuka. "Main aja jalan-jalan. Kan udah aku bilang nggak usah dicari."

"kayaknya dua hari lalu aku liat kamu di cafe gitu deh, Ngga. Kamu kayak nempelin laki-laki."

Jingga mengerutkan keningnya, "masa sih? Ngapain aku nempelin laki-laki? Kamu salah liat mungkin, Nja. Hantu kan semua hampir sama bentuknya."

Aku mendengus, aku tidak mungkin salah lihat. Perempuan itu pasti Jingga.

Senja & Fajar [ on hold ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang