Taranaya POV
Semua adikku sudah selesai membereskan buku-bukunya untuk sekolah esok hari. Dan setelah itu mereka pun bersiap untuk tidur. Tetapi sebelum itu, aku menyuruh mereka untuk menyikat gigi. Tak banyak alasan kenapa aku menyuruh mereka melakukan itu, aku hanya tak mau mereka tidur dengan mulut yang masih menempel dengan kotoran.
Ketika semua orang terlelap termasuk Mama Hana, justru aku masih terjaga, ditemani oleh beberap buku PR yang baru saja kukerjakan. Biasanya aku tak pernah mengerjakan PR selarut ini, paling lambat juga itu jam 8. Tetapi baru kali ini aku menyelesaikannya sampai jam 10 malam.
Aku sih tak masalah akan hal itu. Namun kalau terus menerus seperti ini jam tidurku akan terganggu dan begitu pun dengan aktivitasku di sekolah.
Mataku melirik sebuah tanaman hias yang kini bertengger di meja belajarku. Aku sengaja menaruhnya di sana agar memperindah suasana walaupun aku tahu menaruhnya di sana agak berbahaya. Hehehe. Bisa-bisa tanganku kena durinya.
Bibirku tertarik ke atas, membuat sebuah senyuman yang amat manis. Ngomong-ngomong soal tanaman hias itu aku jadi teringat akan kejadian yang kulalui hari ini. Sangat aneh namun lucu kalau diingat lagi. Aku bahkan tak bisa merapatkan gigiku kalau mengingatnya.
Abimanyu. Kesanku pertama kali bertemunya sangat tidak menyenangkan. Sesaat aku mengira kalau dirinya itu sangat menyebalkan, judes, suka ngomong hal yang aneh, dan terlihat seperti anak yang bermasalah. Namun setelah melalui beberapa hari dan beberapa kejadian sedikit demi sedikit aku mengenal sisi dari anak itu.
Dia anak yang baik, perhatian, dan *uhuk* cukup tampan. Tetapi aku tidak tertarik dengan wajahnya yang tampan itu, aku hanya memujinya, itu saja. Walaupun terkadang anak itu menyebalkan kalau diajak bicara tetapi setelah mengenalnya Abi tidak seperti itu lagi. Justru anak itu terkesan peduli padaku.
Namun, kalau aku lebih perhatikan lagi anak itu sepertinya memiliki beban di punggungnya. Aku tak tahu jelas seperti apa tetapi bisa kulihat dari raut wajahnya kalau Abi itu terterkan akan hal lain. Seharian aku bersamanya ia selalu saja melirik ke arah ponselnya yang terus berdering, menandakan ada pesan masuk. Dengan muka kesal ia hanya menekan-nekan layar ponselnya kasar.
Aku tak bisa berbuat banyak saat melihat hal itu. Aku tak mau ikut campur urusan orang lain. Tetapi melihat ekspresinya yang seperti itu membuatku tak tega. Jujur saja, aku tak tenang. Ada keinginan dari dalam diriku untuk menolong anak itu. Aku tak tahu seperti apa aku akan menolongnya namun yang jelas aku akan terus berada di sampingnya.
Aku ingin melihat anak itu tersenyum walaupun cuma sekali. Aku ingin membuat Abi merasakan sedikit adanya kebahagiaan. Memang tidak mewah, tetapi kebahagiaan itu lebih indah jika melihatnya dari sudut yang sederhana. Bisa kulihat Abi itu tipe lelaki yang belum bisa melihat kebahagiaan dari sudutnya sendiri. Aku akan membantunya. Dan jika hal itu telah berhasil, maka aku akan pergi dari dirinya.
Drrt drrt
Kulirik ponselku yang ada di atas ranjang. Aku meraihnya dan melihat ke layar ponselku. Sebuah panggilan masuk dari Gino. Aku mengernyit. Untuk apa lelaki itu menelponku di jam seperti ini. Karena tak mau membuatnya menunggu lama aku pun langsung menekan tombol hijau. Kutaruh ponselku di telinga kanan sambil menunggu orang itu berbicara.
"Halo, ini Tara, kan?"
Aku membuka perlahan bibirku. "Iya. A-ada apa, Gino?"
"Nggak ada apa-apa sih. Cuma gue denger di daerah deket rumah lo ada kafe yang cukup terkenal, yah?"
"Setau gue iya. Kenapa memang?"
"Mau ke sana, nggak? Gue pengen coba ke kafe itu. Katanya di sana ada music live, lho."
Aku memegang dadaku erat. Jantubgku berpacu lebih cepat dari biasanya. Ada apa ini?
"Ke-kenapa ngajak gue?" tanyaku kikuk.
"Oh, lo sibuk, yah?"
"Bu-bukan itu!" jawabku panik. "Gue bisa kok. Tapi besok kan sekolah, gimana dong?"
"Kan masih bisa pulang sekolah, cantik."
Panggilan terakhir Gino membuatku tak dapat berkata-kata lagi. Dia bilang aku cantik?
"Tapi nanti kalo dimara--"
"Soal itu tenang aja. Gue nggak bakal bawa lo ke mana-mana kok, cuma ke sana. Dan gue jamin lo pulang dengan selamat. Gimana?"
Aku menghela napas berat. "Huft. Oke deh. Gue ikut."
"Yes!" Gino bersorak. "Besok gue tunggu di depan kelas lo, yah."
"Eh! Kenapa kelas gue?" tanyaku heran.
"Ya, gue mau jemput lo di sana aja. Gapapa, kan?"
"Gapapa sih."
"Yaudah kalo gitu besok fix, yah."
"Iya. Iya." Aku terkekeh kecil.
"Kalo gitu sampai jumpa besok. Bye, Tara. Mimpi indah."
"Bye, Gino. Lo juga."
Klik
Tut
Kulempar tubuhku jatuh ke ranjang. Tanganku mengambil guling lalu membekap wajahku sembari berteriak kegirangan. Entahlah apa yang kurasa ini, perasaan bingung, deg-degan, senang bercampur jadi satu. Rasanya dada ini mau meledak saking bahagianya. Bukannya kegeeran Gino mengajak jalan, tetapi bukannya ini namanya kencan?
Oh, my God! I can't believe this!
KAMU SEDANG MEMBACA
ABITARA
Teen Fiction[ FOLLOW TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMBACA ^^ ] Siapa yang tidak kenal dengan Abimanyu Aileen Caesar. Laki-laki tampan dan juga kaya, memiliki banyak prestasi dibidang Akademis maupun Non-Akademis. Ia juga mudah akrab dengan teman sebayanya. Hanya saj...