Malika Adayya
Semenjak menikah, perasaanku kepada Mas Ghibran setiap hari semakin besar, aku tak pernah lupa mendoakan calon ayah anakku di waktu sujudku. Sampai detik ini aku masih tak percaya bahwa Mas Ghibran telah memilihku, padahal banyak perempuan sholeha yang lulus dari pesantren bahkan anaknya Ustadz. Kami tidak saling mengenal, takdirlah yang mempertemukan sepasang insan hingga jatuh cinta sesuai ketentuanNya.
Waktu itu aku bertemu Mas Ghibran di angkot sepulang dari toko roti rutinitas setiap hariku, aku terus memerhatikan keseriusannya yang sedang membaca al-qur'an meskipun dalam guncangan karena di perjalanan. Hatiku tergugah kagum. Faktanya sangat sulit kutemui pemuda yang masih mengingat Allah saat bepergian. Ketika pemuda zaman sekarang sibuk bermain ponsel kapan pun dan di mana saja, tetapi dia tidak.
Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta pada hamba Allah yang begitu khusyu dengan mushaf di tangannya, apa lagi setelah Mas Ghibran menolongku dari tindakan krimal di dalam angkot. Saat seluruh penumpang pura-pura bodoh, hanya Mas Ghibran yang berani nyela.
"Maaf, Mas, sesungguhnya perempuan itu makhluk yang lemah, halus, lembut. Kita sebagai laki-laki wajib melindungi serta menjaganya dengan baik." Sontak diriku terperanjat, langsung memeriksa pemuda di sampingku yang membatu.
Pun aku berucap syukur di dalam hati mengamatinya yang melompat turun sambil menanggung malu. Tidak lama Mas Ghibran juga turun, bahkan aku masih ingat betul kalimat pertamanya untukku sebelum membayar ongkos.
"Lain kali, kenakan jilbabnya ya Mbak, setiap hendak ke luar rumah," katanya waktu itu, tersirat pesan yang dalam.
Keesokannya sebelum berangkat kerja aku teringat, kuulurkan jilbab panjang nyaris menutup seluruh tubuhku, dulu aku rutin mengikuti kajian setiap hari di sekolah. Hukum berjilbab itu wajib bagi perempuan yang sudah baligh. Di sekolah aku mendapatkan nilai agama tertinggi, tapi sayang, begitu lulus aku menanggalkan jilbabku karena kantor
membutuhkan karyawan mempesona.Mengenakan kemeja resmi, dipadukan dengan rok sepan selutut, tidak sampai tiga bulan aku putuskan keluar saat Abi mulai mengkhawatirkan pekerjaanku. Kemudian aku melamar kerja di salah satu toko roti, sayangnya aku juga tidak mengenakan hijab dengan alasan ribet.
"Alhamdulillah, sekarang hijabku sudah sempurna, akan aku jaga hidayah ini." Dengan terharu aku memeluk khimar pemberian Mas Ghibran kemarin sore.
"Assalammu'alaikum, Humaira ..."
Panggilan Mas Ghibran mengambil alih pikiranku yang melambung, buru-buru aku menghampiri beliau, yang pulang lebih cepat dari biasanya bahkan baru saja berpamitan padaku 10 menit lalu. Membuatku khawatir sekaligus panik. Kulihat Mas Ghibran berdiri di ambang pintu, tersenyum manis ke arahku, pun aku membalasnya sembari menjawab salam, lalu menyalim tangan kasarnya.
"Wa'alaikumsalam, maaf Mas, aku tadi di kamar, jadi tidak tahu kamu pulang."
"Iya, tak apa, Mas juga pulang tiba-tiba. Mas lupa sudah berikrar, kalau di awal kehamilanmu akan ambil cuti sehari."
Ya Allah! Mataku berkaca-kaca, rasanya ingin menangis, kalau saja Mas Ghibran tidak menghentikan aksi berlebihanku. Pagi ini kami memang baru mendapat kabar yang menggembirakan, sebulan menikah Allah sudah memercayai kita berdua dengan menghadirkan janin di rahimku. Cukup cepat? Tidak masalah. Aku dan Mas Ghibran sangat bersyukur dengan kabar ini, rasanya masih belum percaya kami akan menjadi orang tua.
"Mas, mau dimasakin apa?"
"Khusus hari ini Mas yang akan masak, kamu duduk manis, jadi ratu sehari."
"Ya Allah, Mas, biar aku saja."
"Tidak, Malika, Mas sudah janji pada diri sendiri, tidak boleh diingkari."
Selama Mas Ghibran memasak, aku tak berkedip mengamatinya, amat terpana dengan beliau yang ternyata sangat ahli melaksanakan tugas dapur. Tangannya cukup lihai memotong sampai meracik bumbu dengan takaran yang pas. Jujur! Pertemuan kami sangatlah singkat, aku mengenalinya secara perlahan, kadang aku sampai terkagum-kagum saat tahu keahliannya yang lain sebelum hari ini.
Kepribadian Mas Ghibran membuatku jatuh cinta, dia memang suami idaman perempuan pilihan, dan orangnya itu adalah aku. Siapa yang tahu jodoh kita? Semuanya rahasia Allah, dari dulu aku selalu berharap dipertemukan dengan pria sholeh, yang bisa membimbingku menjadi bidadari yang dirindu surga.
"Umi Malika, makanan sudah siap."
"Umi ..." Tak mangkir aku tersipu, Mas Ghibran paling bisa bikin hati bahagia.
"Iya, sayang, sebentar lagi kamu akan menjadi seorang ibu." Dengan telaten Mas Ghibran mengambilkan makanku, lalu menuang air ke dalam cangkirku. "Silakan dimakan Sayang, jangan lupa baca doa agar makanan kita berkah."
"Bismillah."
Sembari menikmati masakan pertama Mas Ghibran aku terus menatapnya, di luar ekspetasiku rasanya sangat enak. Bahkan, aku pikir masakannya unggul dariku, kendati aku begitu paham saat merasakan masakan dari setiap orang. Ini seperti makan dengan harga yang cukup fantastis. Bukankah Allah suka orang yang jujur? Seperti Rasullullah sehingga mendapat julukan Al-Amin.
"Mas, ini enak sekali, aku merasa jika masakanku kalah jauh."
"Jangan berlebihan, Malika."
"Hanya ingin berkata jujur, Mas, bukan berlebihan. Cobalah! Ayo, sesuap saja."
Sesaat aku menyuapkan sesendok, Mas Ghibran mengunyahnya pelan sembari menatapku, kemudian bertanya lirih. "Kamu suka?"
"Alhamdulillah, aku sangat suka."
"Alhamdulillah."
Setelah kami makan, ketika aku hendak mencuci piring, sekali lagi Mas Ghibran menahanku, dia melakukannya dengan cepat tanpa melibatkanku. Sesudah itu Mas Ghibran kembali duduk, kami tak menyiakan kesempatan 'tuk mengenal lebih jauh, bercerita panjang kali lebar, dan membahas banyak hal. Hingga Mas Ghibran membicarakan sahabatnya Ali, memberitahuku ia akan pergi ke Kairo.
"Mungkin, sekitar dua atau tiga bulan lagi Ali akan berangkat, dirinya sudah mantap ke Kairo untuk mendapatkan ilmu agama yang lebih dalam." Cerita Mas Ghibran, aku tak dapat menutupi kekagumanku kepada Ali yang cerdas.
"MasyaAllah, semoga perjalanannya ke Kairo lancar, dan ilmu yang didapatkan menjadi berkah untuk dirinya ya, Mas."
"Iya, juga untuk banyak orang."
Tentu saja, itu sudah pasti jika Ali dapat mendakwahkan ilmunya kepada orang-orang dengan sukses, lantas diamalkan. "Aamiin, Allahuma'aamiin."
Tidak aku maupun Mas Ghibran diam.
Di sebrang meja aku menatap suamiku dengan perasaan penuh, kurasa dialah yang paling tepat mengambangi segala kekuranganku dengan kelebihannya di dunia dan di akhirat. Mas Ghibran tak hanya baik padaku, tetapi juga kepada semua orang, kerabatnya terutama Ali. Mereka memang sangat dekat, bahkan saking dekatnya aku pernah cemburu.
Terkadang cinta selucu itu, kita merasa cemburu diabaikan oleh pasangan, tapi kita sendiri sering atau bahkan sengaja mengabaikan panggilan adzan. Apakah kita tidak berpikir Allah juga cemburu? Kini, aku tak begitu peduli dengan risau hatiku serta kecemburuanku, yang aku takutkan jika Allah SWT telah cemburu.
"Malika, kenapa kamu menangis?" Mas Ghibran menatapku panik, refleks aku mengusap seluruh air mataku di wajah. "Apa Mas pernah melukai hatimu?"
"Tidak Mas, aku hanya terharu saja."
Mas Ghibran bangkit, mengambil posisi di sebelah kiri, lalu membelai kepalaku. "Apa yang membuatmu terharu?"
"Ya, terharu karena Mas Ghibran sudah memilihku, aku masih tidak percaya." Saat Mas Ghibran mendekap kepalaku ke dadanya, aku hanya mengucap rasa syukur sebanyak mungkin dalam hati.
----------
Selamat hari raya idul adha^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Idaman ✓
SpiritualIstri idaman: 1. Shalihah 2. Cantik 3. Pintar 4. Putih 5. Langsing "Jika nomor 1 tidak aku temukan, maka poin-poin berikutnya tak begitu penting bagiku, karena aku menginginkan istri sholeha, bukan model yang digilai fans hingga ribuan kaum Adam." ...