Bab 19

866 38 0
                                    

Malika Adayya

Setelah kepergian Mas Ghibran, terus terang aku merasa kesepian. Waktuku banyak terbuang sia-sia. Kegiatan yang aku lakukan tiada berarti, sekalipun itu memasak makanan untukku sendiri. Semampunya aku tegar menghadapi kekosongan hati dan hari. Saat ini aku masih belajar mengikhlaskan apa yang telah Allah ambil dariku, meski rasanya separuh jiwaku bagaikan mati. Dengan perasaan hampa aku memandang rak buku Mas Ghibran yang tampak lusuh. Sudah sebulan lebih tempat itu tidak disinggahi, hingga abu pun menumpuk.

"Ya Allah, aku harus memberikannya sebagian ke Pondok untuk orang yang membutuhkan buku bacaan. Semoga menjadi amal jariyah Mas Ghibran."

Saat ingat aku langsung membereskan buku-buku Agama milik Mas Ghibran. Tidak lupa membersihkannya terlebih dulu, sambil memilih beberapa buku yang masih aku butuhkan. Senyumku melebar ketika memegang buku Fiqih Khusus Muslimah. Waktu itu tepat satu minggu pernikahan kami, Mas Ghibran mengajak ke toko buku membelikan untukku dengan kalimat yang cukup membuatku tersentuh. Aku terkenang.

"Udah punya buku ini belum?" tanya Mas Ghibran seraya menunjuk judul.

Aku membacanya sekilas, menggeleng. "Belum Mas."

"Iyaudah, ini Mas belikan buat kamu." Diulurkannya buku itu padaku, lantas mendekapku mesra dari samping. "Malika istriku, Mas ingin kamu jadi madrasah pertama anak-anak kita nanti, bukan orang lain. Ketika kamu jelaskan Fiqih sampai mereka paham dan mengamalkannya, maka kamu akan mendapatkan pahala yang sama."

Sesaat aku mengangguk Mas Ghibran melepas pelukannya, dan berkata lagi. "Mungkin, aku nggak bisa memberimu kemewahan dunia, tapi setidaknya aku memberitahumu jalan menuju surga."

Dalam lamunan panjangku tersenyum, mengingat salah satu momen yang membuatku merasa beruntung telah menjadi istrinya. Kendati, sebagian besar perubahan yang ada pada diriku berasal darinya. Nikmat dari Allah. Meski kebahagiaan itu hanya sebentar, tapi aku tetap bersyukur hingga nanti. Ketika aku menceritakan kisah cinta yang sesungguhnya kepada anakku.

Tok! Tok!

Ketukan pintu menyadarkanku dari lamunan. Buru-buru aku bangkit, tak lupa memasang cadarku sambil lalu. Sepeninggal Mas Ghibran memang ada saja tamu yang datang ke rumah, entah sekadar menemani, menghibur, atau memberikan bahan pokok. Sebagian besar mereka adalah teman kajianku, meski ada juga rekan kerja suamiku.

Cklek! Senyumku melebar saat melihat Ayah yang datang. Lelaki terhebatku.

"Assalammu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Ayah ..." Aku tidak bisa menahan tangisku, dan langsung memeluknya sebagai rasa rinduku.

"Bagaimana kabar kamu, Nak?" Ayah bertanya sambil melihat sekelilingku.

"Alhamdulillah, baik. Ayah mau kopi atau teh? Atau mau makan? Malika baru aja selesai masak," kataku ceria.

Maksudnya, mencoba ceria.

Setidaknya, dengan kedatangan Ayah aku tidak lagi merasa sepi walau hanya sebentar. Aku sudah sangat terhibur.

"Tadi ada sedikit rezeki, ini Ayah beli buat kamu. Semoga kamu suka ya."

Aku pun membuka kantong plastiknya. Ternyata sebuah gamis bewarna hitam. "Ya Allah, Ayah. Uangnya kan bisa buat keperluan yang lain. Ini pasti mahal."

Ayah enggan menjawabnya. Sementara aku masih tak enak hati dengan gamis pemberian Ayah. Bukan aku tidak suka, tapi aku merasa jika Ayah lebih butuh uangnya mengingat pekerjaannya yang tidak rutin. Saat beliau duduk aku pun menyiapkan teh, beserta setoples kue.

"Ayah kerja di mana?" tanyaku ingin tahu, sembari duduk di sebelahnya.

"Masih di Pondok, Nak, bantu-bantu. Kayaknya nggak ada yang mau pake tenaga Ayah lagi." Pernyataan Ayah membuatku bertanya-tanya. Karena setahuku Pondok tidak memberikan upah, hanya sekadar untuk makan.

"Jadi, kalau Malika boleh tau Ayah dapat uang dari mana?" Aku bertanya lagi, belum puas dengan jawabannya.

Cukup lama aku menunggu, menatap bingung wajah Ayah yang mengerut. Aku tahu jika beliau sedang berpikir suatu hal menyangkut pertanyaanku. Akan tetapi aku tidak ingin memaksa. Aku membiarkannya menyesap teh yang sudah hangat, bahkan aku tidak menyerah menyuruhnya makan siang di rumahku. Menjamunya sangat baik.

"Hmm, Ayah dapat rezeki dari seorang lelaki yang diam-diam menyukaimu."

"Huss, Ayah, bercanda aja nih," kataku sambil menaruh teko beserta dua gelas.

Sementara aku menuang air ke dalam gelas, Ayah mengambil nasi untuknya berikut lauk pauk yang sudah aku hidangkan. Aku tidak begitu percaya dengan ucapan Ayah barusan, yang kuanggap hanya candaan belaka. Terlebih beliau tidak menyinggungnya lagi sampai kami selesai makan. Di saat Ayah melipir ke rak buku, aku pun membereskan meja, lalu bergabung.

"Malika titip beberapa buku ya, Yah, buat anak-anak di Pondok." Meraih salah satu buku yang tergeletak, aku membukanya lembar demi lembar. "Mungkin lebih bermanfaat, daripada di sini cuma buat pajangan doang."

"Iya, kamu kemasin aja, nanti Ayah bawa ke Pondok," jawabnya cepat.

Tanpa membuang waktu aku langsung mengambil kerdus di dapur. Mengepak buku-buku yang sering dipelajari Mas Ghibran setiap malam. Aku berkata demikian karena terbiasa melihatnya. Mas Ghibran tidak akan tidur sebelum membaca buku, dan mempelajarinya.

"Oh iya, Nak, ada yang ingin Ayah tanyakan." Nadanya terdengar serius.

Untuk menghargai Ayah, aku berhenti dari kegiatanku, lantas menatapnya. "Ayah mau tanya soal apa?"

"Perihal kesendirian kamu," jawabnya.

Sontak aku terdiam. Tak tahu lagi ingin berkata apa. Tanpa diterangkan lebih jauh aku sudah mengerti ke mana arah pembicaraan Ayah. Meski kedengaran tidak senang, tapi aku enggan melarang Ayah berbicara lanjut. Aku tetap diam mendengarkannya walau tidak benar-benar aku saring. Hingga ucapannya yang satu ini menghunjam jantungku.

"Kamu tau Ayah sudah tua, Nak. Untuk makan sendiri aja susah, apalagi harus memenuhi kebutuhanmu. Belum lagi biaya kuliah adik kamu yang mahal."

Ya Allah! Ya Allah! Ya Allah! Berikanlah aku kekuatan, setidaknya sampai Ayah pergi. Perkataannya memang melukai hatiku, tapi aku tidak ingin melihatnya terluka karena melihat aku menangis. Aku tersenyum getir, menahan air mata yang mendesakku ingin meluap keluar.

"Ayah berkata sejujurnya, Nak. Bukan bermaksud menyinggung perasaanmu. Ayah hanya ingin berpikir realistis dan terbuka. Di sini kondisi Ayah sudah tua, dan kamu masih sangat muda, bahkan sebentar lagi akan menjadi seorang ibu. Ada baiknya kamu memikirkan sebuah pernikahan dari sekarang." Beliau terus menekan, membuatku semakin hancur.

Semampunya aku bertahan, dan masih tersenyum di balik hancurnya hatiku.

"Kamu ngerti maksud Ayah kan, Nak?"

Aku hanya mengangguk. Tidak sanggup berkata-kata. Sekalipun aku berusaha tegar, aku tahu jika Ayah mengetahui apa yang kurasakan sejak pertama kali dia menyinggung pasal pernikahan.

"Ya sudah, sebentar lagi ashar, Ayah mau balik ke Pondok," kata beliau.

Lagi, aku hanya mengangguk.

Membiarkan Ayah mengangkat kerdus yang berisikan buku-buku, kemudian membawanya ikut serta. Setelah satu menit kepergiannya tubuhku lunglai, dan aku menangis hebat. Perkataannya yang kejam memang benar adanya, jika aku ini sebuah beban. Kondisi yang tua sehingga tidak memungkinkan beliau menanggung kehidupanku. Sebelum ini aku tak pernah memikirkannya karena pemasokan bahan pokok berdatangan. Tidak tahu beberapa bulan ke depan.

----------

Sedih banget ya di posisi Malika:(

Istri Idaman ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang