Bab 14

1K 48 0
                                    

Hanya kepada Allah, aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.
(QS. Yusuf: 86)

Mas Ghibran baru saja pergi ke Masjid, adzan subuh masih berkumandang, ini jadwal pertama beliau mengisi dakwah menggantikan Ustadz Adam. Lepas dari kejadian meresahkan lalu membuatnya mengambil keputusan, tidak akan pergi meninggalkanku. Untuk berdakwah di mana saja bisa dilakukan. Kita manusia fakir akan ilmu, pakar ilmu sekali pun masih terus belajar tanpa adanya akhir.

Dengan mata mengecil aku mendengar adzan yang berkumandang, meski aku jarang berbicara dengan Ali, aku dapat mengenal suaranya yang khas. YaAllah! Menunduk risau, aku mulai menghalau bayangan momen pernikahan keduaku seminggu lalu, juga kecerobohan siang tadi. Seakan-akan terus menghantuiku. Kenapa jadi seperti ini? Aku tak terlalu pandai menyembunyikan sesuatu yang mengganjal hatiku, tapi aku juga tidak ingin Mas Ghibran mengetahuinya, itu akan menjadi kabar terburuk baginya.

"Bismillah." Aku berdoa dalam hati di antara adzan dan komat untuk semua.

Untukku, Mas Ghibran, juga untuk Ali.

"Aamiin." Kuakhiri doa dengan lega.

Kemudian, aku bangkit melaksanakan kewajiban sholat subuh dengan kusyu. Sesudahnya memberi salam, aku tidak lupa memanjatkan rasa syukurku, dan meminta rahmatNya hari ini. Membuka Al-Qur'an yang baru saja kuambil, aku pun melanjutkan bacaanku semalam. Sudah seperti kewajiban bagiku. Rutin membaca ayat suci seusai sholat walau hanya selembar. Hingga mentari terbit.

"Assalammu'alaikum, ya Malika."

"Wa'alaikumsalam." Mendengar suara panik Umi Kalsum, dengan cepat aku bangkit tanpa membuka mukenahku.

Di balik pintu yang masih tertutup aku bisa mendengar suara panik Umi terus memanggil namaku, dengan perasaan was-was aku menyambutnya, langsung mempersilakan masuk. Wajahnya Umi Kalsum tampak panik sekali, rasa takut mulai menjalar hingga mataku panas.

"Ada apa ya Umi?" tanyaku cemas.

"Ghibran pingsan setelah mengakhiri ceramah, denyut nadinya lemah, kini sudah dibawa ke rumah sakit dengan Ustadz Yusuf beserta kerabat lainnya."

Innalillahi. Tubuhku terguncang hebat. Bersamaan dengan tubuhku mendarat di lantai, tangisku tumpah. Umi Kalsum tidak hentinya menenangkanku, beliau terus mengusap pundak dan kepalaku. Cobaan apa lagi ini yaAllah? Membalas pelukan Umi Kalsum, aku menangis di pelukannya, mengharapkan kekuatan.

"Malika ingin melihat Mas Ghibran."

"Sebentar ya Nak, tunggu telepon dari Ustadz Yusuf," jawab Umi Kalsum, dia bangkit, mengambilkan secangkir air. "Minumlah, biar anti tenang sedikit."

Mengangguk patuh, aku menerimanya, dan meminumnya sedikit demi sedikit. Saat ponsel Umi Kalsum berdering hati ini berharap cemas, aku pun langsung bangkit begitu mengetahuinya sedang bertelepon dengan Ustadz Yusuf. Sadar jika kehadiranku sangat ditunggu, aku lantas mempersiapkan diri secepatnya.

"Umi, apa bisa berangkat sekarang?"

"Iya Nak, Ghibran sudah menunggu."

Tanpa buang-buang waktu aku meraih tangan Umi Kalsum, menggandengnya menuju mobil anaknya yang baru saja tiba. Di sepanjang perjalanan Umi terus menenangkanku, sejak mengenalnya, beliau yang paling mengerti kondisiku. Setibanya di rumah sakit pandanganku mengarah pada Ali, ketika Umi Kalsum mengajak Ustadz Yusuf bicara, kakiku melangkah lambat menghampirinya. Di mana firasatku mengatakan bahwa ada hubungannya dengan kegelisahan hati.

Istri Idaman ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang