Bab 6

1.5K 56 7
                                    

Malika Adayya

Semua terjadi begitu cepat, aku sangat sedih sumber surgaku kini telah tiada, Allah mengambilnya dariku lebih cepat dari yang aku kira. Sepekan sudah Mas Ghibran meninggalkan kami, aku dan calon anaknya, sungguh seperti mimpi. Menghapus sisa air mataku di kantung mata, aku tidak boleh seperti ini terus, Mas Ghibran sudah di surga, jadi kini aku harus berikhtiar menyusul beliau dengan memperkuat iman. Mengingat kisah Ummu Salamah, ketika suaminya meninggal dunia, Allah menggantinya dengan Rasullullah karena keikhlasan.

Tidakkah kita perhatikan? Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu itu karena Allah, niscaya Rabb akan menggantinya dengan lebih baik jika ikhlas bersabar.

"Allahummaghfirli watub alayya, innaka antat tawwabur rohim." Tak terasa air mataku kembali menitik, teringat akan seluruh dosa yang telah menggunung.

Kusudahi sholat dhuha pagi ini dengan doa mohon ampunan, aku merasa jika berlebihan pada satu minggu terakhir. Sebelumnya, sedari buka mata hingga menutup mungkin aku akan menangis, meratapi kepergian Mas Ghibran. Tapi tidak lagi sekarang, aku harus bangkit. Terdapat janin dalam rahimku, ketika Mas Ghibran memercayai kekuatanku, maka wajib hukumnya aku bertahan.

"In sya Allah, aku sanggup, Mas." Kedua tanganku mengusap perut yang mulai membesar, dia tumbuh dengan pesat. "Aku janji akan mendidik anak kita."

Tersenyum, aku mencoba menemukan kebahagiaanku kembali, untuk anakku. Kini, aku hidup sendiri, rasanya berat meninggalkan rumah ini, yang cukup membuatku nyaman tinggal bersama Mas Ghibran. Kekasihku, yang sering memuliakan diriku semasa hidupnya. Abi sudah mengajakku pindah, tetapi aku menolaknya karena kenanganku dengan Mas Ghibran menahan tinggal.

Tok! Tok!

"Assalammu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Mendengar salam itu aku pun bergegas keluar, sejak Mas Ghibran pergi banyak Akhwat berdatangan menyemangatiku, mereka memang saudara seiman yang pengertian. Senyumku merekah begitu melihat Umi Kalsum yang datang. Aku langsung mendekati beliau, menyalim tangannya, lalu mempersilakan masuk.

"Umi mau minum apa?" tanyaku sopan.

"Hmm, apa saja, Umi tidak ingin kamu repot Malika." Oh, Umi! Aku tersenyum lagi, sembari menuang air ke cangkir.

"Bagaimana kabar pondok, Um? Maaf, sudah seminggu Malika tidak datang."

"Iya, Malika, tidak apa-apa, kami turut mengerti dengan keadaan kamu. Kabar kita semua alhamdulillah baik, banyak Santriwati yang merindukan kamu."

"Alhamdulillah, Malika juga rindu Um, in sya Allah besok Malika akan datang." Hatiku sudah mantap mengembalikan kekacauan ini, insyaAllah aku mampu.

Umi bercerita banyak mengenai ponpes Al-Amin, setelah menikah dengan Mas Ghibran langkahku jadi ringan menuju pondok, bertemu orang-orang memiliki visi dan misi yang sama. Untuk Agama. Kami memang dekat bagaikan ibu dan anak, tutur kata Umi Kalsum sangatlah lembut, aku seperti menemukan ibuku pada dirinya. Hingga cerita Umi sampai kepada perjodohan Ali dengan Shofia, aku masih fokus diam mendengarkan.

"Malika, ini amanah dari Ustadz Yusuf kepada Umi, dia berpesan agar segera menyampaikannya padamu." Dengan tegas Umi memberi pencerahan lebih dulu, beliau memegang tanganku halus.

"Na'am Umi, ada apa?"

"Ali menolak perjodohan itu, dia ingin menikahimu Malika, jika kamu sedia."

Ya Allah! Aliran darahku berdesir cepat, kabar apa lagi ini? Kepergian suamiku masih terhitung minggu, makam beliau juga belum kering, aku tidak mungkin mampu berpaling darinya secepat ini. Mas Ghibran cinta pertamaku, pun aku berkomitmen dari awal akan menikah sekali selamanya, tak ada yang kedua.

Istri Idaman ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang