[Satu tahun kemudian]
Satu tahun ternyata bukan waktu yang lama. Baik aku maupun Malika tidak pernah menyangka sebelumnya kami akan menikah. Hidup satu rumah dan menjalin hubungan dengan sedekat ini. Sebenarnya, cukup sulit mendapatkan Malika, mengingat seluruh perjuangan berikut pengorbanan yang aku ambil. Berani meninggalkan bangku kuliah hingga menolak wanita sebaik Shofia. Di balik ini semua aku sadar jika Allah yang menentukan. Dia menyulitkanku sekaligus menolong dalam satu waktu.
Dari awal menikah kami telah menjalin hubungan dengan sangat baik berkat pertolongan Allah. Sebelum akad kami memang sering bertemu tentunya ada mahrom yang mendampingi, sekadar menjenguk keadaannya Malika sampai memberi sokongan hidup sesuai janji. Bahkan, ketika wanita itu melahirkan pun aku ikut mengantarnya ke rumah sakit, dan menjadi orang pertama yang menggendong jagoannya Ghibran.
"Astagfirullah, aku kirain tadi siapa. Tumben kamu cepat pulangnya." Aku terkekeh melihat Malika terkejut. Dia sedang membuat susu, sementara aku mengamatinya dalam diam sejak tadi.
"Jalanan agak lenggang, Sayang, jadi bisa ngebut dikit," jawabku santai.
Malika menaruh dot yang dipegangnya, lantas mendekatiku. Menatapku tajam. "Jangan ngebut-ngebut, Li, bahaya."
Sorot matanya menyiratkan ketakutan, padahal aku sudah berada di depannya dengan selamat. Kekhawatiran Malika memang berlebihan, aku cukup paham jika trauma kehilangan masih tertanam di benaknya. Aku pun memakluminya.
"Iya Sayang, aku ngejar jadwal taklim sore ini makanya ngebut. Kamu nggak usah takut, Allah akan menjagaku." Di saat aku menginginkan Malika supaya tenang, dia malah menangis sesegukan.
"Aku nggak mau kehilangan kamu lagi." Wajah Malika menunduk, kulihat dia berusaha menghapus air matanya.
Mungkin kalimat itu akan kedengaran istimewa jika tanpa kata terakhir yang menyertainya 'lagi'. Terkadang, tanpa kusadari rasa cemburu hadir setiap kali Malika mengenang almarhum Ghibran. Semampunya aku tidak menunjukkan kecemburuanku, bahkan aku juga ikut mengingat-ingat kebaikannya dalam percakapan panjang kami. Apalagi aku tahu jika Malika bukan wanita yang suka berbicara, maka ketika dia sudah bercerita aku paling senang mendengar ceritanya hingga ujung. Meskipun yang Malika bahas tentang kekagumannya terhadap Ghibran, suami pertamanya.
"Malika, segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini atas kehendak Allah. Aku tidak akan celaka sekalipun semua orang di dunia membuat makar jahat padaku, sebab Allah tak menghendaki. Begitu juga dengan aku yang sudah berusaha menghindar semampuku dari kejahatan, sekalipun semua orang menolongku jika Allah berkehendak lain, maka aku akan celaka." Dengan lembut aku menjelaskannya, memberi pemahaman pada Malika yang lemah.
Wanita itu langsung memelukku erat. Tangannya bergetar, dan dia berkata. "Aku hanya takut kehilanganmu."
Tanpa menjawab lagi aku memeluknya lebih erat, menyampaikan rasa takutku jauh lebih besar ketimbang dirinya. Di hatiku hanya ada satu wanita, dan aku mencintai Malika dengan sepenuh hati. Jujur! Aku takut kehilangan Malika, di saat aku belum benar-benar siap. Tak pernah siap maksudku, tapi aku sadar bahwa sosoknya hanya titipan yang suatu waktu akan diambil oleh Allah.
"Jangan takut, aku selalu bersamamu. Jikalau pun pisah di dunia ini, in sya Allah kita akan bertemu lagi di surga."
Malika mengangguk-angguk, kemudian berbalik setelah mengusap lenganku beberapa kali. Dia kembali ke kamar sambil membawa dot yang berisi susu untuk Ibrahim. Aku pun mengikutinya di belakang. Tidak ingin melewatkan kebahagiaan Malika yang mencoba khimar baru dariku. Di perjalanan pulang tadi aku menyempatkan ke butik membelikan Malika hadiah sebagai bentuk rasa terima kasihku, karena dia telah menerima lamaranku tepat setahun lalu. Itu momen terindah.
"MasyaAllah, anak Umi ternyata belum bangun." Kulihat Malika mendekati Ibrahim, dia mengecup keningnya.
Saat matanya mengarah pada kantong plastik yang kutaruh di atas meja, aku terus memerhatikannya dalam diam. Jantungku berdegup tanpa kumengerti, begitu Malika membuka kotaknya yang dikemas rapi oleh pekerja butik. Aku berharap cemas menantikan reaksi bahagia Malika atas perlakuan manis yang sudah aku persiapkan jauh hari. Diam-diam memberikannya hadiah.
"Kamu suka?" tanyaku langsung.
"Ya Allah, Mas Ghibran kamu membeli khimar baru untukku?"
Deg! Aku sontak tergugu. Dengan kedua tangan halusnya Malika mengenakan khimarnya sangat cantik. Aku masih terdiam, enggan berkata-kata apapun. Jantungku berasa diremas. Sakit bukan main. Melihat Malika bahagia adalah tujuanku, tapi tidak dengan pikirannya yang mengarah pada orang lain. Meski orang lain itu Ghibran, aku tetap tidak menyukainya, bahkan aku sakit hati.
"MasyaAllah, khimarnya sangat cantik. Warna dan bahannya aku juga suka." Malika masih menatap cermin, tampak bahagia sekali dengan khimar barunya. "Mas, coba deh liat. Cantik tidak?"
Untuk seperkian detik Malika terdiam. Dia terkejut saat menyadari kesalahan. Matanya mengerjap lebih cepat. Meski demikian entah kenapa aku masih bisa bersikap wajar, tidak marah, terlebih mendapati wajah Malika yang pucat.
"A-li, maafkan aku." Wanita itu tampak sangat ketakutan. Aku tersenyum miris.
"Kamu cantik, Malika," jawabku pelan.
Ternyata sikap tenangku membuatnya semakin merasa bersalah. Malika tidak bisa menahan tangisnya lagi, ketika aku datang membelai kepalanya. Ya Allah! Aku mencintai Malika, dan aku tidak akan memarahi istriku karena masalah perasaan yang berkaitan dengan dunia.
"Aku sering membuat kesalahan yang serupa. Tidak bisa terhitung lagi entah sudah berapa kali. Sungguh! Itu semua di luar kendaliku. Kamu sering mengingatkanku, tapi sesering itu juga aku berkhianat. Maafkan aku, Li."
"Tidak apa-apa. Aku mengerti."
"Tapi aku tahu kamu terluka."
"Sudah biasa, aku tidak apa-apa."
"Kenapa kamu tidak memarahiku?"
"Karena aku mencintaimu."
"Maaf." Malika meremas kedua sisi gamisnya, dia merasa sangat bersalah. "Aku belum bisa mencintaimu."
Sampai kapan? Pertanyaan itu tertahan di benakku yang terdalam. Aku tidak lagi kaget mendengar pengakuannya. Malika memang istriku, melakukan selayaknya seorang istri, melayani dan membantu pekerjaanku. Dia menatap lembut mataku, membelai penuh kasih lenganku, mendengar perkataanku, nasihatku, beserta penyejuk mataku. Akan tetapi aku tahu jika Malika belum bisa menerimaku seutuhnya hingga detik ini. Hatinya masih untuk Ghibran.
"Sudah, lupakan saja. Sekarang kamu siap-siap, kita akan berangkat taklim. Ibrahim bangun nanti biar aku yang kasi susu." Mendekati Malika, dengan lembut aku mengecup keningnya, lalu menuju tempat tidur Ibrahim.
Tidak lama Malika pergi Ibrahim pun bangun. Buah cinta Ghibran dengan Malika. Kini, anak kami sudah berusia sembilan bulan. Aku menyayanginya seperti anakku sendiri. Ghibran pasti bahagia jika melihat tumbuh kembang anaknya yang begitu cepat. Qodarullah! Dia tidak sempat menyaksikannya, dan Allah memercayaiku untuk mengasuh Ibrahim menggantikan tugas Ghibran.
"Semoga kelak kamu menjadi anak yang shalih, yang bermanfaat bagi banyak orang, dan yang meringankan hisab kedua orang tuamu di akhirat." Aku mengusap kepalanya Ibrahim beberapa kali, sambil mendoakan kebaikan atasnya, yang akan menjadi kebanggaan kami semua di akhirat.
Terutama untuk Ghibran dan Malika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Idaman ✓
SpiritualIstri idaman: 1. Shalihah 2. Cantik 3. Pintar 4. Putih 5. Langsing "Jika nomor 1 tidak aku temukan, maka poin-poin berikutnya tak begitu penting bagiku, karena aku menginginkan istri sholeha, bukan model yang digilai fans hingga ribuan kaum Adam." ...