Malika Adayya
Menumpuk baju-baju milikku ke dalam kotak, aku tidak membawa seluruhnya, hanya beberapa potong, meninggalkan sebagian lagi untuk ngisi kekosongan di sebelah pakaian Mas Ghibran. Siang ini aku akan pulang ke rumah Abi, sampai keesokan harinya tiba, waktu yang t'lah kami tetapkan bersama. Aku tidak tahu dengan perasaanku terhadap Ali, yang jelas masih biasa saja. Nyatanya, semua cintaku telah aku persembahkan untuk Mas Ghibran seorang, cinta pertamaku.
Keputusan ini aku pilih karena Agama, mengingat seluruh jawaban Ali aku tak ada alasan untuk menolaknya, apa lagi Ustadz Yusuf dan Umi Kalsum dukung. Sementara Abi dan Malik menyerahkan padaku, tapi aku bisa mendengar suara adikku yang antusias lewat telepon. Di Majelis Ilmu semalam Umi memberiku pesan, jika aku harus bahagia, menutup kesedihanku, dan siap menghadapinya.
"Ini semua karena Allah, dan anak kita Mas, untuk kebahagiaannya nanti."
Sambil mengelus perutku dari luar, aku terpejam, membiarkan kenangan yang tak terlupa menyala di ingatanku. Dulu, aku sempat mengkhayal, suamiku akan menemani saat proses persalinan. Jadi suster utama yang selalu siaga merawat dan menjagaku. Kini hayalanku itu tak lebih dari sekadar bayangan, rekayasa, yang hanya tercipta dalam pikiranku.
"Ya, Malika." Suara itu menyadarkanku, maka dengan cepat aku menghapus air mataku, bangkit, lalu menghampiri Abi.
Hampir saja aku lupa, sebelum kembali ke rumah Abi, kami akan datang kajian yang diadakan rutin setiap minggu. Pun aku mencium tangannya Abi, menuang air ke cangkir setelah menggelar karpet dan mempersilakan duduk. Itu menjadi kesiagaanku ketika kedatangan sodara, Mas Ghibran selalu mengingatkan agar aku menyediakan wedangan di rumah.
"Kamu sudah sarapan, Nak?" tanya Abi.
"Alhamdulillah, sudah Bi, kalau Abi sudah belum? Mau Malika siapin?"
"Boleh, tadi Abi tidak sempat beli, yang ada saja Nak, jangan masak lagi," jawab Abi, sekaligus memberiku pesan, beliau memang tidak pernah membebaniku.
Mengambilkan Abi semangkuk bubur, aku menambahkan suiran ayam pada atasnya, beserta bawang goreng. Tadi pagi aku memasaknya untuk sarapan. Aku tahu Abi sangat menyukai bubur ayam, jadi aku sengaja menambahkan bahannya mengingat beliau akan tiba. Selama Abi menikmati sarapan, tidak pergi ke mana, aku menunggu hingga selesai. Menyodorkan secangkir kopi.
"Alhamdulillah, terima kasih Nak."
"Iya Abi, ini tak seberapa, jasamu lebih dari segalanya jika dibandingkan satu mangkuk bubur," kataku tersenyum.
"Abi bangga padamu, kamu anak yang shalihah, Umi kamu pasti juga bangga."
"Malika lebih bangga pada Abi, kagum, begitu setia dengan Umi yang sudah ..."
"Anakku, jatuh cinta sesungguhnya itu hanya ada sekali dalam hidup kita, Abi tidak bermaksud menyinggungmu, dia orang yang baik. Hanya saja takdir dan kehendak Abi sejalan, Allah SWT tidak menghadirkan yang baru, dia dukung keputusan Abi untuk setia pada Umi."
"Jadi ... berarti Allah tidak mendukung kesetiaan Malika, tapi kenapa ya Abi?" Mataku mulai berkaca-kaca, keinginan hatiku untuk setia sangatlah besar, tak pernah berpikir akan berpaling ke lain.
Melihatku yang akan menangis, beliau mendekatiku, menyapu kepalaku, dan berbisik lirih. "Karena Allah SWT lebih menyayangi dirimu, yang sedang dalam proses hijrah dan berusaha istiqamah."
Pernyataan Abi sukses membuat hatiku bergetar, kesendirianku memang sudah mematahkan sebagian semangatku 'tuk beribadah. Rasanya aku menjadi malas melakukan ibadah sunnah yang sering kulakukan bersama Mas Ghibran. Dari hari ke hari aku jadi banyak merenung, memikirkan kehidupanku ke depannya jika hidup sendiri. Di lain sisi aku tidak ada keinginan untuk menikah lagi, dan berjanji 'kan menjaga cintaku padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Idaman ✓
SpiritualIstri idaman: 1. Shalihah 2. Cantik 3. Pintar 4. Putih 5. Langsing "Jika nomor 1 tidak aku temukan, maka poin-poin berikutnya tak begitu penting bagiku, karena aku menginginkan istri sholeha, bukan model yang digilai fans hingga ribuan kaum Adam." ...