Bab 15

1.1K 45 5
                                    

Muhammad Ali

"Aku membencimu!"

Menutup mataku sejenak, aku bangkit menatap sekelilingku, mengerjap cepat menyamankan pandanganku terhadap cahaya yang menusuk pengelihatan ini. Aku terbangun dari tidur yang panjang. Astagfirullah! Dadaku berdentum kuat tatkala memori pengingat membawaku pada pemakaman Ghibran, yang sudah berakhir delapan jam lalu. Kemarin itu aku yang mengurus seluruhnya, mulai dari pengecekkan jasad korban hingga membawa pulang jenazah beliau. Aku ketiduran saking lelahnya bahkan lupa mematikan lampu, dan bermimpi aneh.

Aku menikahi Malika, istrinya Ghibran.

Sangat aneh. Seluruh kejadiannya yang di luar nalarku masih terngiang jelas di ingatan. Sungguh tak masuk akal. Aneh. Bagaimana bisa aku menikahi seorang wanita yang baru ditinggal mati suami sebelum lepas masa iddah? Kemudian, belum lagi kemunculan Ghibran yang mengaku masih hidup seolah-olah dia tak mengizinkanku menikahi istrinya. Ya Allah! Mengusap wajahku, pun aku beristighfar berulang kali. Mungkin ini semua akibat obsesiku kepada Malika.

"Memalukan!" kataku pada diri sendiri.

Terus terang aku tidak bisa seperti ini, dengan obsesi konyolku yang menyita pikiran dan memakan banyak waktu. Lama-lama aku bisa gila. Terlebih lagi mimpi panjang itu, sukses menguasai kinerja otakku sekarang. Kejadiannya masih terngiang persis di depan mata. Bahkan, aku dapat mendengar dengan jelas perkataan orang-orang di dalam. Seakan-akan aku tengah menikmati sebuah drama yang penuh perasaan.

"Astagfirullah, ampunilah hamba."

Tanpa terasa air mataku menetes kala perasaan bersalah menyelimuti kalbu. Aku malu terhadap diriku sendiri, tak sedikit pun luput dari pantauan Allah. Apa yang aku katakan jika Rabb tanya perihal ini? Semakin lama aku terdiam, maka dosa pun semakin aku himpun. Jujur! Aku sendiri pun sulit memahami perasaanku. Tidak pernah aku berpikir untuk masalah hati sedalam mungkin. Impianku terhadap masa depan sangat panjang, jauh berbeda dengan Ghibran. Sebagian besar hidup ia persembahkan untuk akhirat, tidak tertarik lagi oleh perhiasan dunia selain wanita shalihah.

Drttt! Perhatianku langsung tertuju ke arah ponsel yang bergetar. Perasaanku tak enak. Semenjak kepergian Ghibran setiap ada panggilan masuk pikiranku jadi tidak menentu. Ternyata si Abdul.

"Assalammu'alaikum. Ada apa Dul?"

"Wa'alaikumsalam Li. Kamu di rumah?"

"Iya nih, tadi malam aku balik duluan. Kenapa Dul? Kamu masih di sana?"

"Oh, iya Li. Aku sama yang lain masih di rumah duka nemenin Ustadz Yusuf, kasian ini Malika dari semalem nangis terus jadi Umi Kalsum tetap tinggal."

"Oh gitu."

"Ah iya, kamu bisa ke sini Li?"

"Sekarang?"

"Iya Li, anak-anak di Pondok nggak ada yang ngawasin. Ntar lagi adzan subuh."

"Iyaudah Dul, soal anak-anak biar aku saja yang urus sampai dzuhur nanti."

***

Tidak butuh waktu lama aku pun tiba di pondok, menemui Pak Zulkifli lebih dulu selaku pembina sebelum menuju masjid menyalakan lampu dan speker. Setelah menyampaikan amanah Abdul dan mendapat izin dari Pak Zulkifli aku lantas naik ke lantai 2 membangunkan anak-anak untuk bergegas bangun. Di situ aku bernostalgia, merasa bagaikan berada di Asrama mengingatkan pada Ghibran. Satu per satu kenangan mulai muncul, kebersamaan kami tak lekang oleh waktu. Dulu kami sangat kompak.

"Banguun, ayo bangun! Waktu subuh tinggal sepuluh menit lagi. Ayo! Cepat."

"Loh, udah mau subuhan Kak? Nggak tahajjud dong kita? Astagfirullah ...."

Istri Idaman ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang