Malika Adayya
Seperti biasa aku memasak untuk Mas Ghibran, menghidangkannya di meja. Sambil menunggu beliau datang tidak diam saja aku menyiapkan jubah sholat beserta sorban miliknya. Sebentar lagi akan masuk waktu sholat jum'at. Untuk lelaki wajib atasnya menjalankan, dan sebagai seorang istri aku harus paham. Hingga kini rasa cintaku untuk dirinya masih ada, bahkan semakin besar. Aku sudah katakan Mas Ghibran orang baik, memperlakukanku dengan sangat baik. Sehingga tidak menutup kemungkinan hatiku begitu mengagumi kebaikannya.
Di lain sisi, aku tidak menyangkal juga memikirkan perasaan Ali, tentu setelah mengetahui perasaannya terhadapku, yang jelas dia menikahiku bukan hanya karena Agama. Kendati, aku sudah lihat sendiri, dan mendengar langsung jika pernyatannya benar-benar tulus. Jujur.
"Kamu melamun lagi?" tanya sebuah suara, aku tersentak, dan menggeleng.
"Maaf Mas, kamu sudah selesai? Ayo! Aku akan ambilkan makan untukmu."
"Malika, akhir-akhir ini Mas perhatikan kamu jadi sering melamun. Ada apa?" Mas Ghibran bertanya lagi, langkahku terhenti, sebelum akhirnya berbalik.
Meraih kedua tangannya, dengan halus aku menggenggam, membalas tatapan sendu Mas Ghibran. Alih-alih menarik perhatian suamiku, pun aku tersentak saat Mas Ghibran menghindar, berlalu. Tak kehilangan akal aku mengejarnya, aku tahu Mas Ghibran marah, berulang kali dia menegurku, tetapi hingga kini aku masih enggan menjawab. Aku tak bermaksud membohongi dirinya, kabar itu terlalu berat, aku tidak ingin mereka jadi renggang hanya karenaku. Tidak.
"Mas Ghibran, tunggu." Mencegahnya, aku menghalangi jalan Mas Ghibran. "Maafkan aku Mas, janji, aku tak lagi melamun. Sungguh, aku menyesalinya."
"Tak apa, Mas tidak memarahimu, ini hanya seperti bukan dirimu saja. Mas sering memergoki kamu melamun. Di mana Mas pikir mungkin kamu hanya kelelahan atau efek kehamilan, tetapi hingga sekarang pun kamu masih suka diam, malah sudah terhitung sepekan."
"Sungguh, aku menyesal, maafkan aku." Menunduk, aku menahan isak tangis, sesekali menyeka air mata yang jatuh.
Tidak lama aku merasakan belaiannya di kepalaku, Mas Ghibran mendekapku sambil mengatakan jika ia memaafkan. Mendengar itu spontan tangisku pecah. Rasa bersalah kian menusukku, dirinya selalu bisa bersikap lembut padaku, di situ aku merasa aman sekaligus cemas. Semakin lama aku memendamnya, tak kunjung berterus terang, aku pastikan keadaan seperti ini akan terulang lagi.
"Mas ..."
"Ssst, sudah, tak apa, Mas paham."
Menelan kata-kataku kembali, aku pun mengikuti helaannya menuju dapur. Di saat aku hendak bercerita, waktu tidak mendukung. Jam berputar begitu cepat. Kita menghabiskan makanan yang ada. Pagi ini aku sengaja masak sedikit, aku dan Mas Ghibran akan hadir di dalam pernikahan Shofia setelah ba'da jum'at.
"Alhamdulillah." Syukur Mas Ghibran, sesaat meneguk secangkir air minum.
"Alhamdulillah, Mas bersiap ya, jubah baru sudah aku sediain di kamar kita." Aku mengingatkan Mas Ghibran, lalu membereskan piring kotor ke wadah.
"Terima kasih sayang, Mas mandi dulu, setelah itu langsung ke Masjid. Jangan lupa kamu juga harus bersiap, selepas ba'da jum'at kita langsung berangkat."
Sambil mengangguk aku tersenyum, di saat Mas Ghibran telah berlalu, barulah aku beranjak meninggalkan dapur.
***
Kami tiba bersamaan dengan keluarga Ali, tanganku langsung digandeng oleh Umi, menghela menuju bagian khusus Akhwat. Untunglah Mas Ghibran tahu, dia mengangguk saat aku menoleh ke belakang. Uminya Ali memilih tempat duduk di dekat calon pengantin, Shofia terlihat sangat cantik dengan pakaian serba putih yang menjuntai ke bawah.
"Assalammualaikum, calon pengantin." Menyentuh tangannya Shofia tersadar, aku dapat melihat matanya mengecil, pertanda bahwa dia tersenyum lebar.
"Waalaikumsalam, Malika," jawabnya.
"Bitaufiiq wannajaah." Doaku sembari memeluknya singkat, kemudian Umi.
Akad berjalan dengan sempurna, aku ikut hanyut oleh suasana, tanpa sadar aku sampai menitikkan air mata. Tak kuasa menahan haru. Teringat bahwa pernikahan itu adalah momen paling berharga, dan tidak dapat ditukarkan dengan apapun. Menyeka sudut mata, pun aku menoleh saat merasakan Umi memegang pundakku, menyadarkan.
"Malika," lirihnya memanggil namaku.
Aku pun mengangguk dengan tanya.
"Sekalipun pernikahanmu dengan Ali hanya berlangsung sebentar, tapi Umi pastikan kamu tetap anak Umi. Kamu tidak perlu canggung atau malu, Umi sudah menganggapmu anak, menantu Umi yang shalihah. Tentu kamu masih ingat bukan? Ghibran juga anak Umi."
Lagi, aku mengangguk, kali ini dengan senyuman, lantas memeluk Umi Saroh.
"Maafkan Umi, yang sempat tak baik menilaimu," kata Umi, melanjutkan.
Menarik diri, aku meraih tangan Umi, kemudian menciumnya penuh kasih. "Tidak apa-apa ya Umi, sesungguhnya Malika tidak mempersalahkan itu."
Umi mendekapku lagi, aku tersenyum bahagia, semuanya memang tak lepas dari kehendak Allah. Orang yang dulu sebelumnya membenciku, kini beliau menyayangiku. Aku dapat melihat itu.
"Malika, Umi, ayo makan." Ajak Shofia dengan halus, aku dan Umi pun setuju.
Shofia melayani kami begitu baik, dia menemaniku dengan Umi mengambil makanan yang disediakan untuk tamu. Setelah aku selesai, Umi menyusul, dan Shofia mengajak kami bergabung oleh mertuanya beserta Umi Kalsum. Sesaat makanan di piringku habis, aku sontak beranjak begitu teringat Mas Ghibran.
"Buru-buru sekali, mau kemana?" Umi Kalsum menegur, aku kembali duduk.
"Ya Umi, afwan, Malika ingin menemui Mas Ghibran sebentar saja," jawabku.
"Nanti kembali lagi ya, ada yang ingin ana tanyakan pada anti," lanjut Shofia.
Sambil menatap satu per satu Akhwat di dekatku, aku tersenyum dari balik cadar, sebelum beranjak keluar ruang.
Tak butuh waktu lama dengan mudah aku menemukan Mas Ghibran, meski dari belakang aku bisa mengenalinya. Terang saja kami sepasang suami istri. Hidup serumah kurang lebih delapan bulan, tentunya kami sudah mengenal satu sama lain. Menghampirinya, aku menawarkan bantuan pada suamiku. Mas Ghibran tampak kaget, tubuhnya mematung sesaat aku mengambil alih piring di tangannya. Aku terkekeh kecil.
"Maaf ya Mas, tadi aku tinggal begitu saja, Umi Saroh mengajakku tiba-tiba, kami bercerita banyak dengan Shofia." Sambil mengambil makanan aku pun bercerita riang, itu saking bahagianya.
Menambahkan sop pada makanannya, kemudian aku berbalik dengan wajah berseri-seri. Tatkala senyumku luntur. Kedua mataku membulat, begitu sadar bahwa orang yang kuajak cerita sedari tadi bukan Mas Ghibran, melainkan Ali. Otomatis kakiku melangkah mundur, namun tatapanku masih mengarah ke padanya, mengamati jubah dan sorban yang Ali kenakan. Sama persis dengan apa yang Mas Ghibran pakai. YaAllah!
"Afwan, Ali, aku sudah ceroboh."
Dia masih bergeming, seperti batu.
"Ali, afwan, ini makanannya." Aku pun menaruh sepiring makanan itu di meja terdekat, lantas berbalik setelah salam. "Assalammualaikum."
Mengatur detak jantungku, sejenak aku berhenti, seraya menatap sekeliling. Di teras rumah aku menemukan suamiku, yang sedang bercakap dengan Ustadz Adam suaminya Shofia. Aku tak punya keberanian menghampiri beliau, tidak sekarang, apalagi dalam kondisi gugup. Tanpa kumengerti aku menoleh lagi ke belakang, mengecek keberadaan Ali, di mana dia masih berdiri di tempat yang sama. Merasa diperhatikan Ali menoleh cepat, sehingga tatapan kami bertemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Idaman ✓
SpiritualIstri idaman: 1. Shalihah 2. Cantik 3. Pintar 4. Putih 5. Langsing "Jika nomor 1 tidak aku temukan, maka poin-poin berikutnya tak begitu penting bagiku, karena aku menginginkan istri sholeha, bukan model yang digilai fans hingga ribuan kaum Adam." ...