Bab 11

1.1K 56 6
                                    

Ghibran Syakur

Ali menikahi Malika?

Malika menikah dengan Ali?

Kejadian itu terus terngiang, rasanya seperti mimpi, tapi aku sedang sadar.

Dengan kaki gemetar aku duduk pada gundakan batu yang terletak di depan rumahku, napasku memburu, seperti ada rombongan asap menyerbu. Sakit sekali. Nyesek hingga tidak dapat aku lukiskan dengan canvas, hancur lebur. Ketika aku pikir kepulangan ini akan membuatnya bahagia, ternyata tidak. Kendati, aku mencemaskan keadaan Malika yang khawatir padaku, bahkan aku langsung putuskan pulang begitu mendengar kereta yang hendak aku tumpangi mengalami kecelakaan. Aku sangat menjaga perasaannya, tapi aku terlambat. Seharusnya aku tak pulang.

"Ya Allah, kenapa jadi seperti ini?" Air mataku luruh, tak dapat kutahan lagi.

Malika istriku, menikah dengan orang yang begitu dekat denganku. Mungkin saja, kalau bukan Ali, aku akan masuk ke dalam rumahnya, mencegahnya, di mana aku masih memiliki hak sebagai suami. Tapi, dia adalah Ali, bagaimana bisa aku menghentikan mereka? Umi, dan Abi yang membesarkanku juga ada di sana. Mereka yang paling kuhormati.

"Malika ..." lirihku pilu, senyumannya terpatri jelas di dalam ingatanku.

Senyuman itu, suara lembutnya, mata jernihnya, kedua tangan halusnya, tak kuingkari dia yang aku rindukan, dan selalu kukenang tanpa kenal waktu. Di malam pertamaku di desa aku tak bisa tidur tanpanya, kehadiran Malika telah mengakar di hatiku. Bahkan, kuyakini, berkat doanya aku selamat, doa paling mujarab yang hanya berasal dari istri. Keikhlasan Malika atas-ku di jalanNya dibalas dengan kekuasaan Sang Khalik.

"Maaf, apa Mas ingin ke desa Bumiaji?"

"Iya Pak, ada yang bisa saya bantu?"

"Oh, akhirnya, begini Mas, rekan saya salah memilih jadwal keberangkatan. Seharusnya saya berangkat setengah jam lagi, karena masih ada keperluan penting yang harus diselesaikan. Jadi tidak bisa pergi sekarang. Sementara, jadwal tiket pada waktu 13:30 sudah habis terjual. Saya tidak bisa menukar atau membeli baru, kecuali ada orang yang bersedia menukar. Bagaimana Mas, apa bisa bantu saya? Ini saya tak punya waktu banyak karena ditunggu."

"Boleh Pak, saya bersedia, lagipula saya tidak sedang diburu waktu, jadi santai."

"Alhamdulillah, ini Mas tiket saya, dan terima kasih banyak sudah membantu."

Percakapan di terminal lalu terngiang kembali. Meski tidak dianjurkan, dari salah satu pihak KA memperbolehkan setelah melihat raut kesusahan Bapak yang memintanya bertukar tempat. Di sepanjang perjalanan aku tak berpikir akan jadi seperti ini, bahkan tidak ada sedikit pun terbesit untuk pulang dini. Sebelumnya, aku percaya bahwa doa Malika yang telah menyelamatkanku, tetapi sekarang aku merasa terbuang.

Harapan yang aku mimpikan, rasanya bagaikan omong kosong, hanya sia-sia. Kehidupanku menjadi hampa setelah ini, pondasi yang baru saja kubangun goyah, dan sebentar lagi akan ambruk. Keluarga impian hancur, sama seperti hatiku, benar-benar hancur. Ya Allah! Cobaanmu sangatlah berat, aku tidak pernah merasakan sesakit ini, Malika berlianku yang engkau titipkan hilang.

"Ghibran?" Suara itu mengagetkanku.

Meskipun aku tak menoleh, aku sudah hafal pemilik suara tersebut, dia Kyai. Guruku selama sembilan tahun, beliau memberikan banyak ilmu padaku. Aku tak bergeming, lebih tepatnya enggan. Sampailah Kyai Bahrun di hadapanku, aku mendongak, sebisanya tersenyum.

"Antum masih hidup?" tanyanya takjub.

"Na'am Kyai, alhamdulillah."

"MasyaAllah, ini hanya kuasaNya, ana dengan yang lain berpikir antum telah tiada. Maka dari itu Malika ..." ucapan Kyai menggantung, aku mengangguk.

Istri Idaman ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang