Muhammad Ali
Malika atau Shofia? Aku pun terduduk lemas memikirkan dua pilihan tersulit. Permintaan Ustadz Yusuf telah melekat di kepalaku, masih terngiang-ngiang. Di saat hatiku berharap nama Malika yang beliau sebutkan, justru nama lain yang aku dengar. Aku tidak menginginkan Shofia, bukan berarti dia wanita yang buruk, bahkan aku mengenal baik keluarganya. Prestasinya menghafal sudah aku dengar, Shofia menjadi hafidzah termuda dan paling banyak menghafal hadist. Namun, keunggulan gadis itu sama sekali tidak membuat hatiku tergugah, dan aku merasa aneh.
Sepertinya sekarang istri idaman versi Ali telah berubah, mengupas balik keinginanku mendapatkan istri shalihah kini tergadaikan dengan sebuah perasaan. Kurang shalihah apa coba Shofia? Kalau dibanding dengan kemampuan hafalanku, aku pikir hafalannya jauh lebih baik. Ya Allah! Aku meremas kepalaku, membuang rasa sakit yang menusuk. Bimbang.
"Ali, ayo makan malam." Suara Umi di luar menyetakku, dengan pikiran yang tidak keruan aku pun membuka pintu.
"Abi udah pulang Mi?" tanyaku sambil menyusul langkahnya ke ruang makan.
"Sudah daritadi, kamu sih di dalem terus, Umi panggil juga diam aja." Umi mengomel, aku tidak membatahnya.
Di meja makan Abi sudah menungguku dengan sepiring makanan di depannya, aku pun mengambil posisi duduk, lalu menuang air ke dalam gelas kami. Umi dan Abi tampak begitu menikmati makan malamnya sementara aku tidak. Aku masih memikirkan rencana Ustadz Yusuf siang tadi, di mana aku belum memberikan jawaban yang pasti. Besok pagi aku harus mendapatkan jawaban.
"Umi, Abi, ada yang ingin Ali bicarakan. Tapi sebelumnya ..."
"Ehem." Abi berdehem, aku terdiam.
"Umi dan Abi merestui kalian, Shofia anak yang baik, terlebih lagi melihat sosok Kyai Bahrun. In sya Allah." Umi berkata cepat, raut wajahnya tampak bahagia, menatapku berbinar-binar.
Seharusnya aku mengerti jika Ustadz Yusuf sudah merundingkannya lebih dulu pada Abi dan Umi, jadi aku tidak perlu memusyawarakan ini lagi. Aku yakin bila restu kedua orang tua telah ada, maka pernikahan akan langgeng. Entah kenapa aku tidak bisa menolak. Kutatap lekat-lekat wajah Abi dan Umi, melihat keduanya bahagia nyaliku ciut.
"Ya, in sya Allah besok pagi kita akan ke rumah beliau, datang melamar Shofia." Dengan tegas Abi menetapkan waktu, membersihkan mulutnya dengan tisu.
"Tapi, Bi, apa itu tidak terlalu cepat?" tanyaku langsung, yang merasa ragu.
"Lebih cepat lebih baik Li, percaya sama Umi Shofia anak yang baik, dia wanita shalihah yang didambakan semua lelaki beriman di dunia ini."
Perkataan Umi benar, aku mengakui itu. Setelah musyarawah menentukan waktu yang tepat, berikut membahas segala hal berkaitan dengan menikah, akhirnya aku menemukan titik terang. Sebentar lagi masa itu akan tiba, tinggal menghitung hari, aku bisa beralasan ingin fokus kuliah 'tuk menolak halus.
"Ali pikir Abi dan Umi tidak melupakan bahwa sebentar lagi keberangkatan ke Kairo." Aku mengingatkan mereka.
"Oh, itu gampang, bisa dibatalin atau ditunda sampai kamu menikah dulu."
"Hm, maksudnya Ali ingin fokus kuliah Um, tidak menikah sekarang," jawabku.
Mendengar itu Abi dan Umi melotot. "Kamu menolak Shofia?"
"Ya, bisa jadi, maaf." Tegasku mantap.
"Tidak bisa!" Umi membentakku, Abi juga kelihatan marah mendengarnya.
Mereka menyerangku dengan tatapan tajam, untuk pertama kalinya. Mengatur napas yang menderu Umi lantas melanjutkan. "Abi dan Umi sudah menyetujui kalian, melamar Shofia sore tadi untukmu Li, Kyai Bahrun dan putrinya sudah menerima lamaran itu. Kita tinggal mengadakan lamaran resminya dengan membawa buah tangan, juga beberapa kerabat."
"Astagfirullah, kenapa Umi tidak minta pendapat Ali terlebih dulu?" Ya Allah! Aku tidak habis pikir jika Abi dan Umi sudah mendahului, tanpa persetujuan.
"Kemarin kamu sendiri yang meminta dicarikan jodoh wanita shalihah, tapi sekarang setelah dapat kenapa berubah pikiran? Kamu pikir ini perkara main-main, tidak Li." Kali ini suara berat Abi yang menohokku, aku tahu keinginan mereka, tapi aku juga tidak ingin mengesampingkan kebahagiaanku. "Abi dan Umi tidak mau tahu ya, kamu harus menerima konsekuensinya."
"Abi, Umi , dengarin Ali dulu, Ali tidak menginginkan Shofia bukan berarti dia wanita yang buruk atau kurang shalihah. Tapi Ali menginginkan ..." Mendadak suaraku tertahan, tidak bisa menyebutkan nama Malika meski wajahnya sudah di pelupuk mataku.
"Kamu punya wanita pilihan sendiri?" Nada suara Umi melemah, dia mulai memahami apa yang aku pikirkan.
Tidak menjawab pertanyaan Umi, aku pun memilih bangkit meninggalkan meja makan, membiarkan wanita itu mengikutiku di belakang. Tiba di kamar aku duduk sambil merenungi apa yang telah terjadi. Kendati, aku sulit mengambil keputusan, antara perasaan dan kebahagiaan kedua orang tuaku. Terlebih aku tahu jika Umi tidak menyukai Malika, pilihannya terhadap Shofia kupastikan akan menjadi kuat setelah aku memberitahu siapa wanita pilihanku. Kenapa jadi serumit ini?
"Nak, maafin Umi ya, jika perkataan tadi terlalu keras." Katanya menyentuh.
Semakin menunduk dalam, aku masih diam menetralisir perasaan yang ada. Rasanya tidak keruan, campur aduk, hingga menyengat ke kepala, tapi aku menahannya sejak tadi. Tidak ingin melihat kedua orang tuaku bersedih, terutama Umi. Kesedihan mereka dapat menghancurkan batinku lebih dalam.
Jadi, aku memendam amarahku yang sudah di puncak, melafazkan istighfar berulang kali sambil mengingat nikmat yang telah Allah berikan sepanjang hidupku. Ujian ini tidaklah sebanding dengan rahmatNya, dan aku bersyukur. Sebab Allah Ta'ala masih mengingatku dengan memberi berbagai ujian kecil di dunia, sebagai penebus dosa yang lalu.
"Kalau Umi boleh tahu siapa wanita pilihanmu, Nak?" tanyanya lagi, halus.
Cukup lama aku terpejam, menikmati rasa sakit yang menyengat, dirundung kebimbangan luar biasa sementara Umi terus menuntut. Masih dalam kondisi yang sama tiba-tiba mimpi itu kembali menguasaiku, hingga aku tersadar akan suatu kesamaan yang sedang terjadi. Sontak aku bangkit, berputar di tempat menatap sekeliling, mencari jawaban bahwa aku tidak sedang bermimpi.
"Ali, apa yang kamu pikirkan Nak?"
"Umi ... Sepertinya Ali sakit," tuturku.
Memegang kedua lenganku, kemudian wanita itu mengajakku duduk kembali, kami saling berhadapan dengan ikatan. "Ali, selama ini Umi tidak pernah melihatmu sekacau sekarang, apalagi menyangkut pasal hati. Setahu Umi kamu begitu cuek dengan wanita, tapi sekarang Umi bisa lihat jika ada perasaan yang tumbuh di hati kamu sampai mempengaruhi tingkahmu menjadi aneh. Ceritakan pada Umi apa yang sedang menyita pikiranmu? Kamu tidak bisa memendamnya sendiri."
"Apa setelah Ali ceritakan Umi akan menerimanya? Mengikuti apa yang Ali inginkan, tanpa mematahkan Ali."
"In sya Allah, beritahu Umi siapa dia? Wanita beruntung yang telah berhasil mencuri hati anak Umi satu-satunya."
"Malika Adayya." Dengan mantap aku menyebut namanya, tak ada keraguan.
Seketika Umi terdiam, entah apa yang beliau katakan selanjutnya sebab aku memilih tidak mendengarnya. Semua ini sudah aku persiapkan. Tanggapan tidak menyenangkan dari Umi juga dapat aku tebak. Dia membandingkan calon pilihannya dengan pilihanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Idaman ✓
SpiritüelIstri idaman: 1. Shalihah 2. Cantik 3. Pintar 4. Putih 5. Langsing "Jika nomor 1 tidak aku temukan, maka poin-poin berikutnya tak begitu penting bagiku, karena aku menginginkan istri sholeha, bukan model yang digilai fans hingga ribuan kaum Adam." ...