Muhammad Ali
Keberangkatan Ghibran telah sampai di kupingku, rasanya kaget dengar kabar bahwa dialah yang dipinta oleh Ustadz Yusuf setelah aku menolaknya karena ingin melanjutkan pendidikan ke Kairo. Bagaimana tidak? Malika sedang hamil, pun mereka baru saja menikah, terang aku merasa kasihan padanya meski aku tahu ini bukan perasaan simpati biasa. Menutup gorden jendela kamarku, aku menuju rak buku mengambil selembar kertas yang masih terselip, merabanya, membaca ulang Istri Idaman versi Ali.
Tidak tahu kenapa setiap aku membaca itu, mata batinku seakan-akan melihat wajah Malika, begitu jelas di ingatanku. Kupikir aku sudah tak waras mencintai istri sahabat sendiri. Semampunya aku melupakan Malika, melirik perempuan sesuai tipeku, bahkan sampai meminta Umi agar mencari jodoh untukku. Asal kalian tahu saja! Aku tidak sesantai itu, dan terus berusaha dengan segala cara. Tapi, semua hanya sia-sia. Semakin aku bersikeras, perasaanku jadi bertambah padanya, sehingga kini aku menyerah.
Menikmati risaunya hati, nyesek, perih, tanpa mengeluh dan berlapang ikhlas.
"Ali ..." panggilan Umi menyadarkanku ke dunia sekitar, aku langsung berlari.
"Na'am Umi, ada apa?" tanyaku setelah membuka pintu, menatap wajah Umi.
"Umi membawa kabar baik."
Kabar baik? Pikiranku menerka-nerka, kemudian mempersilakan Umi masuk.
Setelah Umi duduk aku ambil tempat di sebelahnya, menatap wanita berwajah malaikat itu dengan penasaran. Kulit di bawah matanya kentara sekali kendur, tapi aku tahu jika Umi tampak bahagia. Ketika batinku mulai mendapatkan dua jawaban yang akan Umi sampaikan, di luar suara panik Abi memanggil kami. Dengan jantung berdegup aku menatap Umi lebih dulu, setelah beliau mangut, kami langsung beranjak menghampiri.
"Umi, Ali, di depan ada Ustadz Yusuf." Suara Abi begitu bergetar, di pikiranku pasti sesuatu yang buruk telah terjadi. "Kereta yang Ghibran tumpangi siang ini mengalami kecelakaan di hutan."
"Innalillahi, Nak Ghibran." Wajah Umi yang berbinar seketika redup, rautnya berubah mendung, dan terisak pelan.
Harus kukatakan kedekatanku dengan Ghibran tak hanya sebatas sahabat, di keluargaku terutama Umi menganggap seperti anaknya sendiri, bahkan biaya mondok sampai makan kamilah yang menanggung sebelum dirinya dewasa. Ghibran anak yatim piatu yang diasuh oleh Ustadz Yusuf, ketika pendapatan beliau menurun, Abi dan Umi sepakat mengambil alih. Selama 9 tahun kami hidup bersama dalam pondok, belajar dengan saling menebarkan kebajikan.
"Innalillahi, Ali akan mengecek lokasi langsung, semoga Ghibran masih dalam lindungan Allah, mohon doanya Umi." Saat aku menyalim tangan Umi, Ustadz Yusuf datang setelah dipersilakan Abi.
"Ali, bisa kita berangkat sekarang?"
"Bisa Ustadz, in sya Allah," jawabku, lalu mendatangi Abi menyalim tangannya. "Mohon doanya Abi, semoga Ghibran tidak apa-apa, Allah pasti menolong."
Sambil fokus menyetir aku terus berdoa untuk keselamatan Ghibran, aku tidak berpikir sesuatu yang fatal, Allah selalu bersama setiap hambaNya yang punya iman dan beramal sholeh. Ghibran itu hafidz qur'an, dulu kami sering lomba agar lebih unggul, bersaing untuk nilai terbaik dengan tetap bersahabat dekat. Kepribadiannya sangat terbuka, ramah, bertutur kata sopan, berbudi luhur, tak pernah marah, ia orang yang penyabar.
Sebenarnya aku merasa malu padanya setiap kali mengingat awal pertemuan kami dulu, penampilanku yang nyetrik dengan banyak tindik di kuping, tidak dapat lepas dari obat-obatan terlarang. Naudjubillahi minjalik! Atas kehendak Allah juga berkat Ghibran, aku bisa berubah seperti kini, menjadi lebih baik dari keterpurukan yang lalu.
"Ustadz, andai saja Ali tahu akan jadi seperti ini, maka Ali bakal menerima tawaran pada waktu itu." Sesalku pada diri sendiri, kecelakaan Ghibran tidak hanya melukai kami, tapi juga Malika.
"Astaghfirullah! Jangan berkata seperti itu Ali, haram. Ini sudah ketentuanNya, takdir Allah, kita tidak bisa mencegah, menahan, apalagi menolaknya." Ustadz Yusuf sedikit menyentakku, ia kecewa mendengar perkataanku yang kacau.
"Maaf, Ustadz, Ali pikir ini semua takdir Ali yang diambil alih oleh Ghibran."
"Istighfar Ali, Allah Ta'ala tidak pernah salah dalam menentukan takdirNya."
Astaghfirullah, batinku berulang-ulang.
Setibanya di tempat kejadian kami pun langsung bergabung dengan yang lain. Mengikuti tim relawan memasuki area hutan, menerobos terjalnya pepohonan serta pekatnya malam. Banyak korban ditemukan tidak bernyawa. Sampai di mana terdengar suara petir, pencarian terpaksa dihentikan. Kepalaku seperti terentak keras saat Ustadz Yusuf pergi membawaku ikut serta ke luar, bukan main sakitnya, dan batinku menangis.
"Tidak mungkin ya Allah! Ghibran tak mungkin meninggalkan kami semua."
Lututku melemas saat tim memprediksi tidak ada satu pun penumpang selamat, aku terduduk di lantai sembari memijat pelipis yang sakit, air mataku menguar. Ini pertama kalinya aku menangis, tak kusangka kepergian Ghibran membuat diriku begitu terpukul. Lalu, bagaimana Malika? Memikirkan keadaannya kian membuat perasaanku terguncang kuat.
Jika, aku saja seperti ini, apa lagi Malika istrinya yang baru menerima indahnya kebahagiaan berumah tangga? Bahkan, kini dirinya dalam kondisi hamil muda.
Mengusap wajahku dengan gusar, pun aku menghampiri Ustadz yang sedang bicara pada salah satu kerabat korban. "Ustadz, sebaiknya kita kembali, orang terdekat Ghibran harus tahu segera."
"Ya, kamu benar Ali, kita tak bisa diam, menunda atau menyembunyikan dari Malika, kita harus kembali sekarang." Ustadz Yusuf berbalik menatap teman bicaranya, kemudian pamit undur diri. "Kami harus balik, assalammu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam," jawabnya lirih.
Tidak butuh waktu lama kami datang di kediaman Ghibran dan Malika, Pak Shomad langsung menghampiri kami terutama Ustadz Yusuf yang akan beri informasi mengenai kecelakaan siang ini berikut kabar buruk yang didapat. Sementara Ustadz Yusuf menjelaskan, aku mendapati Malika bersandar lesu pada pundak Umi Kalsum, istri Ustadz yang berusaha menenangkannya, dan memberi petuah agar bersabar.
Di saat Pak Shomad melangkah masuk mendatangi Malika, perasaanku mulai resah menantikan reaksinya yang ciut. Masih berdiri di teras rumahnya, dari luar aku terus memerhatikan, melihat dalam diam wajah Malika yang sangat terpukul dan berurai air mata. Cukup lama Malika tercenung dengan tatapan kosong bersama ribuan air mata yang turun, reaksinya begitu tenang hingga dia tidak bisa mengucapkan apa-apa.
"Malika, katakan sesuatu, Nak? Ghibran sudah tiada, kita semua harus ikhlas."
"Mas Ghib-ran," lirihnya amat parau.
Ketika tubuh Malika limbung, Shomad ayahnya dengan sigap menahan, lalu membopongnya ke kamar diikuti Umi Kalsum dan Ustadz Yusuf. Sementara aku tetap berada di luar, menunduk, tak tahu harus melakukan apa selain berdoa agar Malika diberi ketabahan. Memijat pelipisku, sebisanya aku tak menangis, menahannya saat teringat kebersamaan kami yang penuh tawa. Membahas banyak hal hingga subuh ketika tidak bisa tidur, saling berbagi ilmu, sampai bercanda satu sama lain.
"Ali ..." panggil Ustadz Yusuf, buru-buru aku mengusap sejumput air mataku.
"Kamu yang tabah yaa, kita semuanya di sini merasa sangat kehilangan."
"Iya Ustadz, Ghibran orang yang baik."
"Allah lebih menyayanginya, kita harus tabah, berdoa untuk Ghibran, semoga saja seluruh amal ibadahnya diterima."
"Aamiin, ya Allah."
Di kejauhan aku bisa melihat bayangan Ghibran dari kegelapan, tersenyum ke arahku, melambai, hanya sekejap mata kemudian raib. Pergi dan menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Idaman ✓
SpiritualIstri idaman: 1. Shalihah 2. Cantik 3. Pintar 4. Putih 5. Langsing "Jika nomor 1 tidak aku temukan, maka poin-poin berikutnya tak begitu penting bagiku, karena aku menginginkan istri sholeha, bukan model yang digilai fans hingga ribuan kaum Adam." ...