Lima Belas | Jennie POV

547 55 1
                                    

Aneh. Iya, aneh. Dari sekian banyak kata yang keluar dari mulut gue, cuma aneh satu-satunya yang bisa mendeskripsikan suasana kali ini.

Gue tau udah lancang banget baca pesan dari nyokap Taeyong tanpa minta izin sama yang punya ponsel.

Gue sadar gue salah dan mengakuinya. Gue berkali-kali minta maaf, tapi respon Taeyong benar-benar buat gue jadi emosi. Gue marah, kesal. Terjadilah perdebatan itu, gue dan Taeyong. Ambyar udah.

"Sumpah gue khilaf, Yong," Bela gue sambil sesekali melirik Taeyong. Gue gak berani menatap matanya langsung karena Taeyong mendadak jadi menyeramkan.

Taeyong menghela napas panjang, lalu melempar kasar kantong plastik di tangannya ke gue setelah menjangkau ponsel di atas kursi. Gue menangkap benda itu kemudian memeluknya. Gue gak ingin membuat masalah semakin runyam hanya karena lemparan kresek yang gak santai dari Taeyong.

Hening. Taeyong mendengus keras. "Lo baca semuanya?"

"Sorry." Gue menggigit bibir. Aneh, ih. Kok Taeyong mendadak creepy, sih?

Taeyong mendekat, gue refleks nunduk sambil mejamin mata dan melafalkan beberapa kata agar terhindar dari perbuatan apapun yang akan Taeyong lakukan ke gue sebentar lagi.

"Yang ngizinin lo... siapa?"

"Engg... sekali lagi maaf. Maaf banget gue udah lancang. Lo tau kan betapa keponya gue kalau udah menyangkut hal beginian apalagi setengah-setengah gi-" Gue spontan menepuk mulut. Kenapa di saat seperti ini otak gue gak berjalan dengan lancar, ha? Kenapa?!

Bodoh, bego, goblokkkkk!! Umpat gue di dalam hati.

Gue masih gak sanggup lihat ekspresi Taeyong kali ini, gue makin menunduk dalam natapin rumput dan sepatu kita berdua. Tanpa sadar kepala gue mentok ke dadanya Taeyong. Gue membulatkan mata dengan segera melangkah mundur. Benar-benar gue ini, emang nyari mati.

Taeyong mendekat lagi, gue mundur beberapa langkah sampai mentok ke kursi yang gue dudukin tadi dan terduduk lemas apalagi kini wajah Taeyong benar-benar ada di atas kepala gue.

"Jadi menurut lo, hal ini menarik?"

Gue terdiam.

"Lo bilang yang seperti ini menarik dan buat lo penasaran? Tunggu, bukannya tadi lo bilang seharusnya gue punya otak buat mikir? Dan gue tanya balik, yang gak punya otak itu gue... atau lo?" Ujarnya teramat dingin kemudian menyeringai membuat bulu kuduk gue berdiri.

Gak biasanya, nih. Nih orang kan biasanya bawaannya santai plus ada bego-begonya gitu, ya? Tapi, kalau marah benar-benar bukan Taeyong banget. Auranya beda dan buat gue ketakutan sampai kaki gue gemetaran.

Gue menelan saliva kasar, "Yong-"

"Emang semua cewek itu gak mikir dulu, ya?" Potong Taeyong. Kening gue berkerut, kenapa jadi bawa-bawa cewek sih? Kemudian dia melanjutkan, "maunya seenak mereka tanpa peduliin gimana perasaan orang lain."

Gue paham ke arah mana pembicaraan ini. So? Dia mau nyalahin semua cewek hanya karena gue yang lancang baca pesan dia, gitu? Kalau benar, gue gak nyangka pikiran dia bisa sependek itu.

Taeyong tertawa remeh lalu menarik tangan gue. "Ikut gue. Biar gue anter lo pulang." Titahnya yang beberapa saat membuat gue gak berkutik di tempat.

Gue tau gue salah, tapi dia gak berhak nyalahin semua cewek atas kelakuan gue. Itu gak ada hubungannya, setiap orang kepribadiannya beda-beda. Gue juga beda, cewek-cewek di luar sana juga beda. Dia gak berhak menjatuhkan harga diri wanita kayak gini.

Sekarang gue berpikir, dia mungkin sedang menunjukkan sifat aslinya ke gue. Gue terkekeh miris.

Setelah mengumpulkan sedikit keberanian, gue menyahuti nama Taeyong hingga membuat langkah cowok itu terhenti. Gue mengigit bibir. "Gue salah, gue minta maaf! Tapi, lo gak berhak," jeda gue. "Lo gak berhak menjatuhkan harga diri wanita kayak gitu."

Keningnya berkerut dan raut wajah kesal makin tercetak jelas.

Gue melanjutkan. "Kalo lo ngomong kayak gitu di depan cewek lain, gue gak tau nasib lo akan kayak mana sekarang. Mungkin aja sekarang udah ada tanda lebam di pipi lo itu." Ucap gue tersulut emosi. Dia kini benar-benar mengarahkan seluruh perhatiannya ke gue.

Taeyong kembali mendekat. "Maksud lo?"

Gue menelan saliva. "Gue akui lagi kalo tadi gue gak mikir pake otak dan seenaknya baca pesan yang jelas-jelas gue tau itu sangat privasi buat lo, tapi lo... norak."

"Lo-"

"Kalo lo ngomong kayak gitu lagi. Tamparan aja gak cukup buat nyadarin lo." Gue berdeham dahulu, berusaha meredam amarah sebelum benar-benar meledak. "Dan dengan bodohnya lo ngomong kek gitu di depan gue," gue mendekat. Tanpa aba-aba, gue melayangkan pukulan ke perutnya membuat Taeyong meringis kesakitan.

Gue menunjuk wajahnya. "Lo lupa, kalo gue juga cewek." Lalu melenggang pergi meninggalkan Taeyong.

Dia gak tau aja, gini-gini gue masih punya ilmu beladiri dasar buat sekedar melindungi diri dari orang-orang yang mencoba menganggu gue. Tapi maaf, gue gak bilang sebelumnya.

💋💋💋

"Jen, Jennie," panggil seseorang, sedangkan cewek yang dipanggil malah mempercepat langkah seperti berusaha menghindari orang tersebut. "Jen, plis dengar dulu, deh." Akhirnya Jennie berhenti dan membalikkan badan lantas menatap Taeyong dengan tajam, setajam silet tapi bukan infotainment.

"Apa lagi? Bukannya kemarin lo yang marah-marah, gue lancangkan? Terus, ngapain masih datangin orang selancang gue ini?" Tanya Jennie panjang membuat Taeyong meringis, merasa bersalah.

Taeyong mengamit tangan Jennie, kali ini tidak menarik perhatian karena mereka masih berada di perkarangan rumah Jennie. Lalu Jeno? Jennie harus mengakui otak cemerlang Taeyong saat merayu karena perihal Jeno mengizinkannya pergi tadi malam, tak lain adalah karena Taeyong mengajaknya bergabung dalam sebuah band, maka dari itu Jeno mengizinkannya pergi bersama Taeyong. Jennie mendengus. "Denger dulu Jen, lo tau kan gue di jodoh-jodohin?-"

"Yaudah nikah aja sana." Potong Jennie ketus. Taeyong melepas genggaman tangannya pada tangan Jennie lalu mengacak rambut frustasi.

"Tunggu dulu, gu-gue gak mau nikah sama dia, ta-"

"Lo mau nikah sama gue, iya?" Sambar Jennie ketus. Taeyong kembali meringis, Jennie kalo udah marah memang tak bisa membuatnya berkutik.

"Iya."

Jennie terdiam, begitupun Taeyong, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. "Jen," Taeyong kembali meraih tangan Jennie. "Gue gak mau nikah sama Nayeon karena gue su-suka sama lo." Hening. Taeyong menatap mata Jennie dalam.

"Gue gak tau sejak kapan, tapi, Apa lo mau jadi pacar gue?"

Gue mimpi kan?!

💋💋💋

𝐇𝐞𝐚𝐫𝐭𝐛𝐫𝐞𝐚𝐤𝐞𝐫 ; 𝐉𝐞𝐧𝐲𝐨𝐧𝐠Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang