S E M B I L A N ☑️

636 69 2
                                    

Jennie menggoyang-goyangkan kaki ke depan ke belakang.

Hari ini, tepatnya pagi ini ia harus ke stasiun untuk menjemput seseorang. Agar orang yang dijemput tidak perlu menunggu, Jennie pagi-pagi sekali sudah duduk di halte bis yang sepi, menunggu bis datang.

Enaknya pagi hari ini adalah udara masih asri dan segar. Jennie memeluk diri berbalut sweter tebal sebab dia bukan tipe orang yang tahan dingin.

Wajah Jennie berubah cemas karena bis yang ditunggu tak kunjung datang. Sudah hampir sepuluh menit hingga akhirnya Jennie memutuskan untuk memesan grab car.

Sambil menunggu grab-nya datang, sesekali Jennie mengecek notifikasi di ponselnya. Kali aja orang itu sudah menunggu di statiun. Tapi, tidak. Orang itu malah berpesan agar Jennie tidak perlu buru-buru.

Lucu sekali, batin Jennie gemas sendiri.

Untuk meluangkan waktu ke sana, Jennie harus mengambil absen sehari di tempat kerjanya. Hari ini tidak boleh dilewatkan. Sudah lama sejak bertemu orang ini, Jennie sudah teramat rindu. Antusiasmenya menyeruak begitu mendengar bahwa orang ini akan tinggal untuk sementara waktu di kota ini. Bersama Jennie, tentunya. Karena jelas saja, dia kan—-

Transportasi onlen pesanannya tiba. Jennie buru-buru menyebutkan tujuannya begitu masuk ke dalam mobil.

Mobil melaju dengan perasaan senang Jennie yang tak terbendung.

Tidak sampai setengah jam, mobil merapat di statiun.

"Mas, tunggu sebentar, ya. Gak lama saya balik lagi." Mas-mas grab itu mengangguk saja, toh, setelah itu dia sibuk dengan ponselnya.

Setelah keluar dari mobil, Jennie mengedarkan pandangan ke segala arah. Melihat sosok tinggi mendekat, membuat Jennie langsung menghambur ke dalam pelukannya.

Gadis itu tertawa sembari memutar-mutar tubuh orang di depannya. "Udah gede banget, sih!"

Sosok itu tersenyum, matanya juga ikut tersenyum membentuk bulan sabit. "Oiya, dong."

Jennie tertawa lagi. "Kangen!" Rengek Jennie.

"Kayak anak kecil. Baru juga setahun gak ketemu, kak."

Kak. Iya, kakak. Jeno adik Jennie. Adik kandungnya yang baru lulus SMA.

Jennie mengacak rambut Jeno sebelum mengambil alih salah satu tas di genggaman Jeno. "Ayok, pulang dulu. Kamu capek, kan?"

Jeno mengangguk. Mereka berjalan bersama menuju mobil grab yang masih terparkir di tempat semula. Mobil melaju setelah semua barang-barang Jeno dimasukkan ke dalam bagasi.

Sepertinya, hari ini akan menyenangkan.

Karena Jennie harap, tidak ada Taeyong untuk hari ini.

HAHAHA, ketawa jahat dulu!

💋💋💋

"Semalam dari mana aja kamu, gak pulang?"

Taeyong menoleh ke sosok wanita paruh baya yang fokus membaca majalah di ruang keluarga begitu masuk ke dalam rumah. Wanita itu tidak menoleh sedikitpun, namun jelas pertanyaannya barusan ditujukan untuk Taeyong.

Taeyong mendesah pelan. Mengabaikan wanita itu adalah hal tepat, Taeyong mencoba untuk tidak peduli dengan melanjutkan langkah menuju kamar tidurnya.

Belum sempat menginjak anak tangga pertama, wanita yang tak lain adalah ibunya kembali bersuara.

"Kamu ke sini. Duduk di samping mama. Mama mau bicara sama kamu." Wanita itu menutup majalah dengan sedikit keras meletaknya ke atas meja.

"Aku capek, ma. Nanti aja."

"Sekarang atau enggak sama sekali, Taeyong."

Taeyong membuang napas keras, langkahnya berbalik melakukan perintah mama. Jika tidak begitu mama bisa marah besar. Walau agak terganggu dengan sifat mamanya, tetap saja Taeyong tidak mau jadi anak durhaka.

"Mama udah bicarakan ini," mama menyodorkan ponselnya. Terlihat desain sebuah undangan pernikahan di sana.

Taeyong yang tau ke mana arah pembicaraan, mendengus. Antara geram dengan tingkah mama yang kelewat keras kepala.

Karena selalu begini. Pembicaraan ini tidak jauh-jauh dari perjodohan. Padahal sudah berulang kali taeyong menolak, percuma saja penolakannya ditolak mentah-mentah oleh mama. Sebab mama lah yang orang yang ngebet dengan perjodohan ini, sedangkan papa cuma ikut-ikut saja apa kata istrinya.

Dan mama seakan tidak peduli. Katanya, mengurus anak satu saja sulitnya minta ampun. Tidak mau mendengar orangtua. "Mama gak mau tau. Lusa keluarga kita sama keluarga Nayeon akan mengadakan makan malam, menetapkan tanggal pernikahan kalian."

"Aku gak mau. Aku gak cinta dia, ma. Mama kenapa, sih?" Protes Taeyong yang sudah tak tahan melihat kelakuan mamanya.

"Cinta gak cinta itu gak penting. Kamu pikir dengan cinta kamu bisa bahagia? Itu gak cukup. Dengarkan saja apa kata mama. Cinta bisa tumbuh karena terbiasa." Balas mama dingin. "Mama sama papa juga dijodohkan, kamu pikir awalnya mama suka sama papa kamu? Enggak. Tapi, sekarang lain lagi ceritanya. Kamu ngerti, kan?"

Taeyong meremas rambutnya frustasi. Berbicara dengan mama tidak akan menghasilkan apa-apa. Mau menentang bagaimana pun mama selalu punya jawaban dari itu.

Itulah sebab mengapa Taeyong enggan pulang ke rumah. Rumah yang seharusnya jadi tempat pulang itu terasa sangat menyesakkan saat berada di dalamnya.

Di saat seperti ini, hanya satu nama yang ada di otaknya. Muncul begitu saja. Membuat Taeyong kebingungan.

Kok, jadi Jennie, sih?

💋💋💋

𝐇𝐞𝐚𝐫𝐭𝐛𝐫𝐞𝐚𝐤𝐞𝐫 ; 𝐉𝐞𝐧𝐲𝐨𝐧𝐠Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang