Siang kali ini, sama seperti yang sebelumnya. Tak terik, tidak pula mendung. Sejuk dan menenangkan, menurut sosok yang kesepuluh jemarinya tengah menari teratur di atas benda persegi berwarna abu-abu. Matanya berlarian pada porosnya, mencermati barisan cipta karya di hadapan. Gerakan mengangguk kecil menghentikan interaksinya.
Tidak salah ia mengambil cuti sehari, juga melimpahkan kedudukan tertinggi sebagai Presiden Direktur Jung Group ke Sekretarisnya yang tak usah dipertanyakan pasal kualitas. Ia lebih fokus, sekarang. Manik itu terlempar pada hamparan di mana bermacam bunga berayun indah memanjakan mata. Padahal lebih dari satu dekade yang lalu hanya ada satu lautan lavender di sana.
Pemilik manik cokelat itu menghadirkan senyuman, selalu ingat alasan kehadiran pelangi di kebun bunganya. Kian berpindah tapakan detik, kedua pancaran itu menyendu. Ah, rasa yang membuatnya angkat tangan, menyerah tidak tahu cara meredamkan gejolak yang tak mengerti bagaimana harus berhenti.
Rindu. Lelaki berperawakan tegas, matang, sekaligus hangat itu rindu. Jung Hoseok merindu.
Rindu Hoseok bertuan, tetapi tak memiliki pelampiasan, sementara salah satu obat pereda terbesar pun sedang ada urusan di luar. Makanya, suasana rumah yang sudah direnovasi supaya lebih besar ini mati, bahkan bagi tipikal pelik diam semacam Jung Hoseok. Kendati demikian, ia telah terlatih di kondisi itu.
Dengan santai, Hoseok memicing ke sudut monitor laptopnya. Pukul yang dijanjikan masih dipisahkan satu angka, artinya ia mesti mengisi luang dengan pekerjaan yang tertunda. Namun, baru menginjak garis mulai, sayup bising tertangkap akrab di indra pendengar menengahi.
"... kenapa repot memikirkan perkataan dari mulut-mulut sampah itu? Kau menyukainya, 'kan? Ingat, besok adalah kesempatan terakhirmu atau kau menyesal."
"Tapi dia yang akan terkena imbas buruknya, Yoohee!"
"Tidak, rasamu malah akan melindunginya."
Hoseok mengernyit kala dua makhluk berhormon beda, tetapi berparas identik itu muncul bersamaan di ambang pintu. "Kalian mendebatkan apa?" tanya Hoseok mulus.
"Jika salah satu dari kami memiliki kekasih dari kalangan menengah ke bawah, apa Appa akan menentangnya?" celetuk si gadis bersurai hitam sebahu bertampang serius.
"Yoohee!" sentak yang lain.
"Siapa yang sudah memiliki kekasih?"
Gadis tersebut mengarahkan ibu jarinya ke samping. "Yooho."
Pandangan Hoseok berpindah arah, alisnya terangkat. "Honie?"
Yang dimaksud salah tingkah, mulutnya berbelit, kisaran telinga memerah. "Eh, tidak, Appa! Aku tidak memiliki hubungan semacam itu, serius!"
"Setidaknya, belum, 'kan?" Serempet si gadis kemudian.
Mana kala kedua muda-mudi itu pun kembali berdebat, Hoseok menikmati pemandangan tersebut di sisi lain. Dua obat pereda terampuh, sekaligus permata hatinya. Jung Yoohee dan Jung Yooho, si kembar yang lahir dengan selamat delapan belas tahun lalu. Mereka adalah kombinasi sempurna antar gen Ayah dan Ibu dari segi fisik. Akan tetapi, dari segi karakter, Yooho lebih condong ke sang Ayah, dan Yoohee ke Ibunya.
Mereka kembar harmonis yang jarang berbeda pendapat, kalaupun terjadi pasti terkait hal-hal krusial bagi mereka, dan tidak berlarut. Sebab usainya, Yooho pasti terkekeh di bawah usakan Yoohee. Jika sudah begitu, mau tak mau hati Hoseok ikut meleleh.
"Jadi," Hoseok menutup peralatan kerja, harap-harap yang ia garap telah tersimpan, "ayo beritahu, gadis seperti apa yang berani mencuri hati jagoan Appa!" tuntut Hoseok diselingi kerlingan. Sontak Yoohee bergesit duduk di sebelah sang Appa, menagih lewat kontak mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Fated
Fanfiction[COMPLETED] [Alternative Reality] Di hamparan damai yang begitu nyaman dan hangat, Jung Hoseok bersama dua permata hatinya membuka lembaran bercoret tinta keagungan nama malaikatnya yang telah tertidur. Start: 16-09-18 Finish: 26-02-19 ©suyominie, 2...