chapter 9

846 104 48
                                    

Mata Mingyu menjelajahi luka pada tubuh Minghao.

"Siapa?!" Tanyanya berang. "Aku tidak main-main lagi, Minghao. Kalau kau tidak mengatakan siapa pelaku atas semua ini aku akan menculikmu dan mengurungmu di apartemenku."

Mingyu kali ini tidak berbohong akan ucapannya. Dia benar-benar akan menculik Minghao dan mengurungnya agar bisa menyeleludupkan Minghao dari orang yang menyiksanya. Dan sepertinya Minghao sadar akan ancaman Mingyu, dibukanya seragam dan turtle necknya, memperlihatkan semua luka yang ada.

Ada luka gores dan bekas cekikan di lehernya. Di bagian dada terdapat luka gores yang sama dan banyak lebam, namun terlihat sudah agak mengering. Bahkan ada luka segar di tangannya, karena sebelumnya Mingyu melihat Minghao masih memamerkan lengannya dengan baju penarinya.

Minghao berbalik memperlihatkan punggungnya. Masih sama, terdapat banyak luka gores dan lebam, juga ada garis garis merah yang tidak berdarah. Bekas cambuk kah?

Setiap melihat luka yang ada di tubuh Minghao, hati Mingyu terasa teriris-iris. Sekarang dia ingin secepat mungkin membawa Minghao kerumah sakit, lalu menjaganya sebisa mungkin.

"Puas?" Kata Minghao sambil memakai bajunya kembali.

Mingyu menatap nanar kepadanya. "Siapa?" Dia memegangi lengan Minghao. "Jawab aku, Minghao. Kumohon...."

Mingyu terdengar putus asa, pikiran tentang Minghao bisa mati kapan saja karena luka-luka ini membuatnya gila.

Minghao menghela napasnya, pasrah memberi tahu Mingyu.

"Junhui."

Nama itu membuat Mingyu tersentak. Lelaki pemilik gay bar itu? Lelaki yang tinggal di satu atap dengan Minghao, menyiksanya seperti ini? Bukannya mereka saling mencintai?

Terlalu banyak pikiran di kepala Mingyu sekarang. Namun, amarahnya memuncak setelah mengetahui pelaku di balik luka Minghao. Dia ingin memukuli lelaki itu, membalas semua perlakuannya kepada Minghao.

"Dia tidak sepenuhnya salah."

Kalimat Minghao membuyarkan lamunannya dari pikiran untuk membalas Junhui. Mingyu menatapnya bingung.

"Kau masih membela keparat itu?" Ujarnya marah.

"Apa karena kau terlalu mencintainya?"

Minghao tidak tahan dengan raut muka Mingyu sekarang. Mingyu terlihat... hancur. Wajahnya memperlihatkan betapa tersiksanya dia menganggap Minghao mencintai Junhui.

"Bukan, Mingyu," kata Minghao sambil membalas genggaman tangan Mingyu. "Mungkin dulu, tapi aku tahu sekarang aku tidak mencintainya."

Wajah Mingyu melembut, sepertinya genggaman dan perkataan Minghao berhasil meredam emosinya.

"Junhui... menyelamatkanku," Minghao mulai bercerita. "Dulu aku sama sepertimu, dibuang oleh keluargaku."

"Masalahnya, dulu aku putus harapan, aku tidak kuat sepertimu, Mingyu," senyum Minghao. "Aku tidak mencari pekerjaan, aku hanya pasrah kepada nasib yang diberikan Tuhan. Bahkan aku pernah mengemis dan tidur di jalanan."

"Saat itu, aku pikir aku bisa bertahan dengan cara seperti ini, dangkal sekali, bukan?" Cengirnya padahal dia menceritakan kisah sedih. "Sampai aku menjadi korban tabrak lari. Kakiku patah, aku tidak bisa berjalan, mengemis pun tak bisa. Aku hanya duduk, dua hari kulewati tanpa makan, hanya minum. Waktu itu sedang musim dingin, salju banyak menumpuk di tubuhku, kupikir aku akan mati."

Matanya tampak menerawang masa lalunya.

"Dan pada saat itulah Junhui menemukanku."

"Dia menggendongku, membawaku ke rumah sakit, membayar biaya operasiku, bahkan membantuku agar bisa berjalan lagi. Saat itu dia terlihat seperti malaikat yang diturunkan Tuhan, aku jatuh cinta padanya."

Walaupun hal itu sudah berlalu, tetap saja Mingyu merasa sakit mendengarnya. Minghao menjalani masa lalu yang terlalu berat.

"Junhui tidak memberikan semua itu secara gratis, dia ingin membuat kontrak denganku. Aku harus mau bekerja sebagai penari di barnya dengan gaji dan harus mau menjadi pemuas nafsunya di malam hari."

Leher Mingyu seperti tercekik mendengarnya. Junhui memang brengsek, di tengah ketidakmampuan Minghao dia tega mempekerjakan Minghao seperti pelacur? Dia benar benar akan menghajar Junhui jika menjumpainya.

"Pada saat itu aku buta, aku sudah tersesat oleh cinta. Kupikir sama sekali tidak masalah, toh itu berarti aku menjadi miliknya kan? Awalnya kupikir begitu, kemudian aku menyesal ketika mengetahui Junhui suka melakukan kekerasan dalam bercinta."

"Dia menamparku, menggoreskan pisau ke badanku, mencambukku, bahkan menyiksaku dengan sex toys. Kurasa dulu aku sempat menikmatinya? Entahlah... aku terlalu buta."

"Ketika di satu titik aku sudah tidak sanggup, aku sadar, bahwa ini semua salah. Aku berkeinginan untuk melunaskan semua utangku kepada Junhui, sehingga aku meminta izin kepadanya untuk bekerja di minimarket juga, tapi pada saat itu aku masih mengaguminya, kurasa aku juga tertular nafsu gilanya."

Hening sejenak, Minghao mengambil napas dalam-dalam.

"Sampai aku bertemu denganmu."

Minghao menatap Mingyu lembut, mengeratkan genggaman tangannya. "Aku senang mendengarmu tertawa, sentuhanmu di tubuhku tidak pernah membuatku takut, bahkan hanya dengan keberadaanmu saja membuatku nyaman. Karenamu aku bisa jatuh cinta lagi, dengan cinta yang lebih 'sehat'."

"Keinginanku untuk lepas dari Junhui semakin kuat. Aku sering menghabiskan waktu bersamamu, menghindarinya di rumah. Namun, Junhui tidak membiarkanku. Dia menyiksaku lebih ketika malam, apalagi kemarin."

Minghao lalu memegangi lengannya. "Lenganku... dia tidak pernah melukai lenganku, katanya itu aset sebagai penari di bar. Tapi kemarin malam dia lepas kendali, setelah melihat bekas ciumanmu di leherku, Mingyu."

"Dia mencekikku, mengatakan aku lebih buruk dari pelacur. Dia menyiksaku membabi-buta malam itu, beranggapan aku tidak menghargai kebaikkan hatinya."

Minghao tidak bisa menahannya lagi, bulir-bulir air mata jatuh di pipinya. "Aku hanya ingin bebas, Mingyu. Aku ingin lepas dari semua ini, aku ingin menikmati hidupku!" jeritnya.

"Aku bahkan takut, aku takut untuk mencintaimu, aku tidak pantas untukmu," tangisnya semakin pecah. "Aku terlalu hina, terlalu kotor, terlalu menjijikkan—"

Mingyu akhirnya melakukan hal yang sangat diinginkannya, meraih Minghao kedalam pelukannya. Dipeluknya erat tubuh kecil Minghao, menenggelamkan kepalanya ke dalam dadanya.

"Tidak, Minghao," kata Mingyu lembut di telinganya. "Tolong jangan berkata seperti itu."

"Aku sama sekali tidak menganggapmu menjijikkan, kau tidak berhak diperlakukan seperti itu, Minghao. Lagipula, aku tidak peduli dengan masa lalumu, karena yang kujalani adalah masa depan bersamamu."

Minghao menangis semakin keras. Dibalasnya pelukan Mingyu dan Mingyu mengeratkan pelukannya. Saat ini yang bisa Mingyu lakukan hanyalah menenangkan Minghao.

"Nanti pulanglah ke apartemenku," bisik Mingyu. "Besok aku akan membantumu menghadapi dia."

Walaupun terdengar tidak mungkin di telinga Minghao, dia hanya mengangguk, berusaha untuk percaya kepada Mingyu.

Ketika mereka sudah merasa nyaman dengan posisi seperti itu, momen mereka dirusak oleh Mingkyung yang akhirnya datang.

"PAGI SEMUAA—"sapaannya terpotong melihat Mingyu masih memeluk Minghao. "Eh, maaf, aku mengganggu, ya?"

Meraka langsung menarik diri. Keduanya tersipu malu.

"A–aku harus ke kamar kecil," kata Minghao berbohong lalu pergi.

Mingyu yang ditinggal hanya bisa pasrah menerima tatapan mengintrogasi dari Mingkyung.

"Hmm... ada sesuatu disini," katanya mengamati Mingyu.

Mingyu hanya bisa tersenyum paksa. Lalu bergegas menyusun barang-barang untuk diletakkan di rak.

•••

Maaf gaes ini sedikit manja-manja:") terima kasih sudah vote dan comment!❤️

l o s t . [gyuhao]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang