PROLOG

136 8 21
                                    


Venezia, Italia.

Barangkali kau lupa, di antara kita tak ada yang ingin meninggalkan, maupun ditinggalkan. Berpegang pada kesedihan. Bersama dingin dan senja di tengah-tengah kanal dengan bangunan tua di sisinya.

Langit Piazza San Marco terlihat cerah dengan warna biru mudanya. Ribuan merpati terbang memenuhi ruang udara, berkeliling dan mengangkasa. Beberapa terlihat memadu kasih di tengah lalu-lalang kaki manusia. Sebagian memilih untuk mengisi perut dengan biji-bijian yang dibawa pengunjung. Romantis. Mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan tempat di mana aku menginjakkan kaki sambil menggenggam beberapa biji jagung untuk merpati. Kebiasaanku setiap sore tidak pernah berubah. Menanti senja dengan memberi sedikit makanan untuk para merpati.

Tempat ini adalah salah satu perkotaan terbesar di Eropa, di mana suara manusia menang atas suara lalu lintas kendaraan bermotor. Berbeda dengan Negara asalku, Indonesia. Bising sudah menjadi santapan sehari-hari bagi mereka yang tinggal di Jakarta sepertiku. Perkotaan yang tidak pernah tidur atas lalu lintas. Namun bukan hal itu yang ingin kuceritakan pada kalian dalam ratusan lembar kisah di belakang. Bukan tentang tenangnya Venezia, atau bisingnya Jakarta. Melainkan tentang dia yang telah lama hilang di tengah kerumunan manusia, di Negara asing ini.

***

Kududukkan rindu pada sebuah gondola yang melaju pelan di tengah-tengah kanal kuno dengan bangunan tua bersejarah di sisi-sisinya, ditemani alunan merdu nyanyian Gondolier yang menggema. Kutatap beberapa pasang manusia sedang asyik menukar kalimat cinta di atas jembatan-jembatan kanal. Merekatkan jemari dengan kedua pipi merona, dan sudut senyum yang tak pernah terjatuh. Mereka saling memutar ingatan, membawa euforia sebagai kenangan. Diam-diam merekam segala sesuatu yang lewat dan menghilang.  Tanpa sadar, lengan kuangkat dan mulai mengabadikan keromantisan mereka dengan sebuah kamera.

“Jangan pernah bermain-main dengan kanal di Venezia,” ucapnya malam itu.

Pria bermata biru itu mengucapkan kalimat yang terus menggantung di pikiranku hingga detik ini. Aku tidak mengenalnya, terlebih mengetahui siapa namanya. Dia hanya datang dan pergi begitu saja. Memecah lamunan yang kususun rapi di atas jembatan, dan meninggalkanku dengan rasa penasaran yang mendalam.

Memang apa salahnya, jika aku lebih menyukai kesibukan mengabadikan jutaan kisah picisan dengan kamera dan kanal? Ah, bukan urusanku. Untuk apa aku sibuk memikirkan seseorang yang hanya kutahu warna matanya saja. Peringatannya tidak berarti penting.

Sembri uguale a quello che in precedenza aveva scalato questa gondola.” Suara Gondolier mengagetkanku.

È giusto?” jawabku.

Dia mengangguk dan melanjutkan nyanyiannya.

Aku masih bertanya-tanya, apa kiranya yang membuatku sama dengan seseorang sebelumnya. Apa dia juga seorang wanita kesepian? Atau seorang fotografer freelance sepertiku? Entahlah, aku tak ingin mencari tahu, pun tak berniat melanjutkan percakapan dengan Gondolier itu. Kulanjutkan saja kesibukanku menikmati sepi di tengah kota yang mengambang ini.

Kufokuskan pandangan ke arah kanan gondola. Memperlihatkan beberapa bangunan berkesan klasik. Megah dan menakjubkan. Namun pandanganku jatuh pada sebuah bangunan tua dengan puluhan mural kuno di dindingnya. Sejenak aku terpaku. Mengamati dalam-dalam apa kiranya arti dari tulisan yang tertera di tengah mural itu. Tulisan berukuran cukup besar yang kuyakin tidak ditulis menggunakan bahasa Italia.

για πάντα μαζί, μόνο εσείς και εγώ

Bahasa apa itu?
Apa artinya?

Mengapa banyak corak-corak bunga poppy cokelat di sekitarnya, juga sebuah lukisan besar yang mendasari tulisannya. Lukisan yang menggambarkan seorang lelaki berambut putih dengan sayap kecil berwarna hitam di punggungnya. Dia digambarkan sedang memeluk seorang wanita yang tertidur di pangkuannya. Bunga poppy merah menghiasi kepalanya. Wajahnya dipenuhi raut kesedihan.

DIORAMA PICISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang