Cordoba, Spanyol.
Cordoba, kota indah yang didirikan oleh Claudius Marcellus. Kota yang selama ini masuk dalam daftar destinasi perjalananku. Ya—walau hanya dalam daftar, belum benar-benar pernah kukunjungi. Aku terbilang beruntung kali ini, karena perusahaan yang mengontrak, dengan cuma-cuma memberikan tawaran jalan-jalan gratis, sekaligus mengerjakan tugas dari mereka. Mengambil beberapa foto tempat-tempat terkenal di Cordoba. Termasuk Mezquita.
Aku selalu ingin mengunjungi salah satu perpustakaan terbesar di kota ini. Siapa yang tidak tahu tentang Cordoba yang selama ini menyimpan hampir tujuh puluh perpustakaan aktif di dalamnya. Surganya para penulis-penulis muda maupun penulis yang namanya sudah naik daun. Surgaku juga tentunya. Meski masih bisa dibilang, aku adalah penulis amatiran.
Di sinilah aku akan memulai sejarah baru, cerita baru, pengalaman baru, dan semua akan kutulis satu per satu dalam sebuah catatan kecil, yang nantinya akan dibaca banyak orang. Perjalananku dimulai dari jembatan Cordoba. Al-Wadi al-Kabir. Jembatan dengan panjang empat ratus meter ini dikenal dengan nama Al-Jisr. Mungkin bagi kalian yang beragama muslim dan kebetulan menyukai sejarah kebudayaan islam, di Eropa Barat khususnya, kalian akan paham betul baagaimana sejarah jembatan ini bisa dibangun.
“Disculpe,” sapaku pada seorang pria berbadan tinggi dan gagah. Rambutnya yang dipotong cepak memperlihatkan tulang rahang dengan jelas.
“Si?” bibirnya melepas senyum sembari menantiku berbicara.
Ah, sial. Aku mati kutu di sini. Aku hanya tahu bahasa Spanyol permisi dan terima kasih. Sisanya? Aku sama sekali tidak tahu. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? English? Yang kutahu tidak semua orang Eropa paham dengan bahasa inggris. Ya—tidak ada salahnya kucoba.
“Hallo, Puedo ayudarte?”
“Ah, Sorry. Can you speak in English?” tanyaku ragu.
“Yes, a few.”
Oke, bukan masalah. Sedikit pun tak apa, asal bisa.
“Okay. Can you help me find a Cordoba bridge? Al-Jisr?” entah kenapa aku mengajukan pertanyaan dengan tangan yang spontan bergerak ke sana-kemari, mengukir bentuk jembatan di udara.
“Oh, Al-Jisr? Yes, I know,” angguknya.
“Sure? Where?” akhirnya aku tidak tersesat kali ini.
Kutatap, dia sedang kebingungan. Tunggu, bukankah tadi dia bilang, dia tahu. Mengapa sekarang bersikap seperti itu. Gelagatnya, bibirnya yang beberapa kali terbuka namun tertahan, matanya yang memperhatikan udara. Ada apa?
“Sorry, Sir. Why? There is something wrong?”
“No... No... I can’t... I can’t explain it in English. I’m sorry, but I can help you.”
Sudah kuduga dia kebingungan dalam menjelaskan. Wajar saja.“Okay, How?”
“Ikuti saya, saya akan membawamu ke sana.”
“Serius?”
“Ya, saya serius.” Angguknya mantap.
“Tunggu! Begini, saya tidak mau menganggu kesibukan anda, jadi tunjukkan saja jalannya. Bagaimana?”
“Saya tidak bisa. Bahasa inggris saya buruk.”
Kupikir awal cerita di Cordoba akan menjadi perjalanan yang sangat menyenangkan dan berkesan, namun ternyata semua berubah melelahkan. Inilah bencana terbesar dalam dunia travel, menurutku. Saat bahasa memisahkan dua orang yang saling bertatap muka sekalipun. Menyebalkan!
KAMU SEDANG MEMBACA
DIORAMA PICISAN
RomanceCinta merupakan sebuah genre paling indah dan menyenangkan dalam hidup setiap manusia. Terkecuali, Gisa. Baginya tidak ada yang lebih menyakitkan dari hal bernama cinta. Kegagalan membuatnya enggan membuka hati, memilih sendiri, dan terus mengutuk d...