Chapter 1

39 6 13
                                    

Venezia mengenalkanku kepadamu. Mempertemukanku dengan rindu. Mengajarkanku apa itu rasa sakit. Kota seribu kisah picisan yang mengharukan. Layaknya bayangan kita yang tetap menyatu tanpa raga. Kota yang tak pernah sepi dari lantunan nada. Aku menyukainya. Sama seperti aku menyukaimu, melodiku.

Berulang kali kubaca surat tanpa nama ini. Kutemukan semalam di depan pintu kamar apartemen lengkap dengan sebuket mawar putih di atasnya. Mr. X, siapa dia? Aku tidak cukup terkenal untuk memiliki seorang penggemar. Tulisan ini cukup mencurigakan karena ditulis menggunakan bahasa Indonesia. Sudah pasti pengirimnya pun orang Indonesia. Apa aku pernah mengenal orang ini sebelumnya? Siapa? Teman sekolah, atau teman kampus? Kalau teman kerja jelas tidak mungkin. Sejak lulus kuliah aku memutuskan tinggal dan hidup di sini. Teman kerjaku sudah pasti orang-orang asli Venezia.

Masih pagi, namun sudah banyak hal tidak penting yang kupikirkan. Mungkin secangkir moka hangat akan sedikit menenangkan. Kusiapkan pakaian dan perlengkapan kerja seperti kamera dan laptop, juga beberapa buku bacaan. Sudah kusinggung sebelumnya, aku adalah seorang fotografer freelance. Itu tidak membuatku kekurangan penghasilan, mengingat banyak sekali perusahaan atau perseorangan yang menandatangi kontrak denganku. Selain itu, diam-diam aku pun mulai berencana menerbitkan sebuah buku. Ya—hanya rencana, tidak serius. Kemampuan bahasa Italiaku pun masih minim. Tiga tahun tidak membuatku cepat mahir.

“Hai, Gisa,” sapa seorang tetangga.

Ciao, Ben,” balasku.

Benedict. Seorang tetangga kamar yang cukup baik. Tidak jarang dia memberiku hasil dari coba-coba memasak. Mulai dari makanan berat sampai ringan. Katanya untuk persiapan menikah. Aku heran, dia itu laki-laki, tapi kenapa begitu memusingkan hal-hal tidak penting seperti memasak. Toh harusnya itu menjadi kewajiban istrinya kelak. Kuakui, wajahnya tampan, berpenghasilan lumayan besar, dan merupakan salah satu orang tersukses di apartemen ini. Bisnisnya merebak di seluruh Eropa. Tetapi sikap aneh itu membuat semua kelebihannya turun di mataku.

“Mau berburu pemandangan?” tanyanya sambil membenarkan tempat sampah di depan kamar.

“Haha... Tidak, kali ini aku akan menulis,” jawabku sembari mengunci kamar.

“Menulis? Wah, fantastisco!”

Grazie. Aku pergi dulu, Ben. Oh, jangan lupa cuci tanganmu sebelum sarapan,” tawaku pelan.

Dia tersenyum. Menggelengkan kepala, lalu masuk ke kamarnya.

Pagi di kota kecil ini selalu sibuk, semua orang berbondong-bondong pergi ke kantor. Beberapa jembatan penyebrangan dipenuhi orang-orang yang berjalan super cepat. Bisa kukatakan mereka memang sangat tepat waktu dalam segala urusan, terutama pekerjaan. Mereka tidak malu berjalan kaki, walau mengenakan setelan berjas. Wanita-wanita tangguh dengan sepatu berhak tinggi juga tidak banyak mengeluh lecet di kakinya saat berjalan.

Kulewati gang-gang sempit kota tua ini dengan pelan, menikmati setiap debam langkah. Mencari sebuah tempat makan yang menyediakan moka hangat. Percaya atau tidak, moka tidak dijual di semua tempat di kota ini. Itulah sebabnya aku sering kebingungan untuk sekadar memilih tempat makan. Sudah dua tempat kukunjungi, namun tidak satu pun menyediakan apa yang kucari. Hingga sampailah aku pada sebuah tempat bertuliskan “Diangello” pada papan kayu di atas pintu masuknya. Kuharap kali ini ada.

Scusami.”

Lonceng di atas pintu berbunyi nyaring. Menandakan seorang pelanggan datang.

Mattina, Signora.”

Seorang pelayan mendekat, mempersilakanku duduk di kursi yang dipilihnya.

“Mau pesan apa, Nyonya?” tawarnya.

DIORAMA PICISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang