Chapter 5

20 6 4
                                    

Buongiorno,” sapaku pada seorang resepsionis hotel.

Mattina, Signora,” jawabnya, bangkit dari duduknya.

“Emm... Saya mau bertemu dengan tuan Marco. Dia mengatakan, bahwa saya harus menghubungi resepsionis terlebih dulu sebelum menemuinya.”

“Oh, anda adalah Nona Gisa? Benar?”

“Ya, benar.”

“Tunggu sebentar ya. Silakan duduk!” Dia mempersilakanku dengan ramah.

Kupikir hampir semua resepsionis hotel di kota ini ramah dan murah senyum. Itu bagus. Setidaknya mengurangi penat yang dirasakan beberapa tamu selepas berkeliling kota.

“Nona,” panggilnya selepas menutup telepon.

“Ya? Bagaimana?” Aku menegakkan punggung yang semula bersadar.

“Beliau sudah menunggu anda di kamarnya.” Dia memberiku selembar kertas bertuliskan angka 33 deluxe suite.

Jangan berpikir macam-macam. Para pebisnis di kota ini memang terbiasa bertemu klien di kamar hotel. Tenang saja, aku tidak akan sendirian. Ada dua staf hotel yang siap melayani perjamuan di dalam kamar nantinya.

Aku sudah menduga, jika kamar tuan Marco ini memiliki balkon yang menghadap langsung ke arah laguna. Bukan pertama kali aku mengunjungi hotel Londra Palace ini, setidaknya cukup untuk menghafal setiap sisinya. Hotel ini memang didesain secantik mungkin dengan sebuah kolam renang berukuran besar dan sebuah restoran mewah dengan menu-menu yang sangat nikmat, tentu dengan harga yang tidak miring juga.

“Baik. Grazie,” anggukku lalu pergi.

Tiba-tiba seorang staf berjalan cepat mendahuluiku dan menunjukkan jalannya. Ah, pelayanan hotel bintang lima ini memang selalu memuaskan. Dia menuntunku ke arah lift yang akan membawa kami ke lantai 2D, tepat di mana kamar tuan Marco berada. Beberapa kali dia memperhatikanku, menatapku dari atas ke bawah. Aku yang risih segera menegurnya.

Scusami, c'è un problema?”

No, mi dispiace,” tunduknya.

Bel lift berbunyi. Angka di atas pintu menunjukkan tulisan dua dalam angka romawi. Dia mendahului dan berjalan ragu-ragu sambil sesekali melirikku. Sudah lebih dari tiga kali aku memperhatikan pakaian, sepatu bahkan tatanan rambut yang sengaja kugerai begitu saja. Apa ada yang salah? Mengapa dia melihatku sampai seperti itu. Mencurigakan sekali. Ini adalah pertama kalinya aku merasa tidak nyaman bertemu dengan seorang klien. Harap-harap cemas akan apa yang terjadi nantinya.

Bertemu klien bagi seorang pebisnis di sebuah hotel memang lumrah, seperti yang kukatakan tadi. Akan tetapi itu tidak membuat kejahatan menjadi hilang sepenuhnya. Hati manusia siapa yang tahu? Bukankah begitu.

Ah, sial! Aku ragu untuk bertemu tuan Marco. Dia klien baru untukku, ini adalah kerja sama pertama di antara kami. Bagaimana orangnya aku pun tak tahu. Bisa jadi dia akan berbuat jahat. Kakiku gemetar. Seakan ingin kembali turun dan pulang. Membatalkan pertemuan dan menolaknya

Mi dispiace, Signora. Kau mirip dengan adikku.” Dia berbicara sebelum membuka pintu kamar dengan nomor 33 di hadapan kami.

Sorella?” tanyaku ragu.

,” angguknya.

Mulutku bungkam, merasa bersalah atas pikiran kotor yang tadi sempat terlintas. Mirip adiknya? Wajah indo begini bagaimana bisa disamakan dengan wajah asli orang Eropa. Ada-ada saja.

Buongiorno,” suara staf itu sedikit keras sambil membuka pintu.

Aku mengekor di belakangnya. Sedikit mencuri pandang tentang bagaimana penampilan tuan Marco. Dari namanya saja sudah terlihat dia adalah orang yang gagah dan seram. Belum lagi suaranya saat di telepon kemarin malam, berat, selayaknya bapak-bapak. Ah, jadi rindu suara Ayah.

DIORAMA PICISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang