Chapter 6

24 3 1
                                    

Februari, 2008

Hal pertama yang kulihat saat menyingkap mata adalah ratusan mawar yang berjejer rapi di atas meja kamar. Hari ini telah tiba. Hari di mana aku akan memulai hidup baru sebagai seorang istri dari pria tampan bernama Andromeda Alisky Georgi. Pria keturunan keluarga Georgi yang terkenal dengan kekayaannya. Kupikir jika menikahi seorang pria kaya, kebahagiaan akan selalu ada di depan mata. Semua kebutuhan akan tercukupi. Tidak kekurangan satu apa pun.

Kududukkan tubuh yang tadinya terbaring. Piyaman biru muda yang kukenakan terlihat lusuh, begitu pun rambut panjangku. Tidurku tidak nyenyak semalam. Sesekali terbangun, merubah posisi tidur. Tidak sabar menanti hari yang kutunggu lima tahun lamanya. Mungkin itu juga yang membuatku terlihat berantakan pagi ini.

Ah—lima tahun bukan waktu yang sebentar untukku bisa bertahan menjalin hubungan dengannya. Berusaha mengerti semua kesibukannya. Emosinya yang meluap ketika lelah. Tatapan tajamnya ketika merasa tidak suka dengan apa yang kulakukan. Beberapa hal kukesampingkan hanya untuk bisa bersama dengannya. Benar—menjadi pasangan seorang pria sempurna seperti dia memang sulit. Mengimbanginya adalah beban, namun tetap kulakukan lantaran nyaman dan suka.

“Gisa,” panggil Ibu dari balik pintu.

“Masuk saja, Bu.”

“Gisa? Sudah bangun?” kini Ibu berada di hadapanku.

“Baru saja. Jam berapa ini? Sepertinya jam dindingku kehabisan baterai,” kutatap jam yang berada di dinding atas meja.

“Jam tujuh pagi. Sudah sana bersiap-siaplah. Upacara pemberkatan akan dilakukan jam sembilan. Kau masih harus dirias.” Ibu membereskan tempat tidurku.

“Bu?” panggilku.

“Apa?” kini berganti melepas sarung-sarung bantal dan guling.

“Untuk apa mawar sebanyak itu? Kenapa harus mawar merah?” Aku masih terduduk di tepi tempat tidur.

Ibu menoleh ke arah mawar sebentar dan melanjutkan kegiatannya.

“Meda suka bunga mawar, terlebih mawar merah. Kau ini calon istrinya tapi tidak tahu apa-apa.”

“Aku tahu, Bu. Aku lebih tahu apa yang dia suka daripada Ibu. Maksudku mau Ibu letakkan di mana mawar-mawar itu? Tidak mungkin hanya digeletakkan begitu saja bukan?”

“Ibu ingin menghias bagian depan mobil dengan satu ikat berisi beberapa tangkai, sisanya ibu rangkai sebagai buket untuk pengiring dan untukmu,” kekehnya.

“Ibu, harusnya mawar putih. Itu melambangkan kesucian pernikahan kami.” bantahku.

“Kau ini menjawab saja kalau ada orang tua berbicara. Sudah cepat siapkan perlengkapanmu, kau ingin menggunakan bedakmu sendiri bukan? Katanya kulitmu sensitif. Lagi pula periasnya sudah menunggu di kamar Ibu.”

“Di kamar Ibu? Kenapa tidak dirias di sini saja? Ini kan kamarku?”

“Justru karena ini kamarmu! Ibu mau malam pertama kalian di sini saja. Ibu akan hias ruangan ini secantik mungkin. Lengkap dengan bunga sedap malam kesukaanmu.” Wajah Ibu merona.

Aku yang akan menikah, tapi Ibu yang bersikap seperti mempelai wanitanya. Ibu memang ada-ada saja. Apa-apaan wajah meronanya barusan. Apa sih yang sebenarnya dia bayangkan? Sudah tua masih saja suka menggoda anak gadisnya.

“Aku mandi di kamar Ibu atau di sini saja?” tanyaku cepat.

“Mandi? Kamu ini mau menikah! Sudah adatnya tidak boleh mandi. Pamali. Nanti hujan. Kalau tidak ada tamu bagaimana?” Ibu berkacak pinggang.

DIORAMA PICISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang