“Hei.” Viggo memanggilku sembari meletakkan segelas macchiato hangat.
“Apa?” ketusku.
Aku tidak mengerti dengan keadaan yang Tuhan tuliskan dalam skenarioku. Terjebak dengan seorang lelaki yang sudah hampir sebulan membuatku gila. Yeah, I’m stuck with him, right now. Ingin meninggalkan, namun mengingat kondisi kaki yang masih kesakitan, aku memilih diam dan tetap duduk menemaninya.
Tingkah santainya justru mengangguku. Mau sampai kapan dia duduk di sini? Aku tidak mungkin melewatinya dengan menenteng sepatu dan berjalan tanpa alas kaki. Mengenakannya lagi? No! Belum tuntas rasa sakit yang kurasakan akibat lecetnya. menyakitkan.
“Mengapa kau memilih venezia sebagai destinasi untuk menjalani hidup sekian tahun lamanya? Eropa bukan benua yang kecil, Gisa. Banyak Negara yang jauh lebih menakjubkan dibanding kota kecil seperti ini.”
Aku bisu, menganggukkan kepala tanda mengerti. Kuambil gelas berisi moka, lalu meneguknya pelan, sembari memikirkan jawaban yang bisa membuat dia sedikit percaya. Sungguh tidak mungkin aku menceritakan perihal mengejar Meda sejauh ini. Mengejar seseorang yang pernah akan memasukkan cincin ke jari manisku.
“Aku suka Italia. Aku suka keindahan Roma. Terlebih Venezia, itu saja.” Aku menjawab asal.
“Sure? Kau berkebalikan denganku. Aku tidak begitu suka dengan Italia. Menurutku, masih banyak Negara yang jauh lebih indah dari Italia, khususnya di benua Eropa ini.” Pandangannya menembus tira-tirai awan.
Menarik. Lalu untuk apa dia lebih memilih untuk tinggal di sini daripada Negara lain yang dia sukai? Lelaki yang aneh. Aku hanya bisa menggelengkan kepala menanggapi pernyataan bodohnya.
“Aku memiliki keinginan menjelajahi Austria. Vienna. Kota bersejarah selain Cordoba dan Paris. Banyak hal yang bisa dipelajari dari kota itu. Ah, juga aku ingin sesekali ke cordoba. The city of life, itu julukannya. Bermain ke Mezquita.”
“Hahaha... Memangnya kamu pandai berbahasa jerman, sampai berani memilih Vienna sebagai destinasi untuk dijelajahi? Apalagi tadi? Cordoba? Spanyol? Ah, Mezquita. Tepat sangat bersejarah untuk kaum Kristen dan Muslim. Benar?”
“Lalu untuk apa kita diwajibkan menguasai bahasa inggris? Bahasa internasional, Gisa.”
Aku tersedak ludah. Dia benar. Bahasa universal yang bisa membawa kita ke seluruh belahan dunia. Dia tidak salah. Memang bahasa inggris akan banyak membantu siapa pun yang sedang melakukan perjalanan keliling dunia. Ah—kupikir kehadirannya saat ini sedikit membantu meredakan penat. Gaya bicaranya yang lugas, terkesan dingin tapi tidak kaku. Senyum yang tidak sering diperlihatkan, tapi tidak mengurangi ketampanannya. Lelaki yang menarik.
“Kau benar,” tundukku memainkan kuku.
“Tahukah kau? Austria adalah tempat di mana musisi-musisi terkenal dilahirkan. Joseph Haydn yang diberi julukan bapak simfoni, Amadeus Mozart yang dujuluki anak ajaib karena kemampuannya bermain biola dan piano sejak usia lima tahun. Ada juga Franz Schubert, seperti Mozart, karyanya tidak sepenuhnya dihargai sampai setelah kematian menjemputnya. Ya, memang mengukir sejarah tidak semudah itu. Ratusan karya Mozart pun mulai terkenal ketika dia telah tiada,” ucapnya panjang lebar.
“Mozart. Aku sering mendengarnya. Beberapa karyanya juga pernah kudengarkan. Lalu siapa tadi? Haydn? Siapa dia? Rasanya asing sekali.” Kini aku merubah posisi menghadap ke arah Viggo yang masih menatap langit. Berusaha fokus dengan arah pembicaraan kita.
“Mungkin kau pernah mendengar nama dari seorang komposer terkenal. Beethoven?” Dia ganti menatapku.
“Ya. Aku tahu dia. Siapa yang tidak tahu seorang musisi hebat sepertinya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
DIORAMA PICISAN
RomanceCinta merupakan sebuah genre paling indah dan menyenangkan dalam hidup setiap manusia. Terkecuali, Gisa. Baginya tidak ada yang lebih menyakitkan dari hal bernama cinta. Kegagalan membuatnya enggan membuka hati, memilih sendiri, dan terus mengutuk d...