Chapter 7

15 2 0
                                    

Takdir telah mengatur semua kehidupan dengan sangat aneh dan memuakkan. Mempertemukan dua hati, lalu memisahkan. Hati yang pecah berkeping-keping ini mungkin adalah hadiah terbaik bagiku, selalu mengingatkanku untuk tidak lagi terlibat dalam permainan cinta. Permainan yang akan membunuhku. Menyakitiku hingga hancur, tak dapat berdiri lagi. Lalu, apakah waktu dapat menghapus semua kenangan? Tidak. Waktu justru dengan tega membawaku kembali masuk ke dalamnya.

Waktu mampu merubah semua jalan hidup, termasuk perasaan dan cinta. Semua berotasi dan berubah dalam jalur yang terasa semakin jauh, terpisahkan oleh jarak dan pudarnya kenangan.

Kau bohong, Bondio!

Waktu tidak merubah apa pun, termasuk perasaan dan cintaku padanya. Pada orang yang dengan tega meninggalkanku di tengah hari istimewa, yang berniat kuabadikan dalam museum hati.

Cinta bisa membunuh siapa saja. Paling tidak melukai. Sedikitnya membuat lecet kedua tumit kaki, seperti sekarang ini. Cinta membuatku terbirit-birit dengan sepasang sepatu berhak sepuluh senti. And now, let me tell you something! Semua sepatu dengan hak tinggi tidak pernah didesain untuk berlari lebih dari satu kilometer. Aku menyesal. Kakiku perih, namun belum mau berhenti berlari. Aku ingin menjauh dari tempat di mana Meda berada.

“Apakah aku akan disebut gila, karena selalu mencari cara untuk kembali padamu? Ratusan kali, ribuan kali, berkali-kali.” Sore itu di hadapan senja yang murung kau mengucapkannya dengan hangat.

“Aku selalu melihat ke arahmu, tanpa kau sadari. Bahkan tanpa kusadari,” balasku tak kalah hangat.

Ah—aku sudah muak atas semua kenangan yang berputar-putar di kepala, memaksa keluar, mendobrak pertahanan air mata.

Kuhentikan langkah di depan sebuah kafe. Merasa terselamatkan dari jerat yang menyiksa kaki sejak puluhan menit lalu. Kulangkahkan kaki sempoyongan masuk ke bagian belakang kafe. Tempat di mana kursi-kursi dan meja di sediakan tepat menghadap kanal. Lampu-lampu bulat dan cukup besar terpasang rapi di beberapa sudut, kuyakin akan indah jika malam datang. Sayang, aku kemari terlalu pagi. Ya—aku pun tidak berniat kemari sebelumnya, jadi tak apa.

Kujatuhkan tubuh di atas sofa berwarna abu-abu. Melepas kedua heels yang sedari tadi menyiksa. Kulemparkan begitu saja di bawah meja. Beberapa orang menatap aneh tingkahku sambil menggelengkan kepala. Aku menatap mereka sinis. Wajahku tidak lagi bersahabat dengan senyum saat ini. Kulempar tas ke samping, lalu menyadarkan kepala di tepian punggung sofa. Menengadah sejenak. Merasakan angin pagi yang berembus pelan.

Cinta datang kepada sedikit orang yang beruntung, kata Mariskova dalam bukunya. See? Aku bukan salah satu dari yang beruntung itu.

“Permisi, Nona cantik. Apa harimu melelahkan?” ucap seorang waiter sambil menyodorkan buku menu.

“Seperti yang kau lihat,” ketusku.

Kubuka pelan buku menu. Memang benar, cinta bisa membuat kita gila sampai tidak bisa berpikir apa-apa selain tentangnya, termasuk memilih makanan dalam buku menu yang tidak banyak menyajikan pilihan.

Ah—pilih moka hangat saja.

“Moka hangat satu.”

“Itu saja, Nona?” tanyanya sembari mencatat pesanan.

“Ya.”

“Baik, silakan menunggu. Permisi,” tunduknya dan berlalu.

Kubuka handphone dan mencari aplikasi yang selama ini sedikit banyak membantu dalam memuat gambar-gambar yang kuambil dengan kamera. Instagram. Kucari beberapa gambar Basilika Santo Marcus yang sempat kuambil beberapa bulan lalu. Ketemu!

DIORAMA PICISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang