Chapter 2

48 5 12
                                    

Kuarahkan kamera ke beberapa sudut Palazzo Ducale, mengabadikan beberapa patung dan karya-karya arsitektural menarik lainnya yang terpajang di Museo dell’Opera. Entah kenapa aku selalu suka mengunjungi museum yang dulu menjadi istana tempat tinggal penguasa tertinggi Republik Venice ini. Istana yang dibangun dengan memadukan gaya arsitektur gothic dan Byzantium, atau biasa disebut sebagai Venetian gothic style.

Sudah terhitung lebih dari dua puluh kali aku menginjakkan kaki di tempat ini, namun rasa bosan sama sekali belum membawaku hanyut untuk meninggalkannya. Patung-patung yang masih utuh dan terawat, hiasan dan ornamen yang tidak pernah berubah tempatnya, semua tidak membuatku bosan. Ya—itulah kehebatan museum ini. Beberapa kali kebakaran terjadi di tempat ini, namun desain aslinya tidak banyak berubah.

Kuambil beberapa foto yang memperlihatkan lukisan-lukisan lama yang masih kental dengan budaya kuno. Terlihat dari segi pakaian yang dikenakan tokoh dalam lukisan, pemilihan warna, dan suasana yang digambarkan di dalamnya. Tidak salah lagi, ini adalah obat cuci mata terbaik untukku di kota yang tidak seberapa besar, namun menyimpan sejuta kejutan di setiap sisinya.

Hi, Miss.”

Seorang wanita menepuk pundakku. Dia membawa selembar peta cukup besar di tangan. Kutebak dia sedang tersesat dan mencari lokasi yang diinginkan. Ya—dia tersesat.

Excuse me,” ucapnya sambil menunjukkan peta.

“Oh, Yes?”

Do you know this place?”

Dia menunjuk salah satu tempat yang berada tidak jauh dari apartemenku. Kupikir itu adalah Galleria dell’Accademia.

Yes, I know. You have to cross the Accademia Bridge to get there,” jelasku sambil menunjuk peta. Tepat di mana gambar jembatan Accademia berada.

I’m sorry. I don’t understand with your... your...,” ucapnya terbata-bata.

Sudah kupastikan bahasa inggrisnya juga tidak lancar. Menyebalkan sekali. Jujur—suasana hatiku saat ini sedang dalam keadaan buruk. Sama sekali tidak ingin meladeni siapa pun, termasuk turis yang sedang tersesat seperti dirinya.
Kuhela napas panjang, tanda kesal.

Where do you come from?” tanyaku cepat.

Me? What?” Dia masih terlihat kebingungan.

Where do you come from?” ulangku.

Dia menggaruk-garuk kepala dan menggerutu, “Oh, aku bisa gila karena bahasa bodoh ini.”

“Orang Indonesia?” tanyaku.

“Ya, benar. Aku orang Indonesia. Jadi kamu juga orang Indonesia? Benar kan? Wah, aku beruntung sekali bisa bertemu denganmu.” Dia menggenggam tanganku.
Kutepis tangannya.

Menurutku sangat tidak sopan berlagak sok akrab dengan orang asing yang baru dikenal. Dia masih menatapku dengan mata kagum. Entah apa yang dia kagumi dariku. Kupalingkan wajah sejenak, meletakkan tangan di dalam saku jaket. Berpikir tentang apa yang harus kulakukan jika sudah begini. Berbicara dengan bahasa Indonesia membuatku memberinya sebuah harapan. Aku ingin menyendiri. Bukan menjadi tour guide dadakan seperti ini.

“Jadi kamu orang Indonesia kan?” Dia bersuara lagi.

“Ya, kenapa?” ketusku. Berharap dia mengurungkan niat untuk berdekatan denganku.

“Emm... Ini agak kurang sopan, tapi apa kau bisa mengantarku ke sana?”

Bingo!

Ada perasaan menyesal yang tiba-tiba menjalar di bibirku.

DIORAMA PICISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang