Chapter 4

22 4 17
                                    

Udara di sini memang tidak begitu sejuk saat musim gugur, entah itu di pagi hari atau sore harinya. Terlalu lembab menurutku. Ah—dan cukup panas. Kumaklumi keadaan seperti ini, karena kota Venezia memang berada di tengah perairan. Laut tepatnya.

Kuhirup udara sebanyak dan sepanjang mungkin sambil memejamkan mata, lalu kuembuskan perlahan. Kuperhatikan sekeliling, masih sama seperti biasanya. Hanya ada beberapa orang yang berjalan, keluar masuk apartemen. Beberapa duduk di tepian kanal yang menyediakan kursi-kursi kayu panjang. Sibuk bertukar obrolan tentang musim gugur yang sepi tahun ini, juga beberapa acara tahunan yang akan diadakan dengan sangat meriah. Venezia. Kota dengan sejuta kejutan, termasuk beberapa festival yang digelar tahunan. Aku tidak sabar menantinya.

Aku berjalan pelan, menyeberangi jalanan yang tidak terlalu ramai, menyandarkan dada dengan kedua tangan di atas tepian pagar-pagar besi sepanjang kanal. Kebetulan apartemenku menghadap ke sebuah kanal yang tidak cukup besar, namun masih ada beberapa gondola yang melewatinya. Kebetulan berikutnya, sebuah gondola melintas di hadapanku dengan pelan. Seorang anak laki-laki dengan Ayah dan Ibunya tengah asyik bergurau dengan gulali masing-masing di tangan. Kutatap wajah Gondolier yang begitu bahagia. Sayang, dia tidak bernyanyi. Ya—memang tidak semua Gondolier bisa bernyanyi. Ah, ini rahasia ya, jangan dibocorkan pada siapa pun. Nanti pengunjung kota ini bisa menurun drastis. Bisa kubilang, tidak semua Gondolier itu tampan. Hihihi

Setelah lelah berdiri menatap kanal kosong, kududukkan tubuh di atas kursi panjang di samping pagar. Sayangnya, kursi ini menghadap ke arah apartemen, bukan kanal. Pemandangan yang membosankan. Hanya ada manusia yang sibuk berlalu-lalang.

Mataku menghentikan penelusuran.

Viggo?

Dari mana dia dengan dua kantung belanjaan itu?

Bodoh! Sudah jelas dia dari swalayan, Gisa.
Sial. Aku harus bagaimana sekarang? Pergi? Ah tidak mungkin. Kuharap dia tidak melihatku. Kumiringkan tubuh ke arah kanan. Menyilangkan kaki dan memalingkan wajah. Berniat untuk tidak melihatnya.

Jangan melihatku. Jangan melihatku. Jangan melihatku.

“Ehem.” Suara deham itu kuyakin adalah milik Viggo.

Aku masih memalingkan wajah, berusaha menolak kehadirannya.

“Sudah kau makan?”

Spontan aku menoleh.

“Makan?” antusiasku.

“Wow, sabar sabar. Hahaha... Aku hanya bertanya, sudah kau makan?”

“Tortellini?” tanyaku sambil membenarkan posisi duduk, menghadap ke arahnya.

“Ya,” angguknya.

“Terlalu banyak keju. Aku tidak suka.” Kini aku merubah posisi dudukku lagi, menghadap ke depan.

Ah—salah tingkah memang tidak enak. Terlebih di hadapan seorang laki-laki tampan sepertinya. Gelisah. Tidak tahu harus bagaimana. Malu. Bingung. Semua bercampur di dadaku.

Dia terdiam, memerhatikan sekeliling.

“Habis belanja?” tanyaku basa-basi.

“Oh, iya. Beberapa keju dan daging asapku habis. Kau mau beberapa? Aku punya sepuluh kotak keju,” tawarnya.

“Sudah kubilang aku tidak terlalu suka keju,” ketusku.

“Tapi, tortellini suka kan?”

Aku tertegun mendengar pertanyaannya. Darahku berdesir, memenuhi rongga dada. Jantungku berdegup kencang. Iramanya terdengar sampai telinga. Apa yang sedang terjadi padaku. Lidahku kelu. Mataku tak lepas menatap wajahnya, seperti terpatri begitu saja.

DIORAMA PICISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang