Chapter 3

25 3 13
                                    

"Scusa. Aku akan berusaha menyelesaikannya malam ini."

"Sudah banyak waktu yang kau janjikan. Kita batalkan saja! Aku bisa mencari fotografer yang jauh lebih profesional." Suara di balik telepon ini menyakiti telingaku.

"Tapi tidak bisa begitu, kau sudah memberikan uang muka padaku," jawabku dengan nada tinggi.

"Kau sudah melewatkan deadline yang kuberi, dan sekarang kau berteriak padaku? Kembalikan 30% dari uang mukanya!"

"Tidak bisa begitu, uang yang masuk tidak bisa dikembalikan. Tunggulah malam ini saja. Akan kuselesaikan secepatnya." Aku masih kukuh.

"Kembalikan atau akan kurampas paksa ke apartemenmu. Kutunggu kiriman uangnya sampai besok pagi." Teriaknya dan menutup sambungan telepon kami.

Tidak ada yang beres akhir-akhir ini. Sudah ada tiga orang yang merasa tidak puas dengan pekerjaanku. Dua orang lainnya masih memberiku senggat waktu, sedang satunya lagi tidak mau tahu, justru memintaku mengembalikan 30% uang yang sudah diberikan. 30%? Itu besar sekali untukku. Sama saja aku tidak bekerja. Lalu untuk apa foto-foto itu?

Sial!

Kuempaskan tubuh di atas kursi kerja, bersanding dengan meja yang dipenuhi lembaran foto dan laptop, masih menunjukkan beberapa file foto yang belum usai kuedit dan cetak. Memang kesalahanku, menerima beberapa tawaran sekaligus. Membuatku tidak bisa fokus mengerjakan salah satunya. Deadline mereka hampir bersamaan. Belum lagi terlalu banyak foto yang harus kuambil dan edit. Cukup memakan waktu.

Bulan ini penuh dengan kesialan. Pekerjaan tidak tuntas. Tulisan tak kunjung terselesaikan. Pengeluaran semakin besar untuk biaya hidup dan percetakan foto, sedang pemasukan berkurang. Di titik seperti inilah yang membuatku teringat rumah, rasanya ingin pulang saja. Tapi ada satu titik di mana aku ingin terus menetap di kota yang tidak begitu besar wilayahnya ini. Di saat pekerjaan lancar dan mendapat tender yang lumayan besar untuk dikerjakan. Hidup hanya kuhabiskan untuk menghambur-hamburkan uang dan bersenang-senang.

Gaya hidup yang tidak baik memang. Itulah caraku melepas penat. Aku terdampar di Negara ini pun bukan tidak memiliki alasan. Alasan yang bahkan aku sendiri tidak yakin, jika dengan alasan selemah itu aku bisa nekad melepas kehidupanku di Indonesia. Semakin kuingat, semakin sakit rasanya.

Aku mendengus keras. Melepaskan sedikit kekesalan. Kututup laptop yang masih menyala, memandang isinya membuatku semakin muak. Kutidurkan kepala dengan lengan yang kulipat di atas meja. Memiringkan pandangan ke arah kanan. Memperlihatkan dua buket mawar yang bersandingan di atas rak buku, pun dua surat yang berada di atas masing-masing bunganya.

Viggo?

Sekelebat bayangan wajahnya muncul. Tatapan yang dingin, mata birunya yang begitu indah. Kupikir otakku sedang tidak waras kali ini. Buat apa aku memikirkan orang yang belum jelas asal-usulnya. Kupukul kepalaku pelan, seraya mengumpat pada keadaan. Menenggelamkannya di balik lipatan lengan, memejamkan mata, membayangkan kebahagiaan yang dulu kudapatkan di Negara ini.

Ding Dong

Siapa? Siapa lagi yang berniat menghancurkan moodku sore ini.

"Scusami." Teriakan orang itu benar-benar mengangguku.

Ding Dong

Bel kamar berbunyi sekali lagi. Aku masih enggan menemui siapa pun di saat seperti ini. Tidak baik menemui seseorang dalam keadaan kacau.

Bagaimana jika dia orang penting? Ah-kau ini mimpi apa sih, Gis. Mana ada orang penting yang membuang waktunya untuk sekadar bertemu makhluk sepertimu. Tapi tidak ada salahnya kulihat. Siapa tahu ada paket atau semacamnya.

DIORAMA PICISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang