Chapter 11

16 3 0
                                        

Adakalanya perjalanan bisa digunakan sebagai pelipur hari-hari sulit. Aku akan dengan senang hati pergi mengikuti sejauh mana penglihatanku haus akan pemandangan yang bisa kujadikan deretan ingatan di katalog baru. Banyak tempat yang belum kunamai dalam katalog lama: terbatas pengetahuan. Namun rasanya nama tidaklah begitu penting. Ingatan tak perlu nama untuk hidup, bukankah begitu?

Aroma ini. Aroma yang akan kusimpan di dalam olfaktoriku. Menyimpannya bersama aroma-aroma yang sebelumnya kuhirup, agar kelak aku bisa menamainya, mengenal bagaimana wujudnya.

“Apa kau biasa merentang tangan seperti itu?” Viggo bersuara setelah satu jam membungkam mulut.

“Aroma ini. Aroma yang harus kuabadikan. Karena kelak, jika aku merindukan istana megah ini, aku bisa mengingatnya hanya dari aroma.”

“Lalu?”

“Kau akan paham suatu saat nanti.” Kubuka mata dan menatapnya teduh. “Ayo kita ke sana,” tunjukku pada sebuah ruang.

Aku jatuh hati sejak pertama kali mendaratkan pandangan di tempat ini. Tempat bernama Medina Azzahra. Berali-kali aku mencoba merangkai kalimat yang pas untuk menyanjungnya, rasanya sulit. Sesuatu yang indah memang terkadang membuat kita justru kehabisan kata-kata. Membuat kita enggan berpaling, bahkan kesulitan saat ingin lepas ke permukaan. Rasanya seperti akan tenggelam, dalam aromanya, dalam bentuknya.

Dalam semesta, pengalaman mengajarkanku membedakan mana aroma yang nikmat dan tidak. Namun bagiku, aroma tidak hanya dibagi menjadi dua jenis saja. Bahkan debu memiliki aroma yang berbeda. Bebatuan dengan lumut. Reranting pohon yang mulai lapuk. Udara yang keluar dari sebuah tempat kuno. Semua memiliki intensitas aromanya masing-masing.

“Aroma debu yang basah karena kelembaban. Bukankah ini terasa menyegarkan?” tanyaku sambil terus menghirup udara sekitar.

“Aku hanya mencium bau udara. Tidak memiliki spesifikiasi seperti yang kau utarakan.”

Kutatap wajah datarnya, “Rerumputan kecil di sana juga punya aroma tersendiri, Viggo,” tunjukku.

Dia tertunduk sejenak, lalu kembali menatapku, “Penciumanku tak setajam dirimu.”

Kujatuhkan senyum simpul dan berpaling meninggalkannya. Berbicara dengan orang yang tidak pernah menikmati hidup memang sulit. Ada baiknya aku segera mencari spot terbaik untuk mengambil beberapa footage gambar.

Setelah berkeliling cukup lama, akhirnya aku menemukan satu tempat yang menurutku sangat pas untuk diabadikan. Kukeluarkan semua perlengkapan kerja. Kamera, lensa, tripod, dan beberapa aksesoris lainnya.

Kupasang tripod di titik yang menurutku pas, dan mulai menyusun kamera. Kupasang filter ND (Neutral Density) pada lensa kamera perlahan, agar tidak rusak, atau minimal lecet. Viggo sibuk memandangku yang sedang asyik berkutat dengan kamera. Risih, aku menatapnya tajam.

“Apa yang sedang kau lihat?”

Dia terkejut dan mengedarkan pandangan ke sekitar. Aku berusaha keras menahan tawa atas ekpresinya barusan. Dasar lelaki aneh.

“Apa yang sedang kau pasang?” tanyanya sambil menunjuk ke arah kamera.

“Filter,” jawabaku singkat.

“Agar lensanya tidak kotor?”

“Ya. Tapi di sisi lain, filter jenis ini juga membantu dalam pencahayaan.”

“Maksudnya bagaimana?” Dia justru antusias dan ikut duduk di atas jalanan sepertiku.

“Hati-hati, setelanmu yang mahal itu bisa rusak jika duduk di atas jalanan seperti ini. Kotor juga jadinya.” godaku.

DIORAMA PICISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang