Chapter 12

20 2 0
                                        

Venezia, Italia.

Satu jam lebih empat puluh lima menit kuhabiskan untuk tidur dalam perjalanan. Namun masih saja tidak cukup untuk menghilangkan pening yang terus terjaga di kepalaku. Semakin bertambah saat kakiku melangkah keluar dari ujung kabin pesawat. Jet lag? Gak mungkin. Penerbanganku tidak selama itu, sampai membuatku kelelahan ekstrim. Ah—Bondio. Aku ingin segera bertemu dengannya. Menceritakan segalanya dan meminta sedikit bantuan dalam pekerjaanku.

There is nothing easy in this world. Especially about work. Dan dia selalu saja bisa membantu, setidaknya memberi semangat.

Menggunakan alat transportasi ternyata jauh lebih melelahkan dibanding berjalan kaki. Kuputuskan turun sebelum sampai ke toko Bondio dan melanjutkannya dengan  berjalan kaki. Sempoyongan kaki ini melangkah, tapi masih saja kupaksakan. Aku lelah. Sangat-sangat lelah. Entah kenapa perjalanan kali ini benar-benar menguras tenaga. Lebih tepatnya tenaga dan pikiran. Aku tidak merasa sesantai biasanya. To be honest, tidak ada kenyamanan dan kepuasan dalam pekerjaan kali ini.

Kurang seratus meter kuhentikan langkah. Kulihat tulisan TUTUP di depan tokonya. Apa lagi ini? Kemana perginya manusia satu itu. dia tidak pernah meninggalkan tokonya dalam keadaan tertutup di saat jam kerja seperti ini. Kuletakkan koper sejenak, menghela napas, dan menyandarkan tubuh di dinding. Susah payah aku memaksa kaki ini untuk berjalan, hasilnya nihil. Orang yang ingin kutemui justru tidak berada di tempatnya.

Oke—mungkin memang lebih baik kuistirahatkan tubuh ini di kamar yang sudah lama kutinggalkan. Kuambil koper dan berbalik arah menuju jalan pulang. Perlahan. Langkah demi langkah kurasakan dengan berat. Tidak ada pemandangan yang berubah di sepanjang jalan. Masih tetap sama, meski beberapa orang terlihat asing. Mungkin turis.

“Hai, Gisa,” sapa seorang penjual roti.

“Hai, Tuan Albert,” kuanggukan kepala dan tersenyum sambil terus berjalan.

Beberapa orang di sini memang terlihat ramah, namun tak jarang juga kalian akan menemukan orang-orang dengan muka datar dan serius.

“Hallo, Nona muda yang lesu.” Seseorang menarik koperku. Membuatku sedikit terkejut dan menoleh.

“Ben?” langkahku terhenti.

“Hai. Sini, biar aku saja yang membawakan kopermu. Kulihat kau sudah kelelahan.” Ben membawanya meninggalkanku. Aku yang masih terpaku segera menyadarkan diri dan mengejarnya.

“Ada apa di spanyol?” Dia bertanya dengan penuh semangat dan senyum andalannya setelah aku berhasil menyejajarkan langkah.

“Tak ada yang istimewa. Biasa saja,” jawabku datar.

“Haha. Sepertinya ada yang membuatmu kesal di sana,” tawanya pelan.

“Ya. Begitulah.”

Akhirnya kami sampai di depan lift. Sembari menunggu, aku membuka tas kecil yang kuselempangkan, mengambil ponsel dan mengeceknya. Tidak ada satu pesan pun darinya sejak pertengkaran terakhir. Mungkin kalian paham siapa yang kumaksud.

“Jika perlu apa pun katakan saja. Jangan sungkan. Sebisa mungkin kubantu. Oke?” lagi-lagi Ben tersenyum. Apa dia sama sekali tidak memiliki beban hidup?

“Ya, baiklah. Kupastikan kau akan kerepotan nantinya,” godaku.

“Haha. Aku sudah menyiapkan diri untuk itu,” jawabnya dengan mengedipkan satu mata.

Ting

Lift sudah terbuka. Aku dan Ben menunggu semua orang dalam lift keluar. Begitu aturannya. Mendahulukan yang keluar, lalu bergantian masuk. Setelah lift kosong, Aku, Ben, dan beberapa orang lainnya mulai masuk. Bergiliran menekan tombol lantai tujuan masing-masing.

Setibanya di depan kamar, Ben meletakkan koper perlahan sembari aku membuka pintunya. Kesulitan. Aku kesulitan saat membuka pintu. Ben yang mengerti segera membantu. Apa selelah itu? apa tubuhku sekarang melemah hanya karena melakukan perjalanan yang tidak lebih dari lima jam?

“Aktifitas pikiran itu lebih melelahkan dibanding aktifitas fisik. Mungkin kau butuh sejenak mengistirahatkan pikiranmu. Letakkan dulu semua pekerjaanmu. Tidurlah. Jangan lupa membuat teh atau air hangat. Hindari kopi. Rendam kakimu juga di dalam air hangat. Itu akan membuatmu sedikit rileks.” Ben mulai banyak bicara seperti biasanya.

“Kau ini seorang pria yang akan menikah. Tidak pantas memperhatikan wanita lain,” candaku.

“Perhatian itu tidak hanya pada satu orang saja, Gisa. Kita bisa melakukannya pada siapapun yang pantas mendapatkannya. Kau itu bukan sekadar teman bagiku.  Jadi terima saja omelanku selama masih belum ada yang mengomelimu.”

“Maksudmu?” tanyaku bingung.

“Suami!” tegasnya.

“Ha?”

“Ya, selama kau belum memiliki suami, ada baiknya kau tidak membantahku. Menikahlah jika ingin berhenti mendengar ocehanku.” Dia terkekeh.

“Apa kau ingin makan sup iga manusia malam ini?” ancamku.

“Haha. Wow, santai saja. Aku hanya bercanda,” tawanya meledak.

“Aku lebih dari bercanda,” tatapku sinis.

“Haha. Sudah sana. Pintunya sudah terbuka. Kau bisa beristirahat sekarang.” Dia tertawa dan berpaling menuju kamarnya.

Belum dua langkah aku masuk kamar, Ben memanggilku lagi. “Gisa!”

Aku menoleh tanpa mengucap apa pun.

“Ada undangan.”

“Undangan? Mana?” tanyaku tidak antusias.

“Sudah kuselipkan di bawah pintu. Ada yang meletakkannya di depan kamarmu kemarin. Kumasukkan saja, takut hilang,” jelasnya.

Benar. ada undangan yang tidak sengaja terinjak oleh koper yang kupindahkan barusan. Undangan? Siapa ya?

“Ah, oke Ben. Terima kasih banyak ya. Aku masuk dulu.”

Dia mengangguk dan kutinggalkan.
Kututup pintu perlahan dan menggeser koperku sedikit ke sebelah lemari yang tidak jauh dari pintu. Kuambil undangan bertuliskan nama A&A. Ada sebuah post it di baliknya. From Aresha Tristan.

“Aresha Tristan,” gumamku.

Siapa?

Aku tidak ingat memiliki seorang teman bernama Aresha. Salah kirim? Ah—mungkin benar-benar salah kirim atau tidak sengaja seseorang menjatuhkannya di depan pintuku.

Kuletakkan undangan itu di atas meja, persis di sebelah buku-buku. Kulepas semua baju dan mengenakan piyama tidur. Merendam kaki dengan air hangat sesuai perintah Ben sambil menikmati teh krisan hangat tanpa gula. Benar. Paling tidak peningku sedikit mereda, meski belum sepenuhnya.

Oh iya, hampir saja lupa. Aku ingin menanyakan keberadaan Bondio.
Kuambil ponsel yang sedari tadi berada di sisi kananku. Kuletakkan cangkir teh di meja dan mulai mencari kontak Bondio. Ketemu!

Me
Hai… Di mana kau?

Sudah lima menit berlalu, Bondio belum juga membalas. Kulempar begitu saja ponsel yang sedari tadi kuputar-putar di tangan ke atas kasur. Menyebalkan! Ada apa dengannya. Tidak biasanya Bondio menghilang seperti ini.

Klinting

Ponselku berbunyi. Tanpa berpikir panjang, kuraih dan segera membuka kuncinya. Bondio. Akhirnya.

Bondio
Ada apa? Aku sedang ada keperluan mendesak. Apa kau sudah pulang?

Me
Aku bahkan mampir ke tokomu. Urusan apa?

Bondio
Maafkan aku. Nanti kuhubungi lagi. Selamat beristirahat, Gisa.

Kuperhatikan layar ponsel lekat-lekat. Ada apa? Tidak biasanya dia seserius ini saat membalas pesanku. Alih-alih menjawab pesan terakhirnya, aku justru mematikan ponsel dan meletakkannya di atas meja. Ganti cangkir teh yang kuambil, meneguknya sampai habis. Mengeringkan kakiku, meminggirkan ember berisi air hangat yang sudah dingin, menarik selimut dan memejamkan mata.

Sejenak saja aku ingin melupakan persoalan hati yang rumit. Sejenak saja aku ingin mengistirahatkan pikiran yang mulai lelah memilah mana kebenaran dan mana kepalsuan. Dua hal paling menyakitkan dalam persoalan cinta.

DIORAMA PICISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang