Chapter 9

17 2 0
                                    

Andromeda A. Georgi

Gisa. Apa yang membuatmu datang? Apa yang membuatmu nekat pergi sejauh ini? Apa benar-benar karena aku?

Seharusnya kau tak datang, Gisa.

Tak terasa, aku menggigit bibir bawah hingga berdarah. Menahan siksaan berat dari dalam kepala. Perutku pun memberontak, ingin dikeluarkan isinya. Mual. Aku masih terbaring sejak seminggu lalu, saat terakhir aku menemui Gisa untuk membahas sebuah pekerjaan. Sayang, empat hari lalu kuterima sebuah email berisi pembatalan kerja sama di antara kami. Berulang kali kuhubungi, namun tetap tak ada respon darinya.
Ini bukan salahnya. Ini salahku.

Kuhela napas panjang dan membangunkan tubuh dari ranjang, mendudukkannya di kursi depan meja dengan segelas susu hangat. Dalam hitungan detik, susu di hadapanku tandas. Kuputar kepala ke nanan dan kiri berulang-ulang, meregangkan leher. Aku tidak bisa terus tenggelam dalam kesedihan seperti ini. Kepalaku selalu pening saat mengingat penantian, mengingat semua usaha. Semua kerinduan dan harapan yang telah tumpah.

Aku sudah memilih.

Aku akan berusaha sampai akhir.

Untuk dia.

Untukku.

Untuk kami.

“Pergilah ke Venezia! Tinggalkan Gisa!” perintah Mama masih terngiang.

“Apa? Mama bicara apa? Aku tidak mungkin meninggalkannya di saat seperti ini. Aku ini akan menikah, Mama tahu itu kan?” tanpa sadar, pagi itu aku menggebrak meja untuk pertama kali di hadapan Mama.

“Uruslah bisnis di sana! Itu jauh lebih penting dibanding pernikahanmu nanti.” Ekspresi wajahnya menakutkan. Ekspresi yang tak pernah kulihat sebelumnya.

Mom, come on. It’s not funny.”

Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran Mama saat itu. Tepat tiga jam sebelum pernikahan, dia justru menyuruhku pergi. Bisnis? Ada apa dengan bisnis di Venezia? Bukankah baik-baik saja dengan adanya Marco, utusan Papa.

“Dengar! Mama lebih tidak suka kehilangan bisnis kita dibanding kehilangan menantu seperti dia. Keluarganya punya banyak catatan masa lalu yang buruk, Meda. Memalukan!”

“Ya tapi kenapa baru sekarang? Apa kata para tamu undangan dan pendeta nantinya. Mom, please. Mengertilah posisiku seperti apa. Keluarga kita juga akan menanggung malu.”

Sejujurnya, saat itu aku tidak peduli keluargaku akan menanggung malu, atau tidak. Satu-satunya hal yang kupedulikan adalah perasaan Gisa. Wanita yang sampai detik ini menempati seluruh ruang di hatiku. I don’t provide space for others. Semua sudah kuberikan padanya. Jika ada wanita yang harus kunikahi nantinya, sudah pasti itu adalah Gisa. kalaupun tidak bisa dengannya, mungkin aku akan memilih untuk tetap hidup sendiri berteman sepi.

“Bisnis di sana sedang berantakan, Meda. Kamu harus menyelesaikan semuanya. Pulanglah jika kamu berhasil membuat bisnis keluarga kita berkembang di sana. Buktikan kamu mampu menggantikan Mama dan Papa. Urusan Gisa, serahkan semua sama Mama. Kamu tidak perlu khawatir.” Mama menepuk pundakku pelan.

“Tidak khawatir bagaimana? Aku akan mematahkan hatinya. Seharusnya Mama tahu.” Aku masih tidak terima.

“Pergilah! Jangan membantah, Meda!”

“Oke. Aku akan kembali. Beri aku waktu dua minggu untuk kembali,” jawabku tegas.

“Dua minggu? Itu takkan cukup. Bertahanlah di sana dua atau tiga tahun, dan pulanglah.”

Mom!” bentakku.

“Apa? Bisnis itu bukan hal mudah. Harusnya kamu juga paham itu, Meda. Kamu itu sarjana ekonomi. Duniamu ya bisnis dan uang. Pahamilah bahwa bisnis bukan seperti kamu bermain-main dengan zat kimia yang satu atau dua jam selesai.”

DIORAMA PICISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang