26

957 154 19
                                    

Tema: Kenapa kamu menulis?

***

"RAKHAAAA!"

Teriakan yang terdengar tepat di telinganya, berhasil membuat anak laki-laki itu menghela napasnya, berusaha untuk sabar. Cengiran dari si pelaku, membuatnya menunjukkan ekspresi bertanya.

"Ih, kok diem aja, sih?!" Anak itu, Qila, memajukan bibir bawahnya dan melipat kedua tangannya di depan dada.

Rakha tahu, Qila adalah anak yang jahil. Kakak bilang, anak perempuan itu suka mencari perhatian. Lebih baik, tidak usah meladeni atau membalas kejailan Qila selama ini. Karena jika diladeni, anak itu akan semakin menjadi, namun jika dibalas, ia akan marah.

"Kenapa?" tanya anak laki-laki itu pada akhirnya.

"Ah, kamu gak asyik!" Qila pun pergi meninggalkan teman sebangkunya yang masih sibuk sendiri.

Tak berselang lama, anak perempuan itu kembali datang. Kali ini, bukan dengan teriakan. Tetapi dengan jari telenjuknya yang terus mencolek Rakha bahkan menekan perut anak itu hingga merasa geli.

"Rakhaaa, kok kamu diem aja, sih?" tanya Qila dengan nada manjanya.

"Aku lagi sibuk," jawabnya tanpa menoleh.

Qila memerhatikan selembar kertas yang sejak tadi menjadi tempat Rakha menuliskan sesuatu.

"Kenapa kamu nulis surat?"

Rakha menulis nama lengkapnya di sudut bawah kertas, dilipatnya kertas itu seraya tersenyum puas.

"Hari ini Papa ulangtahun."

Anak perempuan yang rambutnya dibiarkan terurai itu terdiam. Yang ja tahu, Rakha sudah tidak memiliki seorang ayah lagi sejak delapan bulan yang lalu.

"Nanti, suratnya mau aku ikat di balon, biar terbang. Semoga, suratnya sampe ke Papa, biar Papa bisa baca."

"Aamiin." Qila mengusap wajah dengan kedua tangannya.

"Aku mau Papa tahu, kalau aku kangen. Aku janji jadi anak baik, gak akan buat Papa marah lagi, selalu nurut sama Papa, gak akan marah-marah lagi, gak akan buat Papa marah juga. Aku janji."

Rakha tersenyum getir. "Tapi, Papa udah pergi, Qila. Kata Mama, gak akan bisa pulang lagi, kecuali aku susul Papa. Tapi, aku masih mau jagain Mama sama Kakak."

Qila tertegun. Selama ini, ia sering membuat Papa marah. Baginya, Rakha adalah sosok anak yang hebat. Ia sendiripun tak bisa membayangkan jika Papa pergi meninggalkannya untuk selamanya.

"Kamu harus bersyukur, Qila. Papa kamu pasti sayang sama kamu."

Anak perempuan itu mengangguk. Ia memang sering bercerita pada Rakha tentang Papanya yang dulu sering marah. Buru-buru ia menyeka air matanya yang tanpa sadar telah menetes.

"Nanti, kamu mau ikut ke makam Papa? Sama Mama aku."

Dari nadanya, Qila tahu jika Rakha merasa sangat antusias. Sungguh, ia ingin menerima tawaran teman sebangkunya itu. Namun ... Ia tidak berani meminta izin pada orangtuanya.

"Aku yang izinin, deh!"

"Eh?" Qila merasa bingung dengan Rakha yang seolah bisa membaca pikirannya.

"Kemarin, temen cowok kakak aku dateng ke rumah, buat minta izin ke Mama ajak main Kakak. Kata Mama, anak cowok harus gitu, kalau mau ajak main, izin ke orangtua temen ceweknya."

"Tapi, Papa aku galak."

"Aku izin ke Mama kamu, pasti gak akan dimarahin. Tenang aja, Qila. Kan ada Mama aku juga."

"Beneran?"

Qila merasa ragu. Ia ingat jika Papa pernah melarangnya untuk bersentuhan dengan laki-laki.

"Kita kan cuma ke makam Papa aku. Ayo, dong."

Qila menghela napasnya. "Iya. Kamu yang izinin, ya."

"Oke!"

Tulisan Sebutir Cilok: NPC's 30 Days Writing ChallengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang