Chapter 6: Campur Aduk (Pelangi)

151K 12.7K 400
                                    

“Pelangi, ke kantin, yuk!” ajak Devi.

“Males, ah,” jawab Pelangi yang mengundang pelototan mata dari Devi. “Apaan sih,” kata Pelangi risih.

“Kenapa lo? Nggak biasanya kayak gini,” tukas Devi.

“Lagi malas aja,” kata Pelangi.

“Yah, temenin gue dong,” rengek Devi. “Ntar gue kenalin ke Kak Nando deh,”

“Nggak,” jawab Pelangi.

Please?” Devi masih memperjuangkan keinginannya.

Pelangi tidak menggubris. Ia betul-betul malas beranjak dari tempatnya. Sikap dingin Gilang kemarin sangat berpengaruh padanya.

“Pelangi, gue traktir deh, ya?” Devi memasang wajah sememelas mungkin. Kedua alisnya terangkat naik dan mata bulatnya berkaca-kaca. “Mau, ya? Please.”

Pelangi menghela nafas panjang. “Lo yang traktir, kan?”

Devi cekikikan.”Sip, deh. Yuk!”

---

Devi tertawa jaim menanggapi jokes jayus Nando. Pelangi yang duduk di sebelahnya hanya nyengir tidak ikhlas.

Pelangi menyeruput es jeruknya yang rasanya dua kali lebih enak karena ditraktir, ha-ha. Selain bakso dan es jeruk traktiran ini, tidak ada yang membuat gadis itu merasa nyaman. Daritadi ia hanya jadi obat nyamuk disini. Devi dan Nando mungkin lupa kalau Pelangi ada disini. Serasa dunia milik berdua, yang lain cuma numpang.

“Gilang!” panggil Nando sambil mengangkat tangannya. Yang dipanggil menoleh, lalu segera menghampiri mereka.

Mati, batin Pelangi. Ia berusaha bersikap sebiasa mungkin. Gilang duduk di samping Nando—di depan Pelangi.

Mati.

“Dev, ini Gilang,” kata Nando.

Devi tersenyum manis, lalu mengulurkan tangannya. “Devi.”

Gilang menyambut uluran tangannya. “Gilang.”

Devi mengangguk lalu sedetik kemudian ia teringat sesuatu, “Oh iya, Kak Gilang. Ini Pelangi, teman aku.”

“Udah kenal kok,” jawab Gilang.

Devi membelalakkan mata dan menyenggol pelan bahu temannya itu. “Iya, Pelangi? Kok lo nggak pernah cerita, sih?”

Pelangi mendengus. “Buat apa? Nggak penting juga.”

Pelangi merasakan pandangan Gilang menghujaninya, tapi ia memilih untuk tidak peduli. Ia hanya lanjut menyuap bakso ke dalam mulutnya tanpa banyak bicara.

Gilang pergi memesan makanan dan kembali dengan sepiring batagor. Ia memandang Pelangi yang memandang ke segala arah kecuali dirinya. Gilang tersenyum tipis. Anak ini bisa ngambek juga ternyata, pikirnya.

“Pelangi, kok diem sih?” tanya Devi.

“Males ngomong,” jawab Pelangi.

“Padahal nih, Kak, kalo di kelas Pelangi suka nyerocos nggak jelas. Suka heboh sendiri juga. Pokoknya nggak bisa berhenti ngomong,” cerita Devi.

“Masa, sih?” tanya Nando. Devi mengangguk.

Nando menyentuh tangan Pelangi. “Lo jangan grogi sama gue,” candanya, lalu disambut tawa Devi. Pelangi menepis pelan tangan Nando lalu nyengir tidak ikhlas. Ia melihat dari ekor matanya Gilang juga ikut tersenyum.

Pelangi kembali menyeruput es jeruknya dalam diam.

“Lain kali kita double date, yuk!” kata Devi ceria. “Aku sama Kak Nando, Kak Gilang sama Pelangi.”

Uhuk.

Pelangi tersedak es jeruknya. Gilang tersedak batagor dan segera menenggak minumannya.

Nando dan Devi saling lirik penuh makna.

“Cie, sehati nih,” goda Nando.

“Kita beneran double date nih kayaknya,” tambah Devi.

Pelangi menjauhkan es jeruknya lalu bangkit. “Gue ke kelas, ya,”

“Eh, jangan ngambek dong. Bercanda doang,” kata Devi. Gadis itu menahan pergelangan tangan Pelangi.

“Beneran juga nggak masalah,”

Uhuk.

Kali ini giliran Nando yang tersedak minumannya mendengar Gilang berucap seperti itu. Itu hal yang tidak biasa terlontar dari Gilang.

Wajah Pelangi memerah lalu segera menepis pelan tangan Devi. “Gue nggak ngambek kok, cuma pengen ke kelas aja.”

“Lo marah sama gue?” tanya Gilang. Devi dan Nando hanya melihat Pelangi dan Gilang secara bergantian, menuntut penjelasan.

“Marah kenapa?” Pelangi balik bertanya. Namun, tanpa menunggu jawaban Gilang, ia kembali berkata, “Udah, ah. Gue balik, ya. Bye.”

Pelangi melangkah secepat mungkin meninggalkan kantin.

“Kenapa gua kayak gini, sih?” gumam Pelangi pada dirinya sendiri. Gadis itu tengah melintasi koridor menuju kelasnya. “Gue bukannya marah. Gue cuma takut. Gue takut salah ngomong lagi, gue takut dia dingin lagi sama gue, gue—ah!” Pelangi mengacak rambutnya.

Pelangi terus mengomeli dirinya sampai masuk ke dalam ruang kelasnya. Tentu tindakannya itu mengundang pelototan orang-orang yang lewat, namun gadis itu tidak peduli. 

Ia menumpukan dagunya di kedua belah tangannya saat ia duduk di tempat duduknya. Pandangannya jatuh pada satu kotak asing berwarna merah muda yang menyembul dari dalam lacinya. Pelangi menarik benda itu dan meletakkannya di atas meja.

For my sweetest friend, Pelangi

From: Nino

Pelangi tersenyum membaca sticky note berwarna merah muda yang tertempel disana. Gadis itu segera membuka kotak tersebut.

“AAAAAA!” Pelangi membuang kotak itu jauh-jauh saat melihat berekor-ekor katak mati memenuhi kotak tersebut. Teman-temannya tertawa melihat reaksi Pelangi.

“Suka nggak, Pelangi?” tanya Nino di sela-sela tawanya. Ia mengusap matanya yang tampak berair saking tidak bisanya menahan tawa.

Muka Pelangi memerah. Sekilat pandangan jahil terpancar di matanya, lalu ia bergumam, “Suka banget. Ntar gue kadoin balik deh.”

Pelangi menghela nafas panjang lalu berusaha duduk dengan tenang di kursinya. Moodnya hari ini benar-benar dicekoki dengan berbagai macam rasa; yang bukan positif. Takut, marah, kesal dan malu—semuanya bercampur aduk menjadi satu.

Rain SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang