Bell pulang sekolah tidak pernah gagal membuat Gilang menghembuskan nafas lega. Hari ini, tidak seperti hari biasanya, hujan tidak turun. Langit juga sangat bersahabat sejak pagi. Matahari seolah sedang dalam mood yang baik, dan terus memperlihatkan senyum cerahnya pada bumi.
Matahari hari ini mengingatkan Gilang pada Pelangi. Ia mau tidak mau tersenyum tipis, mengingat betapa bahagianya gadis itu saat meninggalkan Butter Café sore kemarin.
“Kesambet lo?” kata Nando saat menangkap senyum tipis yang terukir di wajah temannya. Senyum di wajah Gilang lantas pudar, membuat Nando terkekeh senang. “Ke Butter Café, yuk?"
“Sekarang?”
“Yep.” Nando bangkit dari tempat duduknya.
“Ayo deh.”
Saat sampai di ambang pintu kelas, ponsel Nando berbunyi. Cowok itu melirik caller ID yang terpampang di layar, dan spontan menepuk jidatnya. “Gue lupa. Gue udah janji mau nemenin Maura ke toko buku.”
Gilang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ya udah, gue pulang aja.”
--
Gilang menyusuri koridor utama—yang lumayan panjang—untuk menuju lapangan parkir. Ia memperhatikan sekelilingnya. Ada seorang anak berkacamata yang membaca di tepi koridor, tampak serius hingga tidak memerdulikan sekitarnya. Ada siswa yang berjalan terburu-buru hingga nyaris menabraknya. Ada beberapa yang memainkan ponsel sambil menunggu penjemput. Dan segelintir siswi kelas sepuluh yang bergerombol di ujung koridor sambil tertawa, sampai ada seseorang yang menepuk pundak temannya yang lain, lalu berlalari kecil sambil melambaikan tangan—pamit pulang. Beberapa orang yang lain kemudian mengejarnya, sambil berteriak untuk minta ditunggu—mungkin mau menumpang pulang.
Gerombolan itu bubar saat Gilang hampir mencapai ujung koridor, menyisakan seorang gadis yang memandang kosong ke depan—sangat kontras dengan tawa yang tadi diperlihatkannya saat berada di sekitar teman-temannya. Gilang mengenali gadis itu—Pelangi.
“Hei,” Gilang menepuk pundaknya. Pelangi tampak kaget sejenak, lalu memaksakan seulas senyum tipis.
“Hai, Kak,” katanya pelan. Gilang mengernyitkan dahi saat melihatnya.
“Lo kenapa lagi? Sekarang kan nggak hujan,” ujar Gilang heran.
Pelangi memejamkan mata, lalu menghembuskan nafas. “Nggak papa,” jawabnya. Saat kembali membuka mata, pancaran keceriaan kembali terlihat di matanya.
“Lo mau … cerita?” tawar Gilang. Ia juga terkejut mendapati dirinya menawarkan hal itu kepada orang yang hampir asing baginya. “Ya, siapa tau gue bisa bantu.”
Pelangi menatap Gilang dengan mata yang berbinar, “Boleh, deh. Tapi di kafe yang kemarin, ya?”
--
Mereka disambut oleh aroma vanilla saat memasuki Butter Café. Keduanya berderap pelan ke pojok ruangan—spot favorit Gilang, lalu memesan minuman.
“Jadi … lo kenapa?” tanya Gilang.
“Basa-basi dulu kek. Nanya ‘apa kabar?’ atau ‘gimana sekolahnya tadi?’, atau apa kek,” kata Pelangi.
Gilang mengernyit, tapi tetap menuruti gadis yang berada di hadapannya itu, “Apa kabar?”
Pelangi tertawa puas, membuat Gilang gusar. Cowok itu mendengus kesal, merutuki kebodohannya yang mau-mau saja dibodohi oleh adik kelasnya itu.
“Kakak penurut, ya,” kata Pelangi lalu terkikik geli.
“Tumben lo ketawa di depan gue,” ucap Gilang. “Biasanya nangis.”
Ucapan Gilang sontak membuat tawa Pelangi pudar. Ia menatap Gilang sebal, membuat Gilang tertawa.
“Apa?” tanya Pelangi judes, sebal karena ditertawakan.
“Lo aneh,” kata Gilang.
“Emang,” balas Pelangi sambil membuang mukanya ke luar jendela.
“Jangan liatin jendela,” kata Gilang. “Ntar kalo hujan, lo nangis lagi.”
“KAK GILANG RESE!”
Tawa Gilang meledak.
Seorang waitress datang membawakan pesanan mereka—hot chocolate dan milkshake vanilla. Gilang menggumamkan terima kasih kepada waitress tersebut sebelum ia beranjak.
“Lo suka banget milkshake vanilla,” gumam Gilang. Pelangi menoleh ke arahnya, menatapnya antara heran dan kaget.
“Tahu darimana?”
“Kemarin juga pesan itu,” jawab Gilang.
Pelangi tersenyum tipis. “Oh, kirain Kak Gilang sering merhatiin aku,”
“Ngapain merhatiin lo? Kayak nggak ada kerjaan lain aja.”
Pelangi tediam—entah karena ucapan Gilang atau karena moodnya yang kembali down. Gadis itu menatap keluar jendela lagi. Pandangannya menerawang.
“Tadi, pas teman-teman aku pada pulang semua, aku mikir; cepat atau lambat semua orang pasti ninggalin kita. Karena pada akhirnya, kita akan menempuh takdir yang kita pilih—sendirian,” gumam Pelangi. “Terus aku ingat kata Pak Bono—supir aku, kemarin,”
Gilang menyimak dengan serius. “Dia bilang apa?”
“Dia bilang—“ Pelangi mengalihkan pandangannya ke Gilang. “Takdir itu kita yang nentuin, tapi kadang ada hal di dunia yang tidak dapat berubah, bagaimana pun usaha kita.”
Gilang mengangguk pelan. Lalu keheningan menyelimuti suasana di sekitar mereka. Keheningan yang terasa dingin.
Pelangi kemudian bertanya, ”Menurut Kakak, apa takdir itu kita yang nentuin?”
Gilang berpikir sejenak. “Menurut gue, takdir itu Tuhan yang nentuin. Itu semacam skenario yang Dia buat untuk kita—manusia—jalanin. Bagaimana kita menyikapi takdir, itu tergantung kita sendiri. Tapi bagaimanapun cara yang kita tempuh untuk ‘membuat’ takdir kita, gue rasa itu juga bagian dari skenario Tuhan.”
“Skenario Tuhan?”
Gilang mengangguk. “Skenario Tuhan.”
Pelangi mengangguk pelan, berusaha mencerna maksud ucapan Gilang. Sejurus kemudian, ia tersenyum. “Makasih, ya, Kak, sudah mau berbagi sama aku.”
Berbagi. Satu kata itu membekas di benak Gilang. Selama ini ia suka menyimpan semuanya sendirian, tanpa sekalipun berpikir untuk membaginya pada orang lain.
“Ngomong-ngomong ada coklat tuh di mulut Kakak.”
“Mana?” tanya Gilang datar sambil mengusap ujung bibirnya dengan ibu jarinya.
“Nggak ada sih sebenarnya,” gumam Pelangi. “Bercanda doang. Kali aja Kak Gilang minta aku yang bersihin kayak di sinetron-sinetron.”
Gadis itu tertawa.
Gilang tersenyum melihat Pelangi tertawa. Rasanya ia ingin membiarkan saja gadis itu memasuki kehidupannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain Sound
Fiksi Remaja(Telah Diterbitkan) Aku bingung kenapa banyak orang yang menyukai hujan. Saat kutanya, sebagian dari mereka mengatakan bahwa hujan itu romantis, beberapa berkata bahwa hujan itu menyejukkan, yang lainnya mengungkapkan bahwa hujan membawa ketenangan...