Bell tanda pulang berbunyi nyaring dan terdengar seperti suara malaikat bagi Gilang. Ia sedari tadi hanya mencoret-coret bagian belakang bukunya tanpa repot-repot menyimak penjelasan Bu Ana tentang unsur instrinsik dalam sebuah drama. Gilang menatap langit di luar yang muram. Cowok itu tersenyum tipis.
Ia suka hujan.
Terlalu feminine dan melankolis, memang, tapi itulah faktanya. Tidak ada seorangpun yang tahu tentang fakta itu—kecuali Pak Udin, cleaning service sekolah. Pak Udin mengetahui fakta itu karena beliaulah yang memegang kunci pintu rooftop sekolah.
Satu fakta lagi terungkap. Gilang suka memandangi hujan dari rooftop sekolah.
“Gue mau ke Butter Café bareng Devi. Lo ikut, nggak?” tanya Nando. Ia sudah menyampirkan tasnya di punggung.
“Sama siapa?” tanya Gilang memastikan bahwa Nando tadi menyebutkan nama seseorang.
“Devi,” kata Nando. “Ikut?”
“Nggak deh. Males gue jadi kambing congek,” kata Gilang.
Nando terkekeh. “Gue bilangin ke Devi, deh, biar dia bawa temen.”
“Nggak usah,” Gilang menepuk pundak Nando. “Gue duluan. Have fun, ya,”
Gilang melesat keluar kelas menuju sebuah ruang kelas di koridor tua. Disitulah biasanya Pak Udin menghabiskan waktu istirahatnya. Gilang membuka pintu ruangan tersebut, dan menemukan Pak Udin sedang tertidur lelap diatas tikar yang tergelar di lantai.
Gilang jadi tidak enak jika harus membangunkannya hanya untuk meminta kunci.
Ia menutup kembali pintu ruangan itu dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Lalu menelusuri koridor tua yang sepi.
Koridor ini disebut koridor tua oleh penghuni sekolah karena hanya koridor ini yang merupakan bagian gedung sekolah yang tidak pernah direnovasi. Koridor tua ini sangat sepi, karena tidak pernah ada penghuni sekolah yang lewat disini—kecuali cleaning service dan dirinya. Di koridor tua hanya ada ruang janitor, sebuah toilet tua, dan pintu kaca yang mengarah ke rooftop.
Gilang berhenti saat melintasi pintu kaca. Ia mendorong pintunya, dan terbuka. Pintunya tidak terkunci.
Gilang nyengir sendiri lalu bergumam, “Pak Udin tahu aja kalo sebentar lagi mau hujan.”
Ia menaiki anak tangga dengan cepat. Dan ketika kaki Gilang menapak di tangga terakhir, ia bergeming. Ia melihat sosok yang tampak familiar baginya, sedang tersenyum kikuk dengan bahasa tubuh yang gelisah, seolah ia siap kabur dari tempat itu sesegera mungkin.
“Kak Gilang,” sapa Pelangi sambil berusaha tersenyum.
“Kenapa lo disini?” tanya Gilang dingin.
“Em—tadi—“ Pelangi menjawab dengan terbata-bata.
“Dari mana lo dapat kunci?” tanya Gilang lagi tanpa menunggu Pelangi menyelesaikan kalimatnya, masih dengan intonasi yang sama. Pelangi tidak berani menjawab. Ia hanya memandang Gilang takut-takut.
“Jawab,” kata Gilang dengan nada rendah, namun menusuk.
“Aku—aku tadi minta kunci ke Pak Udin. Ini,” Gadis itu menyerahkan sebuah kunci yang berada di genggamannya.
Gilang merampas kunci itu dari tangan Pelangi.
Pelangi bergeming sesaat. Sejurus kemudian, gadis itu menyambar tasnya dan sesegera mungkin menghilang dari tempat itu.
Gilang merasakan air hujan menetes di dahinya. Ia memandang ke atas, rupanya hujan mulai turun.
Gilang menyapukan pandangan ke sekelilingnya. Rooftop ini tidak terlalu luas—ukurannya hanya 3x4 meter. Di tengahnya terdapat tempat duduk yang cukup untuk tiga orang, yang terbuat dari batu. Di kolong tempat duduk itu Gilang biasa meletakkan tasnya—dan tadi ia melihat Pelangi melakukan hal yang sama. Pagar pelindung di sekitar tempat itu hanya setinggi pinggang Gilang.
Tidak ada seorangpun yang pernah kesini selain dirinya, Gilang yakin itu. Bahkan ada banyak murid yang tidak mengetahui keberadaan rooftop ini. Itulah mengapa Gilang merasa jengkel melihat orang lain berada di rooftop—yang sudah ia anggap sebagai markas rahasianya.
Gilang melemparkan tasnya ke kolong tempat duduk lalu melangkah ke pagar pembatas. View yang terlihat dari sana adalah kebun belakang sekolah, tempat anak-anak IPA biasa menangkap katak atau cacing tanah untuk bahan praktikum. Kebun itu juga sepi, karena bagi sebagian murid kebun itu terlalu menjijikkan untuk disebut kebun.
Itulah sebabnya rooftop ini jarang diketahui banyak orang.
Gilang menarik nafas dalam-dalam. Wajah ketakutan Pelangi terlintas di benaknya, membuatnya merasa sedikit bersalah.
“Apa gue tadi keterlaluan?” gumam Gilang pada dirinya sendiri. Gilang menggeleng, ia benci perasaan bersalah. Cowok itu menengadahkan kepala, membiarkan air hujan membasuh wajahnya.
Senyum kikuk Pelangi kembali terbayang. “Ah!” Gilang mengacak rambutnya gemas.
Ia berjongkok di depan tempat duduk, lalu meraih tasnya. Saat Gilang menyampirkan ranselnya ke punggung, sebuah benda asing bergelinding keluar dari bawah tempat duduk.
Payung biru pastel.
Rupanya Tuhan memberikan jalan untuk Gilang menghapus perasaan bersalahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain Sound
Roman pour Adolescents(Telah Diterbitkan) Aku bingung kenapa banyak orang yang menyukai hujan. Saat kutanya, sebagian dari mereka mengatakan bahwa hujan itu romantis, beberapa berkata bahwa hujan itu menyejukkan, yang lainnya mengungkapkan bahwa hujan membawa ketenangan...