Pelangi mendorong pintu kaca Butter Café dan langsung disambut oleh aroma vanilla. Gilang mengekor di belakangnya, dan langsung mengkomandoi, “Di tempat biasa.”
Mereka berderap pelan ke meja pojok agar tidak menimbulkan kegaduhan, dan benar saja, Devi dan Nando ada disana. Devi tersenyum sumringah, melihat temannya datang untuk melihatnya di saat-saat paling membahagiakan dalam hidupnya.
Pelangi duduk di samping Devi, yang dari jauh dilihatnya tidak dapat berhenti menyunggingkan senyuman. Devi membisikkan sesuatu di telinganya.
“Gue jadian sama Kak Nando.”
Pelangi tersenyum hambar. Semoga lo bukan salah satu dari mainannya Kak Nando, Dev, batinnya.
“Selamat, ya.” Hanya itu yang dapat keluar dari mulut Pelangi. Gadis itu lalu mengalihkan pandangan ke Nando yang berada di hadapan Devi.
“Kak Nando.” Pelangi memberi jeda. “Maafin aku, ya.”
“Lo kenapa, Pelangi?” Devi menatap keduanya bergantian, heran. “Kalian kenapa?”
“Nggak usah dibahas lagi,” jawab Nando. “Pesen apa aja yang kalian berdua mau, hari ini gue yang traktir.”
Pelangi menatap Gilang. Cowok itu hanya mengedikkan bahu, menyuruhnya untuk mengikuti keinginan Nando.
Seorang waitress datang untuk mencatat pesanan mereka.
“Mbak, minta kertasnya dong,” kata Nando. “Satu lembar aja.”
Wanita paruh baya itu heran, namun ia menyobek selembar dari notes tempatnya mencatat pesanan lalu memberikannya pada Nando. Nando tersenyum dan menggumamkan terimakasih. Setelah mencatat pesanan Pelangi dan Gilang, waitress tersebut berlalu.
“Pinjam, ya.” Nando mengambil bolpoin pink yang bertengger di saku seragam Pelangi.
“Jadi—“ Gilang buka suara. “Kenapa kalian bolos pelajaran terakhir?”
“Karena gue pengin jadian sama Devi dengan cara paling bahagia,” jelas Nando. “Saat lo semua lagi nungguin bel pulang, gue sama Devi udah disini dan lagi bahagia. Bahagia, kan?”
“Kak Nando aneh,” gumam Pelangi pelan.
Nando tersenyum. “Nih. Makasih, ya.” Ia menaruh pulpen Pelangi kembali ke saku seragam gadis itu, lalu menoleh pada Devi. “Balik, yuk?”
“Yuk.” Devi tersenyum dengan senyum terbaik yang pernah dilihat Pelangi selama berteman dengan gadis itu. “Pelangi, Kak Gilang, duluan, ya!”
Pelangi dan Gilang kembali saling tatap di tempat itu, sama seperti yang terjadi kemarin, saat Nando marah dan Maura segera menyusulnya. Pelangi merasa déjà vu.
“Nggak biasanya Nando kayak gitu,” gumam Gilang. “Biasanya dia hanya suka tebar pesona nggak jelas, PHP sana sini, tanpa berniat buat ngasih kepastian.”
“Kita positive thinking aja. Mungkin Kak Nando mau berubah?”
“Semoga.”
Hening. Tidak ada satupun dari mereka yang berbicara. Keduanya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Pelangi mengedarkan pandangannya ke sekeliling kafe saat seorang waitress menghampiri mereka untuk mengantarkan pesanan.
“Itu Kak Natasha,” gumam Pelangi membuyarkan keheningan yang tercipta. Gilang memperhatikan arah pandangan Pelangi. Seorang gadis dengan sweater biru cerah dan jeans warna pudar mendorong pintu kaca dan melangkah ringan memasuki kafe. Orang yang berada di balik mesin kasir tersenyum padanya, lalu ia duduk di meja bundar yang berada tepat di tengah ruangan. Seorang waitress menggumamkan pesanan gadis itu sambil tersenyum—tanpa perlu mencatat, lalu berlalu. Sesaat kemudian, waitress itu kembali dengan sebuah buku yang entah apa judulnya. Natasha tenggelam dalam buku tersebut.
“Dia emang suka banget kesini, ya?” Mata Pelangi tidak luput memperhatikan Natasha yang membolak-balik halaman buku yang dibacanya. Pelangi tersenyum saat melihat mata Natasha yang berbinar, memandang satu halaman pada buku tersebut. “Kak Natasha itu—gimana, ya? Indescribable.”
Gilang mengangguk setuju. “Dia satu-satunya cewek yang bisa bikin Nando gila.” Cowok itu ikut memperhatikan gerak-gerik Natasha. “Padahal, kalau dilihat sekilas, Natasha biasa aja.”
“Justru itu spesialnya dia. Dia nggak cantik, tapi—apa ya?” Pelangi berusaha menemukan kata-kata yang pas untuk mendeskripsikan gadis itu.
“Menarik?” usul Gilang.
“Ya!” sahut Pelangi antusias. “Kak Natasha menarik.”
Mereka menyeruput minuman masing-masing.
“Udah setengah lima nih,” Gilang memperhatikan jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. “Nggak minta dijemput?”
“Oh, iya.” Pelangi merogoh sakunya, untuk menemukan handphone. Namun yang di dapatkannya adalah selembar kertas yang terlipat kecil. Perasaan contekan biologi tadi udah gue buang, pikir gadis itu.
Ia membuka kertas kecil tersebut dan menganga mendapati isinya. Pelangi menyerahkan kertas tersebut pada Gilang, menyuruh cowok itu membacanya.
Gue maafin lo nggak gratis; temen lo jadi imbalannya. Adil, kan?
---
A/N: filler chapter :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain Sound
Teen Fiction(Telah Diterbitkan) Aku bingung kenapa banyak orang yang menyukai hujan. Saat kutanya, sebagian dari mereka mengatakan bahwa hujan itu romantis, beberapa berkata bahwa hujan itu menyejukkan, yang lainnya mengungkapkan bahwa hujan membawa ketenangan...