“Woi,” panggil Gilang. Sudah berulang kali ia memanggil Nando, tapi tidak kunjung mendapatkan respon juga. “Woi, Nando!”
Nando hanya menyimak—atau tepatnya, pura-pura menyimak—penjelasan Pak Trisna yang sedari tadi tidak diperhatikan Gilang.
“Lo ngambek?” Gilang menghela nafas. “Kayak cewek aja lo.”
“Mau lo apa?” Untuk pertama kalinya hari ini, akhirnya Nando berbicara padanya.
Gilang tersenyum tipis, lalu bergumam, “Bisa ngomong juga lo ternyata.”
“Maksud lo apa nyeritain semua tentang gue ke Pelangi?” tanya Nando dengan suara tertahan. “Mau bikin gue malu depan dia?”
“Siapa bilang gue yang nyeritain?”
“Nggak usah pura-pura lo.” Nando mendengus kesal. “Darimana dia tahu gue ngejar Natasha setengah mati?”
“Tanya diri lo sendiri,” kata Gilang, kemudian ia tertawa. “Buat apa gue repot-repot nyeritain tentang lo yang cinta-mati-sama-Natasha kalo Pelangi bisa lihat sendiri bagaimana lo rela bolos latihan basket, atau ngejar-ngejar Natasha di koridor demi nganterin dia pulang?”
Nando terdiam, tampak berpikir keras.
“Lo harus tahu,” Gilang memberi jeda. “Lo itu, kalo lihat Natasha udah kayak nggak berpijak di tanah. Lo suka lupa lo dimana dan lo juga sama sekali nggak peduli tentang itu.”
“Darimana dia tahu kalo gue suka nguntit Natasha ke kafe?”
“Kapan dia bilang lo suka nguntit Natasha ke kafe?” Gilang membalikkan pertanyaan Nando.
“Nggak usah basa-basi, deh, lo,” kata Nando gusar. “Kemarin dia yang bilang sendiri ke Maura.”
Gilang tertawa puas. “Kayaknya kemarin Pelangi bilang gue yang suka nguntit cewek yang gue suka ke kafe. Lo kesindir, ya?”
BUK!
Sebuah penghapus papan tulis menghantam jidat Gilang, membuat Nando mendesis menahan tawa.
Kali ini tidak apa-apa.
---
Pelangi menunggu dengan gelisah di depan kelas XI IPS-1—kelas Gilang. Bangku-bangku di kelas tersebut masih dipenuhi oleh penghuninya dan suara sayup-sayup seorang guru sedang menerangkan menandakan kelas itu belum bubar.
Pelangi kembali menggigit bibir bawahnya—suatu kebiasaan yang dilakukannya ketika gugup.
Suara hening di dalam kelas mulai digantikan dengan suara riuh bangku digeser, suara percakapan, dan langkah kaki. Seorang guru keluar dari kelas, dan tersenyum singkat pada Pelangi sebelum akhirnya berlalu.
Satu persatu murid di dalam kelas beranjak keluar, menambah kegelisahan Pelangi.
Salah satu siswi kelas itu menghampirinya—Pelangi mengenali gadis itu, dia Cindy, the-most-wanted-girl di sekolah. Rambut panjangnya yang bergelombang tertiup angin lewat. Langkahnya yang anggun membuat sekitarnya berhenti sejenak untuk memperhatikan. Kulitnya yang putih tampak cerah tertimpa cahaya matahari siang. Iris mata coklatnya menelusuri penampilan Pelangi dari atas sampai bawah, membuat Pelangi merasa kecil.
“Lo Pelangi, kan?” tanyanya datar.
“Iya … Kak,” jawab Pelangi takut-takut. Ia mendongak untuk melihat makhluk cantik di depannya ini. Cindy sama sekali tidak tersenyum padanya.
“Ngapain lo disini?”
“Mau nyari … Kak Nando,” jawab Pelangi, disambut tawa pongah Cindy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain Sound
Fiksi Remaja(Telah Diterbitkan) Aku bingung kenapa banyak orang yang menyukai hujan. Saat kutanya, sebagian dari mereka mengatakan bahwa hujan itu romantis, beberapa berkata bahwa hujan itu menyejukkan, yang lainnya mengungkapkan bahwa hujan membawa ketenangan...