Hari Senin adalah hari yang paling dibenci Gilang. Saat ia masih ingin melanjutkan tidur, jam weker disebelahnya meraung minta dimatikan. Ditambah ketukan di pintu kamarnya disertai dengan suara Doni yang meneriakkan namanya berulang kali.
Ia bisa saja melempar jam weker untuk mematikan benda itu. Tapi ia tidak mungkin melempar abangnya.
Gilang akhirnya bangkit dengan malas, pergi ke kamar mandi untuk mandi seadanya agar tidak menghilangkan rasa kantuknya. Agar ia bisa melanjutkan tidurnya di ruang UKS saat upacara dimulai.
--
"Gilang!" panggil seseorang. Dengan malas, Gilang menoleh untuk mencari si sumber suara.
Tidak lama kemudian, si sumber suara-Nando, sudah berdiri di sampingnya. "Kuping lo bermasalah, ya?"
"Hah?"
Nando menepuk jidatnya. "Oh, iya. Gue lupa otak lo nggak berfungsi kalau masih pagi," katanya.
"Sialan," umpat Gilang.
Mereka menaiki anak tangga untuk sampai ke kelas. Saat tiba diujung, seorang gadis menyapa mereka.
"Hai, Kak," sapa gadis itu-ralat, sepertinya bukan menyapa mereka, tapi Nando. Ia tersenyum, menunjukkan deretan giginya yang putih.
"Hai, Dev." Nando memamerkan senyum terbaiknya yang bikin perempuan mana saja luluh.
Siapa lagi, nih?, batin Gilang. Tapi ia tidak ambil pusing. Gilang sudah terbiasa dengan kelakuan temannya itu.
"Gue duluan, ya," pamit Gilang. Nando tidak memerdulikan, ia sibuk dengan 'mainan' barunya.
Bel berbunyi saat Gilang baru saja menduduki bangkunya. Sialan, umpatnya. Hari Senin memang tidak pernah bersikap baik padanya. Daripada mengumpat terus menerus—yang ia ketahui tidak akan merubah apapun, Gilang bangkit dari tempat duduknya dan memutuskan untuk pergi ke UKS selama upacara berlangsung.
Koridor menuju UKS sepi, mungkin karena anak-anak sudah ke lapangan upacara. Disana hanya ada beberapa orang yang melangkah malas keluar dari kelas, ada yang berlari-lari kecil karena terlambat, dan ada seorang yang membawa buku cetak Bahasa Indonesia bertumpuk-tumpuk hingga menutupi puncak kepalanya.
Pasti anak kelas sebelas, gumam Gilang dalam hati, karena ia mengenali buku cetak yang dibawa anak itu. Juga mengenali Bu Ana yang doyannya mengumpulkan tugas sebelum jam 7.
Ada seorang cowok disebelah anak itu, tidak membawa apa-apa, hanya terus mengomel tanpa memerdulikan temannya yang kesusahan membawa buku-buku tebal—Gilang mengenalinya. Dia Ariko, anak XI IPA 1, anak futsal plus musuh bebuyutan Nando.
Gilang menguap, sambil menahan matanya yang mulai berair. Ia mengusap matanya dan mendapati sesuatu sedang terjadi di hadapannya. Natasha-yang membawa buku, tersungkur dengan buku-buku cetak Bahasa Indonesia yang tadi dibawanya, berserakan di lantai.
"Lo nggak papa, Nat?" tanya Gilang sambil membantu Natasha mengumpulkan buku-buku yang berserakan.
Natasha meringis sambil memegangi luka berdarah di kakinya. "Iya, nggak papa, kok. Tadi kesenggol dikit sama pot yang ini," tunjuknya pada pot lidah buaya di sampingnya.
Ck, dasar cewek. Sudah jelas-jelas luka, masih saja bilang tidak apa-apa.
"Ah, payah lo. Masa bawa ginian doang nggak bisa," gerutu Ariko.
"Lo, sih," jawab Natasha.
"Kok gue?" balas Ariko sewot. "Yang jatuhin buku-buku setan itu siapa? Gue? Enak aja!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain Sound
Roman pour Adolescents(Telah Diterbitkan) Aku bingung kenapa banyak orang yang menyukai hujan. Saat kutanya, sebagian dari mereka mengatakan bahwa hujan itu romantis, beberapa berkata bahwa hujan itu menyejukkan, yang lainnya mengungkapkan bahwa hujan membawa ketenangan...