Min Hee menggosok tangannya di depan dada, bermaksud meminta ampun pada penculiknya yang sedang murka. "Aku mohon! Aku salah. Maafkan aku! Aku tidak akan mengulanginya lagi." Suaranya tersendat-sendat akibat sedu sedan.
Ia menjerit untuk ke sekian kalinya. Jeritan itu bahkan cukup untuk membangunkan seorang kakek pikun di panti jompo. Tapi di sana, jeritan itu sama sekali tak mengundang siapapun untuk datang menyelamatkannya.
Won Woo berjalan mendekat dan menarik rambut Min Hee lagi sampai kepala gadis itu sejajar dengannya.
“Permainan kita baru saja dimulai, tapi kau sudah mengecewakanku,” kata Won Woo tepat di depan wajah Min Hee.
“Aku mohon!” Min Hee memberanikan sekali lagi untuk bersuara.
“Simpan permohonanmu itu karena aku tidak berencana mengabulkannya!” Sebuah pukulan mendarat lagi dengan kasar di wajah Min Hee. Dan Won Woo sama sekali tak terlihat menyesalinya.
Min Hee terbaring lemah di lantai yang dingin. Ia tidak bisa melihat dengan jelas karena air mata terus berjatuhan di sebelah tangannya yang meremas debu lantai. Di lain hal, ia juga tidak bisa melihat hari esok dalam mata batinnya.
Min Hee sangat takut sekarang, jadi ia rela melakukan apapun agar penculiknya tidak menyakitinya. Ia merangkak mendekati kaki Won Woo lalu mendekapnya dalam pelukan rapuhnya. "Aku mengaku salah. Aku mohon!" Tubuhnya menggigil hebat tapi ia terus menggunakan apapun yang tersisa darinya untuk meminta ampunan, sekalipun hal itu tak memberikan jaminan.
Won Woo tidak ambil diam, ia berusaha melepaskan diri dari jeratan tangan Min Hee yang melingkar di kakinya. "Lepaskan!" teriaknya. Ia mengalami sedikit kesulitan karena pegangan Min Hee semakin erat, tapi pada akhirnya ia berhasil bebas.
Sesaat setelah terlepas kakinya langsung mengayun keras ke arah perut Min Hee seakan itu adalah persoalan gampang untuknya. Sekali. Dua kali. "Ini hukuman bagi siapapun yang membuatku marah." Ia terus menendang, menginjak-injak tubuh Min Hee dengan brutal sampai gadis itu sudah tak mampu merintih ataupun membuka matanya lagi.
Seketika kehidupan Min Hee berubah dari keremangan menjadi kegelapan.
Selama kurun waktu yang tidak diketahui Min Hee berapa lama tepatnya, hanya warna hitam yang menemani sesi istirahat Min Hee dari penderitaannya.
Saat Min Hee sudah hampir lupa dari rasa sakit itu, cipratan air mengenai wajahnya dengan keras, sebagian bahkan masuk ke dalam hidungnya.
Min Hee membuka matanya yang perih, dan sudah mendapati tubuhnya yang kembali terikat di kursi. Ia mengguncang tubuhnya untuk melepaskan diri, lupa akan apa yang telah didapat sebelumnya karena berani membuka tambang itu.
Min Hee melihat penculiknya sedang membetulkan letak kamera yang disimpan di atas meja. Sebuah meja yang sebelumnya tidak ada di sana.
“Apa yang sedang kau lakukan?” Min Hee berteriak.
Won Woo menoleh karena mengetahui bahwa sanderanya sudah sadar. Laki-laki itu hanya menyeringai, kemudian mengalungkan sebuah papan yang bertuliskan sejumlah uang di leher Min Hee tanpa suara.
“Apa ini?” tanya Min Hee kebingungan.
“Jumlah uang yang harus ditebus keluargamu,” jawab Won Woo dengan enteng.
Min Hee berusaha membacanya dari atas, dan hanya bisa melongo melihat ada sembilan digit angka nol di belakang angka satu tertera di papan kardus yang menggantung di lehernya dengan tali tambang sama yang mengikat tangan dan kakinya.
Ia menelan salivanya kasar, karena merasa tak yakin kalau keluarganya sanggup menebus dirinya dengan jumlah uang sebanyak itu.
“Demi Tuhan!” Min Hee menyentak. “Kau tidak salah menulis jumlahnya?” tanya Min Hee.
“Aku tahu,” kata Won Woo biasa saja. “Jumlah uang ini sangat besar. Tapi tidak cukup besar untuk orang tua yang ingin anaknya kembali, kan?”
“Jika pada akhirnya tebusan juga yang kau inginkan, untuk apa kau menyiksaku begini?” tanya Min Hee dengan suaranya yang hampir hilang.
“Untuk membuatnya sepadan?” Won Woo mengangkat alisnya, sambil menimang-nimang bahwa itulah jawaban yang tepat.
“Sekarang, katakan pada orang tuamu kalau kau sudah tidak kuat ada di sini. Jangan lupa memberi tahu mereka jumlah uang yang harus dikeluarkan jika ingin kau dilepaskan!” titah Won Woo. Ia sudah siap menekan tombol on di kameranya.
“Aku tidak mau!” Min Hee berteriak.
Won Woo menghampiri Min Hee lalu meraih dagu gadis itu dengan kejam. “Perlu kau ketahui, kalau kau tidak punya pilihan lain.”
Won Woo menghempaskan wajah Min Hee. “Lakukan apa yang kuperintahkan padamu!”
Won Woo menyetel kameranya lalu menunggu sang peran utama bicara.
Awalnya Min Hee diam saja, tapi tatapan intimidasi laki-laki di belakang kamera membuatnya bersuara. Ia pun mulai menggumamkan sebuah kata.
“Eomma.” Air mata Min Hee mengalir seiring nama itu disebutkan. “Maafkan aku!”
Min Hee terisak cukup lama.
“Tidak apa-apa, Eomma. Aku cukup tahu kalau kau sangat menyayangiku. Aku akan bertahan semampuku di sini,” kata Min Hee di sela-sela tangisannya.
“Eomma,” panggil Min Hee dengan pilu. “Aku mencintaimu.”
Won Woo mengisyaratkan pada Min Hee untuk mengungkit masalah tebusan.
“Masalah tebusan ini.” Min Hee menggantung kalimatnya agak lama. Kemudian ia hanya mengangguk pelan. “Aku tidak apa-apa.”
Min Hee menatap lensa kamera itu dengan dalam, matanya yang sendu seperti tengah bicara banyak hal, tapi Won Woo tidak mengerti apa maksudnya.
Won Woo segera mematikan kameranya. “Apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya heran. Ia meminta penjelasan tentang arti dari tatapan Min Hee.
Min Hee menatap Won Woo dengan pasrah. “Percuma!” katanya mantap.
“Ayahku tak akan pernah sudi menghamburkan uang sebanyak ini untukku. Jumlah tebusan ini terlalu besar,” lanjutnya.
Won Woo tersenyum gusar. ”Tidak mungkin! Kau hanya menggeretak saja.” Won Woo menimpali.
***
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
SYNDROME ||Jeon Won Woo|| ✔
ФанфикBersama adalah bahan dasar untuk membuat kasih sayang, walau bahkan dalam pembuatannya tidak memerlukan perasaan. 11 September 2018 - 16 Februari 2019