Part 3-Bilsyit Boy

28.8K 1.8K 28
                                    

Hari-hariku selalu disibukkan dengan bisnis. Aku sadar, akulah yang bertanggungjawab dengan keuangan keluarga ini. Maka dari itu aku selalu bersungguh-sungguh dalam menyelesaikan pekerjaanku.

Mood-ku tidak sebaik biasanya. Tidak, setelah hari lamaran kemarin. Hari terakhir aku tersenyum dalam rumah ini. Entahlah, tidak ada yang menggairahkan lagi untuk membuat diriku tersenyum di rumah ini.

Dua minggu setelah lamaran Raka dan Nea.

Mereka tidak ingin pernikahannya ditunda terlalu lama. Hari ini Raka kembali datang ke rumah untuk membicarakan masalah pernikahan dengan orang tuaku dan Neara.

"Sepertinya, pernikahan kami akan dilangsungkan dengan sederhana saja. Karena badget yang kutabung tidak begitu besar" ujar Raka tertunduk di hadapan aku dan orangtuaku.

Aku tahu pekerjaannya apa. Dia juga harus membagi uangnya untuk bayaran kuliah dan biaya adiknya sama sepertiku. Aku tidak bisa memaksakan kehendak mereka untuk melaksanakan pernikahan secara besar-besaran.

"Masalah badget, jangan memaksakan diri sendiri. Pakai uang tabunganku aja untuk biaya dekor dan busana" ujarku kepada mereka.

Neara langsung menjawab dengan suara sedihnya. "Tapi, Kak... itu kan besar banget biayanya. Dan uang tabungan itu, aku tahu itu buat masa depan Kakak"

Mata tajamku menatap lurus ke depan "Tenang aja, aku masih muda. Masih bisa bekerja dan cari uang lagi" ujarku datar.

Mereka pun terdiam. Suasana ini memang tak sehangat biasanya.

"Uangnya bakal aku kirim ke rekening kamu, Nea. Sekarang aku harus berangkat ke butik. Assalamu'alaikum" aku segera meninggalkan mereka tanpa ekspresi.

Aku tak peduli. Entahlah, sepertinya rasa kasih sayang sudah tak ada lagi di hati ini.

*****

Sepulang bekerja, aku langsung ke kamar. Jangankan makan, bicara saja aku tak selera. Aku masuk dan segera tiduran.

Raka...
Kenapa, sih? Kau tega meninggalkanku tiba-tiba. Apa salahku sebenarnya? Astaghfirullah Yaa Allah, kenapa merelakan itu begitu sulit. Padahal kan mungkin memang dia bukan jodohku.

Tapi rasa yang tertanam itu sudah terlalu tinggi. Harapku pun sudah melambung ke angkasa.

"Tunggu aku, Caca. Aku akan datang memintamu kepada orangtuamu. Biarkan aku meraih kesuksesanku dan kau pun meraih kesuksesanmu. Aku yakin, kita pasti bisa melewati semua ini. Hanya butuh waktu sebagai jawaban nantinya"

Kalimat itu begitu terngiang dalam telingaku. Kalimat yang dilontarkan Raka saat kami lulus dahulu. Saat itu perasaan kami masih sama.

Tidak seperti sekarang. Dia yang sudah merubah haluan hatinya. Sedangkan aku? Masih disini dengan segala harapan yang dibuatnya. Bahkan ia tak mengucapkan kata maaf sedikit pun kepadaku setelah ia melamar Nea kemarin. Bagaimana ia bisa menjadi sejahat itu?

Tak terasa, air mata ini mengalir. Semua kenangan bersama Raka kembali terulang dalam memori.

Masa-masa dimana aku dan Raka bertemu dan mulai tumbuh rasa-rasa yang berbeda. Perlakuan yang berbeda, tatapan yang berbeda. Yaa Allah, harap ini begitu besar. Tapi tak kusangka ujungnya malah begini.

Aku memeluk guling, air mataku mengalir banyak disana. Kepada siapa lagi aku akan mencurahkan segala kesedihan? Aku lelah Yaa Allah. Batinku rasanya hampa. Aku lelah. Astaghfirullah. Kuatkan hati ini, kalau memang ia bukan jodohku, kuatkan dan ikhlaskanlah semuanya.

Aku terus menangis sampai kelelahan. Dan tanpa disadari, mata ini terlelap dengan sendirinya.


***

Bangun di pagi hari dengan mata yang sembab. Ah, bagaimana ini? Kelihatan sekali aku habis menangis. Tetapi aku harus bekerja. Ya, aku bisa menggunakan masker untuk menutupi wajahku.

Aku menghampiri Ibu yang sedang menata taplak meja di ruang tamu, "Ibu, aku berangkat".

"Suara kamu serak banget. Mata juga sembab begitu. Kayak yang habis nangis semalaman aja. Kamu sakit?" tanya Ibu. Huh, pernyataan Ibu memang benar. Aku habis menangis semalaman.

"Enggak, Bu. Ini cuma kecapekan aja" ujarku tidak sepenuhnya berbohong.

"Kakak kalau capek jangan kerja. Istirahat aja" ucap Nea yang tiba-tiba muncul di belakangku.

Aku menatapnya sebentar, lalu segera memalingkan wajah. Kuabaikan perkataannya.

"Aku berangkat, ya. Assalamu'alaikum" ujarku sambil bersalaman kepada Ibu tanpa menghiraukan gadis di sebelahnya.

"Iya, Wa'alaikumussalam. Hati-hati nak. Jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya" Ibu sedikit berteriak kepadaku yang sudah berada di pintu depan.

Melajukan mobil dengan kecepatan tinggi adalah caraku melampiaskan emosi. Entahlah, aku sudah lelah memikirkan semuanya. Hidupku terasa hampa sekali.

Drrt drrt.

Ponselku berbunyi. Rupanya ada pesan dari... Raka.

Tbc

DESTINY (Terimakasih, Sersan!) - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang