Part 5-There is No Smile

29.3K 1.7K 133
                                    


C A C A

Hari-hari setelah pernikahan Raka dan Nea terasa hambar bagiku. Rasanya, sudah tidak ada lagi senyuman yang bisa kuukir disini.

Raka dan Nea tinggal di rumah orangtuaku alias rumah kita. Seatap denganku. Kuatkah aku menghadapi semuanya?

Ahad pagi

Ayah sedang membaca koran di luar. Ibu sedang membereskan dapur. Aku sedang memasak sarapan.

"Kak Cacaa, aku udah beli gula sama garamnya nih. Aku ke depan lagi ya, habisnya aku belum terlalu bisa masak!" ujar Nea dengan nada bercanda.

Kuambil gula dan garam tanpa menjawab apa pun. Nea sudah kembali ke dalam. Aku melanjutkan aktivitasku memasak.

Langkah kakinya terdengar menuju ruang keluarga yang tidak jauh dari dapur. Kulihat, ia menghampiri sang suami dengan senyum merekah. Tak adanya dinding penghalang membuatku mudah mendengar setiap hal yang mereka bicarakan di ruang keluarga.

"Dek, nggak ikut masak?" ucap Raka kepada istrinya.

"Nggak, Bang. Kak Caca diem aja diajak ngomongnya. Aku jadi canggung" tuturnya jujur.

Mereka pikir aku tidak bisa mendengar obrolan mereka, huh?

"Gak apa-apa. Nanti juga bakal membaik sendiri. Kalau gitu, kita jalan-jalan aja dulu yuk" ucap Raka begitu manis.

Idih, bukannya bantuin beresin rumah. Enak sekali pengantin baru itu!

"Hm, yaudah. Aku bilang sama Ibu dulu ya, Bang" jawab Nea kemudian.

Kulirik sebentar kedua insan bahagia itu.

"Okay!" ujar Raka dengan senyuman yang—ah masabodoh!

Neara berjalan mencari Ibu. Ia menemui ibu yang sedang membersihkan meja makan di sampingku.

"Bu, aku mau jalan sebentar ya sama Bang Raka" ujar Nea meminta izin.

"Hm, dasar pengantin baru! Bukannya bantuin Kakak sama Ibu malah jalan jalan" ujar Ibu sambil bercanda. Ah padahal kuharap seriusan saja.

"Hehe, nanti deh lain kali" jawab Nea dengan tingkah manjanya. Cih!

"Iya-iya. Yaudah sono kalau mau jalan" tutur Ibu dengan lembut 'mengusir' mereka.

"Oke. Aku jalan yaa" ujar Nea sembari berjalan meninggalkan ibu dan... aku.

Mereka pun jalan-jalan menggunakan motor Raka. Tak tahu hendak pergi kemana. Bahkan Nea tidak bilang apa-apa kepadaku. Dianggap apa aku ini? Parasit, huh?!

***

N E A R A

Akhir-akhir ini sikap Kak Caca enggak seperti biasanya. Semenjak lamaran sampai sekarang, aku kehilangan senyumnya. Aku kehilangan hangatnya ucapan kakakku. Kak Caca, aku rindu kakak yang dulu.

Selama dua minggu aku menikah, aku sudah tidak mendapatkan kehangatan apapun dari kak Caca. Tidak ada yang berubah. Mungkin belum, tapi entahlah.

Aku tahu Kak Caca pasti masih sakit hati. Meskipun dia bilang ikhlas, pasti tidak mudah merelakan orang yang sudah kita cintai bertahun-tahun menikah dengan wanita lain. Apalagi adik sendiri. Dan menetap di rumah yang sama. Yaa Allah, tak terbayang bagaimana hancurnya perasaan Kak Caca.

Tapi aku bisa apa? Menolak lamaran Bang Raka? Aku tidak bisa membohongi hatiku kalau aku juga sudah jatuh cinta kepada Abang. Aku tidak bisa merelakan Abang. Mungkin itu yang dirasakan Kak Caca sekarang.

Sungguh, aku kehilangan senyum Kak Caca.

Aku dan Bang Raka pergi ke taman bunga. Kami ingin menyegarkan penglihatan. Bang Raka juga bisa merasakan atmosfer yang menyelimuti hatiku. Atmosfer kesedihan dari hilangnya kasih sayang seorang kakak.

DESTINY (Terimakasih, Sersan!) - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang