Part 22-Halte Pos

21.5K 1.3K 13
                                    

Hiruk pikuk kota sudah mulai terasa. Mentari yang mulai muncul, ayam mulai berkokok, pedagang mulai mencari pelanggan, warung dan toko mulai beroperasi, angkutan umum mulai berjalan, manusia sudah memulai aktivitasnya.

Pagi ini, Caca berniat untuk rehat sejenak, tidak berangkat ke butik. Selain karena kelelahan akibat semalam sampai di rumah larut sekali, ia juga sedang ingin me-refresh jiwanya yang sedikit terguncang kemarin.

"Selamat pagi Kak Cacaaa" Nea dan Raka menepuk bahu Caca, mengagetkannya dengan sengaja.

"Hehh! Untung kakaknya gak punya penyakit jantung, ya! Adek-adek rese emang." Caca terkejut namun tetap memegang toples berisi wafer berlapis cokelat kesukaannya.

Nea beranjak dari tempatnya berdiri dan beralih untuk duduk di sofa yang diduduki Caca, "Hari ini gak berangkat ke butik, Kak?"

Caca hanya menjawab dengan menggeleng kepala ke kanan dan ke kiri.

"Ooh, tumben. Masih kecapekan ya habis dari Bandung?" tanya Nea.

"Iya, masih pengen santai-santai dulu. Kamu 'kan tahu sendiri semalem Kakak pulang larut banget" jawab Caca dengan ekspresi asyik bercerita.

"Iya, sih, yaudah Kakak istirahat aja dulu. Nea sama Bang Raka mau berangkat" tutur Nea sembari kembali membenarkan letak kerudungnya.

Caca tersenyum, "hm, hati-hati, ya"

"Oke Kakak. Eh, by the way, kemaren ketemu Kak Dani gak di Bandung?" tanya Nea begitu antusias mengingat kedekatan keduanya.

Raut wajah Caca berubah seketika. Senyumnya memudar, bola matanya melirik ke arah lain. Helaan nafasnya terdengar dengan jelas.

Hm, Nea salah bicara.

Nea yang melihat hal janggal tersebut merasa heran. Apa salahnya jika Nea menanyakan perihal itu? Bukankah seharusnya Caca merasa senang dan tersipu malu ketika ditanya perihal Dani? Biasanya seperti itu. "Kenapa, Kak? Salah, ya?" tanya Nea sekali lagi.

Caca menoleh cepat ke arah Nea. Menatap matanya, kemudian menggeleng sekali lagi. "Gak apa-apa. Udah, cepet berangkat. Keburu telat"

Namun insting seorang adik merasa ada yang tidak beres dengan kakaknya. Nea masih menatap Caca dengan pandangan menelisik begitu dalam. "Kak, aku berangkat sekarang, tapi Kakak punya hutang penjelasan sama aku" nadanya terkesan mengancam.

Caca hanya mengeluarkan tawa hampa. Dengan mata sayu dan senyum getir menghias wajahnya, ia sekali lagi menyuruh kedua adiknya agar segera berangkat. Meninggalkannya sendiri dalam kehampaan, lagi.

"Yaudah, kita pamit, assalamu'alaikum" ucap Nea sebelum kakinya melangkah keluar pintu berbahan kayu jati di depan.

Kesendiriannya kembali lagi. Ya, benar-benar kesendirian. Meskipun tak sesakit seperti saat ditinggal Raka dahulu, tetap saja rasanya amat perih. Bagaimana rasanya ketika kita kembali membuka plester yang menutupi luka di kulit dan melukainya lagi di tempat yang sama? Ya, seperti itu. Rasanya memang tak sesakit dahulu, namun penyesalan karena kembali memiliki luka yang sama, membuat jiwa tak lagi hangat.

Seharusnya Caca bisa menjaga hati. Seharusnya Caca tidak usah berharap lagi, tidak usah jatuh cinta lagi.

Ingin mengungkapkan? Tentu saja Caca ingin. Namun, lidah sudah terlalu kelu untuk bersuara. Ketika lidah tak bisa lagi bersuara, maka tinta bisa jadi jalan keluarnya.

Caca beranjak dari sofa di ruang tamu. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar tidur, saksi bisu segala tangisnya.

Diraihnya satu buku tebal bersampul putih polos beserta pulpen yang terletak di atas meja kamarnya. Ia mulai menorehkan kata-kata yang dapat mewakili hatinya. Hati yang kembali terluka.

DESTINY (Terimakasih, Sersan!) - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang