6

8.8K 587 14
                                    


Bulir air yang membentuk sebuah jarum turun dengan patuh membasahi tanah di bumi ini. Gemercik suara bersahutan terdengar pelan dan sendu. Langit yang teraram gelap nampak sedang menyembunyikan letak sinar matahari yang menjadi sumber pencahayaan dan penghidupan di bumi ini. Awan gelap yang menggumpal menjadi sumber rintikkan hujan yang turun membasahi kekeringan di muka bumi ini.

Seorang laki-laki dengan pakaian serba hitam melamun berdiri di atas sebuah gundukan tanah yang telah lembab terkena air hujan. Mata merahnya menatap kosong ke arah tulisan nisan yang masih berupa kayu. Beberapa kali dada laki-laki itu nampak naik turun dengan jelasnya, seolah sedang menimba sebuah beban yang berat.

"Kakak, lebih baik kita pulang. Hujan sudah semakin deras." Seorang wanita muda berdiri di sampingnya dengan setia memegangi sebuah payun agar pemuda itu tak terkena derasnya gerimis hujan hari ini.

Lelaki itu hanya terdiam membisu meski sudah puluhan kali wanita di sampingnya itu mengajaknya untuk beranjak dari tempat ini. Rasanya seluruh urat yang dikakinya terasa kaku. Seperti ada sebuah paku yang menancapkan ujungnya agar ia tak berpindah posisi.

"Kakak ..."

Javier, entah sudah berapa lama ia memandangi gundukan tanah di hadapannya. Matanya tak pernah beralih dari sana. Hanya deru napas yang terdengar darinya. Isakan pun takkan ia biarkan didengar oleh orang lain. Baginya kesedihannya untuk seseorang yang telah terbaring untuk selamanya di dalam sana merupakan rahasianya dengan Tuhan.
Berapa kali pun penyesalan sudah ia ucapkan, namun tetap takkan  bisa menghidupkan kembali sosok wanita yang telah pergi meninggalkannya itu.
Aliandra.

Seharusnya ia bisa mengetahuinya sejak awal bahwa kepergian wanita itu terasa lebih menyakitkan dari pada pengkhianatan yang dilakukannya.

Lima tahun lalu, Javier pernah mengatakan bahwa sebuah pengkhianatan merupakan hal yang sangat ia benci dan tak termaafkan. Akan tetapi, kepergian wanita itu lebih ia benci. Ia benci harus menerima kenyataan bahwa sosok Aliandra sudah tak lagi berada di sisinya. Wanita yang ia sakiti dengan keji itu memilih untuk meninggalkannya yang bodoh ini dari pada harus bertahan.

Andai saja ...

Javier ingin mengulang waktu. Malam itu, ia seharusnya memeluk Aliandra dan menjawab kata rindu untuknya. Ia tak pernah tahu bahwa itulah kali terakhir ia berbicara dengan sang istri. Kali itu, terakhir baginya melihat Aliandra menangis dalam keterpurukannya. Wanita itu menjambak rambutnya dan mengatakan kesakitannya.

Namun, Javier lagi-lagi hanya diam dan membiarkan wanita itu menanggung semuanya seorang diri.

"Aliandra pasti sangat kedinginan di dalam sana. Sekarang sedang hujan. Apakah kau tahu dia sedang melakukan apa?"

Ucapan Javier membuat Jessica merasa dirinya ikut terpuruk atas kematian kakak iparnya. Aliandra yang dikenalnya adalah sosok yang ramah. Tak pernah sekalipun dirinya melihat wanita itu mengeluh atas hidupnya. Yang paling Jessica ingat adalah saat dimana hanya Aliandra yang memberikannya ucapan selamat dan mengirimkannya baju rajutan. Wanita itu satu-satunya yang ingat hari kelulusannya saat itu.

Sama seperti Javier, ia pun sudah berulang kali mendatangi makam ini. ia selalu memastikan rumput yang melapisi tanah kubur sang kakak tertata rapi.
Aliandra, kepergiannya membuat dirinya menyadari bahwa ada sebuah kesalahan yang patut menerima kesempatan kedua.

"Aku yakin kak Alia baik-baik saja di sini."

Dengan suara parau Jessica kembali bersuara menanggapi kakaknya. Ia tahu begaimana perasaan lelaki disampingnya. Kehilangan sesuatu yang pernah menjadi bagian dari dirinya merupakan hal terberat yang pernah di alami seseorang.
Mungkin terdengar   berlebihan, tapi sang kakak yang berdiri di sampingnya itu benar-benar telah mendapatkan hal menyakitkan dalam hidupnya. Mengantarkan kepergian sang istri, sosok yang ia pikir akan menemaninya sampai akhir hayat.

Don't Say GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang