Prolog

264 5 0
                                    

Aku sudah di depan.

Membaca pesan dari Gavan, aku langsung bangkit berdiri, membiarkan koper dan barang-barangku terlantar sementara, lalu cepat-cepat keluar untuk menemuinya.

"Ini buat kamu."

Dia memberikan sebuah buku untukku melalui atas pagar.

"Thanks."

Ternyata dia memberikan sebuah buku novel tebal yang memang aku inginkan. Dia pasti tahu karena terakhir kali kami ke toko buku, aku terus memegang buku itu, tapi tidak jadi kubeli karena aku harus berhemat supaya aku punya tabungan saat aku pergi nanti.

Aku berjinjit sedikit agar wajah kami sejajar dan bisa saling melihat dengan bebas tanpa terhalang pagar rumahku.

"Ehm, mau masuk?"

"Nggak usah. Aku udah ada janji."

Aku agak kecewa mendengarnya. Kecewa karena dulu dia bisa berjam-jam duduk di dalam dan ngobrol denganku sedangkan sekarang dia seperti ingin cepat-cepat pergi. Kecewa karena sekarang aku bahkan tidak tahu apa-apa tentangnya dan dia seperti memang tidak mau memberitahuku apa yang dia lakukan, kemana dia pergi dan dengan siapa. Aku harus sadar kalau aku sudah bukan siapa-siapanya lagi jadi dia tidak perlu repot-repot memberi laporan padaku.

"Setelah ini kita kan nggak bisa bertemu lagi. Nggak mau ngobrol sebentar aja?"

Ia melihat jam tangannya. "Ya udah. Tapi bentar aja ya. Aku udah telat."

Aku masuk ke dalam rumah untuk mengambil kunci lalu membukakan pintu pagar untuknya.

Karena dia tidak akan lama, kami pun berbicara di teras ditemani langit malam dan suara jangkring.

"Katanya mau ngobrol? Kok malah diam?" tanyanya dengan nada tidak enak. Sangat berbeda dengan dirinya yang dulu. Atau mungkin aku saja yang terlalu sensitif?

"Tadi aku cuma alasan. Aku cuma mau lama-lama sama kamu, puas-puasin ngeliat kamu sebelum nanti nggak bisa lagi," jawabku terus terang.

Dia tidak menjawab apa-apa, tapi aku tidak merasa malu.

Semenjak berhubungan dengannya, aku sudah tidak jaim seperti dulu. Kalau mau bilang sesuatu ya bilang aja dari pada nanti menyesal dan kepikiran sendiri, termasuk waktu aku merasa bersalah telah memutuskannya, aku langsung meminta maaf padanya lalu mengajaknya balikan. Tapi dia menolak. Mungkin bagi orang lain aku tidak punya harga diri. Tapi begitulah rasa cinta yang berlebihan memang membuatmu bodoh dan tidak peduli lagi dengan rasa malu.

Aku menatap mata coklatnya yang selalu menjadi kesukaanku.

Aku masih tidak percaya kalau aku benar-benar akan pergi, padahal sebulan yang lalu aku tidak ingin jauh-jauh darinya.

Ia melihat jam tangannya dengan resah.

"Ya udah kamu pergi gih. Sudah telat, kan?"

"Iya. Take care ya di sana. Nanti aku susul."

"Beneran?"

"Masih rencana kok. Mau pergi sama anak-anak. Kalau jadi nanti kita ketemu."

Meskipun yang dikatakannya belum pasti. Tapi aku jadi berharap lagi. Membayangkan kami bertemu di sana. Kami bisa ke pantai berdua seperti yang dulu sering kami bayangkan.

Sampai di kamar, aku tidak langsung melanjutkan packingku, melainkan aku membuka novel yang diberikannya. Ternyata di halaman depan, aku menemukan tulisan tangannya di situ.

Sayangku. Semangat ya magang di Bali. Kamu harus sukses dan berhasil! Ciptakan masa depanmu!

Aku sayang kamu!

Semoga kita bisa selalu bersama.

Keep in touch yah!

Kalau kita jodoh pasti bertemu.

Amin!

With love,

Gavan

Miss you!

Aku langsung mengambil handphoneku lalu mengetik dengan perasaan tidak karuan.

Maksudnya kamu tulis ini apa?

***

Pergi Tuk Melepaskan (based on true story)Where stories live. Discover now